Fotokita.net - Larang mudik Lebaran 2021, Jokowi sebut kasus Covid-19 Indonesia turun, ahli: hati-hati.
Ahli epidemiologi dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai, larangan mudik Lebaran 2021 ini merupakan keputusan yang tepat dan bijak dari pemerintah.
"Ini tentu harus direspons positif dan dengan besar hati oleh publik. Karena sekali lagi dalam situasi pandemi, yang kita belum bisa mengendalikan, tentu menuntut adanya pembatasan mobilitas dan interaksi manusia," kata Dicky saat dihubungi, Jumat (26/3/2021).
Dicky mengatakan, berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini, mobilitas dan interaksi manusia terbukti berkontribusi dalam perburukan situasi pandemi Covid-19.
Baca Juga: Mudik Lebaran 2021 Resmi Dilarang, Anies Baswedan Buka Suara: Virus Corona Tak Kenal Lebaran
"Apalagi ditambah adanya potensi dari strain baru yang lebih cepat ya, sangat efektif menular, dan itu pun yang baru bisa kita deteksi adalah varian B.1.1.7, belum potensi varian lain yang kita masih memiliki keterbatasan untuk mendeteksinya," katanya lagi.
Menurut Dicky, mencegah adanya mobilisasi dan interaksi masif manusia dengan melarang mudik Lebaran tidak hanya berkontribusi mencegah penularan Covid-19, tetapi juga mencegah kemunculan strain virus baru.
Dicky mengatakan, dari satu superspreader event, terdapat potensi untuk melahirkan satu superstrain virus.
Baca Juga: Mudik Lebaran 2021 Resmi Dilarang, Mensos Risma Malah Berencana Lakukan Hal Ini
Kendati demikian, Dicky mengingatkan bahwa pembatasan mobilitas manusia tidak cukup dengan hanya melarang masyarakat melakukan mudik Lebaran.
Menurut Dicky, pembatasan dan pengaturan mobilitas manusia juga tetap perlu dilakukan di dalam kota.
Dia mengatakan, pembatasan tersebut bisa diterapkan dengan memperhatikan beberapa hal, antara lain: Pertama dari segi tempat, yakni mengacu pada zona risiko penularan Covid-19.
Kemudian dari segi aktivitas, yaitu mengatur agar jika ada aktivitas masyarakat, dapat dilakukan di luar ruangan dengan penerapan protokol kesehatan pribadi.
"Dalam situasi saat ini, sebaiknya memakai masker dua lapis, jaga jarak minimal dua meter, dibiasakan mencuci tangan, dan tentu saja aktivitas di luar rumah bila amat sangat penting sekali," kata dia.
Lebih lanjut, Dicky juga menyarankan pemerintah daerah untuk memberikan informasi dan sosialisasi yang memadai kepada masyarakat, mengenai daftar lokasi mana saja yang termasuk zona hijau, oranye, atau merah.
Kendaraan pemudik memadati jalur tol Palikanci, Tegalkarang, Cirebon, Jawa Barat, Minggu (9/6/2019).
"Ini perlu dan penting untuk situasi saat ini, untuk sekali lagi meminimalkan potensi penyebaran," kata Dicky kepada Kompas.com.
Terakhir, menurut Dicky, ada satu hal lain yang juga tidak boleh dilupakan, yaitu penguatan dari aspek testing dan tracing, yang diikuti dengan isolasi dan karantina.
"Harus terus dilakukan dengan komitmen tinggi di semua daerah dan juga konsisten.
Ini yang masih menjadi PR (pekerjaan rumah) di Indonesia, dan di sisi lain, masyarakat juga harus disiplin melakukan 5M," pungkas Dicky.
Pemerintah resmi memberlakukan larangan mudik Lebaran 2021 yang berlaku bagi semua masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Ikuti Perintah Megawati, Begini Nasib Bansos Covid-19 Usai Risma Ditunjuk Jadi Menteri Sosial
Mengutip Kompas.com, Jumat (26/3/2021), larangan mudik Lebaran 2021 disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.
Muhadjir menyampaikan, keputusan melarang mudik Lebaran 2021 ditetapkan berdasarkan hasil rapat tingkat menteri.
"Ditetapkan bahwa tahun 2021 mudik ditiadakan. Berlaku untuk seluruh ASN, TNI, Polri, BUMN, karyawan swasta maupun pekerja mandiri, dan juga seluruh masyarakat," ujar Muhadjir dalam konferensi pers secara virtual, usai rapat.
Pemerintah memutuskan melarang mudik Lebaran setelah mempertimbangkan tingginya angka penularan dan kematian akibat Covid-19 setelah beberapa kali libur panjang, khususnya setelah libur Natal dan Tahun Baru.
Muhadjir mengatakan, larangan mudik tersebut akan mulai berlaku mulai 6-17 Mei 2021.
Sebelum dan sesudah waktu tersebut, masyarakat diimbau untuk tetap meniadakan aktivitas perjalanan.
"Larangan mudik akan mulai pada 6-17 Mei 2021. Sebelum dan sesudah waktu tersebut, diimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan pergerakan atau kegiatan-kegiatan ke luar daerah, kecuali betul-betul dalam keadaan mendesak dan perlu," kata Muhadjir.
Presiden Joko Widodo sebelumnya menyebut bahwa kasus Covid-19 di sejumlah negara mengalami lonjakan beberapa waktu terakhir.
Mengetahui hal ini, ia mengaku bersyukur karena kasus Covid-19 di Indonesia mengalami penurunan.
"Kita alhamdulillah, di Januari kita pernah berada di angka 13.000 kasus harian, 14.000, bahkan pernah 15.000. Sekarang kita sudah turun dan berada di angka 5.000, 6.000, dan akan terus kita turunkan," kata Jokowi saat membuka Musyawarah Nasional V Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Istana Negara, Jumat (26/3/2021).
Kasus Covid-19 di Indonesia
Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia Dicky Budiman kembali mengatakan, penurunan kasus harian Covid-19 di Indonesia justru perlu disikapi dengan hati-hati.
Pasalnya, menurut dia, kondisi penurunan itu tak serta merta dapat disebut bahwa Indonesia kini telah melewati puncak pandemi Covid-19.
"Ini kondisi yang tidak mudah dijawab, bahkan pada kondisi di mana saat ini terjadi penurunan kasus harian. Karena apa? Pertama, bahkan dalam satu negara dengan cakupan testing yang luar biasa pun, mereka sangat hati-hati," kata Dicky saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (27/3/2021).
"Karena puncak itu umumnya, diketahui bahkan dua minggu setidaknya dari atau sejak puncak itu terlewati. Jadi ada tren yang sangat menurun, signifikan," sambung dia.
Ia menekankan, Indonesia harus memastikan bahwa test positivity rate-nya telah berada setidaknya di bawah delapan persen secara berturut-turut selama dua minggu.
Hal tersebut menandakan bahwa testing dan tracing di Indonesia telah memadai. Kondisi itu pula yang dapat menjadi tolok ukur untuk mengatakan Indonesia telah melewati puncak pandemi yang diiringi dengan penurunan kasus.
Namun, melihat situasi di Indonesia, Dicky melihat test positivity rate justru masih berada di atas 10 persen.
Maka, kata dia, tidak tepat jika Indonesia disebut telah melewati puncak pandemi.
"Tentu itu tidak kuat ya argumentasinya. Karena menandakan testing kita, tracing kita itu tidak memadai. Jadi kita tidak bisa memprediksi.
Jauh lebih banyak kasus infeksi di masyarakat yang tidak terdeteksi. Jadi bagaimana kita mengatakan bahwa kita sudah mencapai puncak?" ujar dia.
Lebih lanjut, Dicky juga mengingatkan bahwa Indonesia akan mencapai puncak pandemi yang berbeda di setiap daerahnya.
Hal tersebut tergantung pada program testing, tracing dan treatment (3T) dan strategi 5M yang dilakukan pemerintah daerah (pemda) masing-masing.
"Dan juga strategi public health mereka misalnya pengetatan-pengetatan. Nah, ini tentu akan bervariasi," tutur dia.
Menguatkan argumennya bahwa Indonesia belum melewati puncak pandemi, Dicky menjabarkan bagaimana kondisi program 3T yang masih stabil taraf rendah.
Menurut dia, program 3T di lapangan yang dijalankan pemerintah bahkan cenderung menurun beberapa waktu belakangan.
"Kalau bicara testing saja, kita akan bisa saja melihat bahwa harusnya 5.000 kasus positif di Indonesia, itu besoknya itu harusnya ada 100.000 testing terhadap tracing atau kasus kontaknya. Itu yang harus terjadi dalam logika program pengendalian," jelas Dicky.
"Sehingga kalau ini dilakukan terus menerus, konsisten, setidaknya dua minggu, satu bulan, kita akan bisa cukup konfiden mengatakan kita sudah mencapai puncaknya.
Ini tricky-nya di Indonesia karena artinya sekali lagi, kasus penurunan ini tidak disertai dengan adanya intervensi yang memadai," pungkas dia.
(Kompas.com)