Selama Pandemi Covid-19, Jokowi Utang Rp 25 Triliun ke Bank Dunia, Rupanya Ekonomi RI Turun Kelas

Senin, 21 Juni 2021 | 06:19
Setkab/Agus Suparto

Presiden Joko Widodo bertemu Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (26/7/2017). Selama pandemi Jokowi utang Rp 25 triliun ke Bank Dunia.

Fotokita.net - Pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir 1,5 tahun lamanya. Bukannya turun, kasus baru Covid-19 malah semakin melonjak belakangan ini.

Saat kasus baru Covid-19 semakin tinggi, Presiden Joko Widodo atau Jokowi memutuskan untuk menarik utang baru kepada Bank Dunia atau World Bank. Nilainya pun tidak main-main Rp 13 triliun.

Pengajuan utang baru senilai Rp 13 triliun itu merupakan angka total pinjaman yang diajukan pemerintah Jokowi pada tahun 2021 kepada Bank Dunia.

Pada 10 Juni 2021, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dollar AS. Kini, Bank Dunia baru saja menyetujui pinjaman baru sebesar 500 juta dollar AS yang diajukan pemerintah Indonesia.

Baca Juga: Habib Rizieq Sebut Staf Khusus Jokowi Terlibat Penembakan 6 Laskar FPI, Sunan Kalijaga Buru-buru Minta Rahasiakan Hal Ini

Sehingga total utang baru yang ditarik Indonesia selama Juni 2021, yakni sudah mencapai sebesar 900 juta dollar AS atau setara dengan Rp 13,04 triliun (kurs Rp 14.480).

Sebagaimana diberitakan Kompas.com, Sabtu (19/6/2021), utang baru itu akan digunakan untuk memperkuat sistem kesehatan nasional. Beberapa di antaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien Covid-19, tempat tidur rumah sakit, penambahan tenaga medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.

Baca Juga: Menteri Jokowi Terapkan PPKM Mikro, Negara Tetangga Indonesia Lockdown Total, Pemerintahnya Siapkan Dana Rp 138 Triliun

Selain itu, pinjaman dari Bank Dunia juga akan dimanfaatkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.

Pada tahun 2020, Jokowi sudah mengajukan utangsebesar US$300 juta atau setara Rp4,95 triliun (berdasarkan kurs Rp16.500 per dolar AS) kepada Bank Dunia. Pinjaman itu disetujui di tengah penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19.

Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Satu Kahkonen mengungkapkan pinjaman diberikan dalam rangka mendukung pemerintah mempercepat reformasi di sektor keuangan. Sebab, pembangunan sektor keuangan berperan penting dalam proses pencapaian target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

"Sektor keuangan yang sehat dan berfungsi dengan baik sangat penting untuk mempertahankan pertumbuhan Indonesia serta mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi pemerintah dan pengentasan kemiskinan, terutama di tengah kondisi global yang terus menantang," katanya dalam keterangan resmi, Senin (23/2/2020).

Baca Juga: Foto Harun Al Rasyid, Penyelidik KPK yang Paling Diwaspadai Firli Bahuri, Ini Fakta Sebenarnya

Lebih lanjut, menurutnya, sektor keuangan Indonesia perlu direformasi, meski secara fundamental, ekonomi Tanah Air cukup kuat. Pasalnya, sektor keuangan di dalam negeri hanya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 5 persen dan tingkat kemiskinan satu digit sebesar 9,22 persen pada akhir tahun lalu.

"Namun, melambatnya laju pengentasan kemiskinan tetap penting untuk melindungi mereka yang masih berjuang mencapai keamanan finansial kelas menengah," katanya.

Baca Juga: Alhamdulillah, Gaji PNS 2021 Naik, Abdi Negara Diminta Lakukan Ini

Setkab

Presiden Joko Widodo saat berada di sidang Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Selama pandemi Jokowi utang Rp 25 triliun ke Bank Dunia.

Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah bertambah Rp 1.257 triliun selama tahun 2020. Saat ini, total utang pemerintah tembus Rp 6.074,56 triliun. Hal ini tertuang dalam dokumen APBN KiTa yang diterbitkan Kementerian Keuangan.

Mengutip data APBN KiTa, Senin (18/1/2021), total utang yang mencapai Rp 6.074,56 triliun itu merupakan posisi Desember 2020. Sementara posisi akhir Januari sebesar Rp 4.817,5 triliun. Dengan begitu utang pemerintah bertambah Rp 1.257 triliun di tahun 2020.

Total utang pemerintah yang mencapai Rp 6.074,56 triliun ini jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya terjadi peningkatan Rp 136,92 triliun dari posisi Rp 5.910,64 triliun. Dengan begitu, maka rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 38,68%.

Baca Juga: Pantas Terpilih Jadi Kepala BNPB, Ganip Warsito Tak Sungkan Turun Tangan Saat Kunjungan Jokowi

Utang pemerintah ini terdiri dari pinjaman dan surat berharga negara (SBN). Untuk yang berasal dari pinjaman totalnya Rp 852,91 triliun dan yang berasal dari SBN sebesar Rp 5.221,65 triliun.

Jika dilihat lebih rinci lagi, untuk pinjaman yang mencapai Rp 852,91 triliun terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 11,97 triliun dan pinjaman luar negeri sebesar Rp 940,94 triliun. Pinjaman luar negeri sendiri terdiri dari bilateral Rp 333,76 triliun, multilateral Ro 464,21 triliun, commercial banks Rp 42,97 triliun, dan suppliers nihil.

Baca Juga: Profil Suparman Nyompa, Hakim yang Ringankan Hukuman Habib Rizieq, Ternyata Pemilik Pesantren

Tribunnewscom

Presiden Joko Widodo saat akan berpidato. Selama pandemi Jokowi utang Rp 25 triliun ke Bank Dunia.

Sedangkan yang berasal dari SBN mencapai Rp 5.221,65 triliun, terdiri dari SBN domestik sebesar Rp 4.025.62 triliun dan SBN dalam denominasi valuta asing (valas) sebesar Rp 1.196,03 triliun.

Pada awal 2021Indonesia kembali mendapat pinjaman sebesar US$ 500 juta atau setara Rp 7,05 triliun (kurs Rp 14.100) dari Bank Dunia.

Tujuan pemberian pinjaman atau utang ini adalah untuk memperkuat ketahanan finansial dan fiskal Indonesia terhadap resiko bencana alam, perubahan iklim, dan resiko yang berasal dari sektor kesehatan.

"Guncangan dan bencana seperti itu terus menerus menjadi ancaman bagi kemajuan pembangunan Indonesia," kata Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen dalam keterangan resminya, Jumat (22/1/2021).

Baca Juga: Malas Bersihkan 9 Perabotan Dapur Ini Setiap Selesai Masak, Nyawa Penghuni Rumah Jadi Taruhannya

Pada periode 2014-2018, pemerintah pusat sudah membelanjakan anggaran sekitar US$ 90 juta sampai US$ 500 juta per tahun untuk tanggap bencana dan pemulihan. Sementara pemerintah daerah diperkirakan mengeluarkan US$ 250 juta selama periode yang sama.

Dia memperkirakan, biaya penanganan bencana akan terus meningkat karena terjadinya perubahan iklim dan meningkatnya urbanisasi. Hal itu menjadi tambahan beban bagi belanja pelayanan pemerintah ditambah lagi saat ini masih terjadi pandemi Covid-19.

Baca Juga: Utusan Kemenkes Ditegur Bupati Aceh Besar Karena Tak Pakai Hijab, Ini Penampakannya

Tribun Pekanbaru/Theo Rizky

Presiden Joko Widodo mendarat di Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, Riau, Senin (16/9/2019) malam. Selama pandemi Covid-19, Jokowi utang Rp 25 triliun ke Bank Dunia.

Keputusan Jokowi menarik utang senilai total Rp 25 triliun dari Bank Dunia selama pandemi Covid-19 itu tentu menuai sorotan.Lantas, tepatkah keputusan penarikan utang baru tersebut?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kebijakan penarikan utang baru itu tidak tepat.

Menurutnya, ketimbang menambah utang baru, justru yang harusnya dilakukan adalah mengajukan fasilitas penghapusan pokok pinjaman atau keringanan bunga pinjaman kepada kreditur seperti Bank Dunia.

Baca Juga: Tak Kapok Disentil Erick Thohir, Ahok Bongkar Fasilitas Mewah Bos-bos Pertamina Hingga Bikin Panas Telinga

"Iya jelas kurang pas. Penambahan utang sebaiknya dilakukan secara hati-hati," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (19/6/2021) siang.

Penambahan utang, ujarnya, memiliki implikasi, terlebih dalam kurs asing terhadap beban bunga dan pokok yang harus dibayar. Pada saat ini, beban bunga utang diperkirakan naik menjadi Rp 373 triliun per tahun atau setara 25 persen penerimaan pajak.

"Apalagi proyeksi Rupiah melemah akibat taper tantrum maka beban bunga utang pinjaman luar negeri akan naik signifikan," jelas dia.

Baca Juga: Malas Bersihkan 7 Barang Dapur Ini Setiap Hari, Nyawa Seisi Rumah Jadi Taruhannya

Bhima menuturkan, IMF dan Bank Dunia berkomitmen mengurangi beban utang negara-negara yang terdampak pandemi Covid-19.

Komitmen itupun juga telah didukung pernyataan Sekjen PBB Antonio Guterres yang meminta kepada para kreditur agar utang negara berpendapatan menengah untuk ditunda pembayarannya hingga 2022.

Dikatakan Bhima, Indonesia saat ini juga turun kelas dari negara berpendapatan menengah atas menjadi negara berpendapatan menengah ke bawah karena pandemi.

Baca Juga: Cara Mudah Membuat Media Tanam Aglonema, Tanaman Hias Cepat Bertunas

"Karena turun kelas (downgrade) maka Indonesia masuk dalam kategori negara yang pembayaran utangnya bisa ditunda," kata dia.

"Langkah ini bisa dimulai dengan membuka renegosiasi utang mirip seperti Paris Club atau skenario debt swap. Debt swap yakni menukar utang yang ada dengan program misalnya dengan Jerman soal pendidikan dan Italia soal rekonstruksi pasca-bencana tsunami Aceh," imbuh Bhima.

Menurut Bhima, pandemi Covid-19 merupakan sebuah bencana yang seharusnya menjadi kesempatan untuk mengurangi beban utang, bukan sebaliknya.

Baca Juga: Pamer Foto Seksi Sebelum Pandemi, Pedangdut Ini Mantap Berhijab Hingga Banting Stir Jadi Petani

(*)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya