"Saya waswas kalau ibu kota benar dipindah ke sini, kecuali pemerintah menjamin tatanan adat, situs dan hak-hak kami tidak punah," ujar Sabukdin kepada BBC News Indonesia, Kamis (07/09).
"Kami ingin daerah kami ramai, tapi bukan berarti kami menderita, hanya menonton."
"Pendatang sudah hidup di tanah kami, kami tidak menikmati kemakmuran, tetap melarat dan bisa lebih melarat kalau ibu kota ada di sini," tuturnya.

Sebagian nama kampung di Penajam Paser Utara bernuansa Jawa seperti Desa Argo Mulyo di Sepaku.
Adapun Surat Keputusan Gubernur Kaltim 57/1968 membuka lahan transmigrasi seluas 30 ribu hektare di Sepaku.
"Lahan kami diambil padahal di situ ada makam nenek moyang kami. Apalagi kalau nanti pemerintah pusat yang datang," ujar Sabukdin.
"Kami minta perlindungan resmi agar hak kami tidak diambil begitu saja."
"Masyarakat kami di pedalaman hampir 90% tidak punya surat kuat atau sertifikat. Kebiasaan kami hanya punya tanah tapi tidak mengurus surat," kata dia.
Baca Juga: Dinilai Tak Layak Lagi Jadi Ibu Kota, Foto-foto Ini Bukti Jakarta Masih Bisa Dibanggakan Warganya

Foto aerial kawasan Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara.
Seorang pendamping warga adat Dayak Paser, Syukran Amin, menyebut nasib buruk selama ini telah menimpa komunitas lokal itu.