Fotokita.net-Perdana Menteri Australia Scott Morrison telah memutuskan untuk menghabiskan uang banyak untuk pertahanan negaranya walaupun sedang krisis ekonomi.
Tidak tanggung-tanggung, Australia gelontorkan Rp 2.808.384.064.200.000,00 atau hampir 3 Quadrillion Rupiah untuk membangun ketahanan mereka.
Seperti diketahui, Australia telah menyusul langkah Amerika Serikatmenolak klaim Tiongkok atas Laut China Selatan karena tidak sesuai dengan konvensi PBB UNCLOS 1982.
Mengutip news.com.au, Australia sedang membangun benteng, hal yang justru membuat China berang.
Uang itu digelontorkan ke perang siber, sistem ketahanan bawah laut, jaringan komunikasi luar angkasa, dan misil dengan jangkauan yang jauh.
Morrison ingatkan warganya jika Australia merupakan pusat ketegangan kekuatan besar di dunia.
Risiko salah perhitungan dan konflik akan meningkat berkali-kali lipat.
"Kita hidup di Indo-Pasifik, dan kita ingin Indo-Pasifik yang berdaulat, terbuka, bebas dari koersi dan hegemoni," ujarnya tanpa sebutkan ancaman tertentu.
Ancaman tersebut memang cukup nyata bagi Australia.
India, Nepal, Bhutan, Vietnam, Malaysia, Filipina, Jepang. Negara-negara itu adalah negara yang telah menghadapi ketegangan militer di perbatasan mereka minggu-minggu terakhir ini.
Selanjutnya masih ada perang siber terbuka yang merupakan serangan internasional yang didukung penuh oleh masing-masing negara, menyerang bisnis kecil sampai operasi pemerintah skala besar.
Tentunya, tanpa menyebut pun Australia sudah menunjuk satu negara yang sebabkan itu semua.
"Saat mereka bicarakan perilaku buruk yang terjadi di wilayah ini, aneksasi teritori, koersi, pengaruh politik lokal, penggunaan serangan siber, hanya 1 negara yang lakukan itu di level industri.
"Itulah China, yang sebabkan ini semua," ujar kepala Australian Strategic Policy Institute (ASPI), Peter Jennings kemarin.
Misil jarak jauh
Belanja militer paling boros yang dilakukan Morrison adalah Misil Jarak Jauh Penghancur Kapal atau LRASM tipe AGM-158C.
Pembangunan di pulau karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly, menurut citra satelit yang direkam pada 9 Maret 2017, yang dirilis oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI).
Misil itu bisa ditembakkan dari udara maupun dari darat, dan memiliki jangkauan lebih dari 370 km.
Misil itu ramping dan cepat dan mudah dikendalikan.
Namun, risiko memiliki senjata mematikan itu adalah profil Australia di Indo-Pasifik sudah berubah seutuhnya.
China tahu itu, dan telah mengancam terkait tindakan Australia selanjutnya.
Senjata inilah yang menjadi sinyal perubahan strategi militer Australia menjadi strategi 'landak semut'.
Dunia sedang krisis
Analis takutkan Beijing bereaksi terhadap pandemi Covid-19 sebagai sebuah kesempatan.
Secara terbalik, AS, Inggris dan Uni Eropa, serta Australia menderita akibat krisis ekonomi dan perdagangan internasional, serta banyaknya pengangguran yang ada.
(Ilustrasi) Pangkalan militer Laut China Selatan
Itu hanya mempercepat keseimbangan kekuatan internasional ke arah Beijing.
Pengaruh Australia dan AS mulai menghilang secara relatif, ujar analis Lowy Institute Sam Roggeveen.
Kini, Beijing telah peringatkan kepada negara manapun yang miliki misil jarak jauh (kecuali mereka sendiri).
Washington dahulu telah dicegah meluncurkan misil sejauh 5500 km dalam perjanjian Perang Dingin dengan Moskow.
China sama sekali tidak pernah menandatangani kesepakatan apapun dan telah sibuk membangun senjata baru selama 10 tahun terakhir ini.
Namun administrasi Trump mulai tinggalkan penyelesaian cara lama dengan ciptakan perjanjian-perjanjian sejak Agustus tahun lalu.
Utamanya adalah karena ancaman China yang semakin besar.
Analisis rencana China untuk menguasai jalur perdagangan yang dibuat oleh analis Australia
Di bulan yang sama, Menteri Pertahanan AS Mark Esper mengungkapkan ia ingin luncurkan misil seperti itu ke Asia.
Sementara itu juru bicara Menteri Pertahanan China, Kolonel Senior Wu Qian mengungkapkan Rabu lalu jika "China melawan adanya tindakan peluncuran misil seperti itu.
"Jika AS bersikeras ingin luncurkan misil, maka itu akan memprovokasi China, dan China akan melawan," ujar Wu.
Australia dan Amerika Serikat mengatakan, tidak menerima pernyataan China bahwa kedaulatannya atas Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly "mendapat pengakuan secara luas dari masyarakat internasional", mengutip keberatan dari Vietnam dan Filipina.
Cina mengklaim 90% perairan yang berpotensi kaya energi.
Hal itu bertentangan dengan kepentingan Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam juga mengklaim bagian-bagiannya di Laut China Selatan.
Sekilas memang tindakan AS dan Australia terlihat seperti membantu dan melindungi ASEAN dari pencaplokan sewenang-wenang China.
Namun perlu diingat, tidak ada makan siang gratis di dunia ini, yang artinya pastinya kedua negara tersebut memiliki kepentingan sendiri di wilayah Pasifik.
Ada alasan kuat mengapa Australia dan AS mulai harus perkuat posisi mereka di Laut China Selatan.
Alasan utamanya adalah China, yang kebangkitan militernya dipastikan menyingkirkan hegemoni AS di wilayah itu.
Namun rupanya bagi Australia, kebangkitan Indonesia sama pentingnya.
Bahkan, kebangkitan militer Indonesia menjadi hal penting yang harus dipertimbangkan bagi rencana militer Australia.
Sehingga seorang analis mengatakan Australia tidak hanya perlu senjata yang bisa tenggelamkan kapal-kapal ribuan kilometer dari pantai mereka.
Namun mereka juga harus tingkatkan kemampuan target darat yang jangkauannya terhitung jauh.
Penulis seri Strategist di Australian Strategic Policy Institute, Marcus Hellyer menjelaskan ada dua pencegahan kemajuan militer negara lain yang bisa diterapkan Australia untuk menghadapi ancaman yang bisa muncul.
Australia bisa mencegahnya dengan menghukum mereka atau membuat biaya perkembangan militer itu terlalu mahal bagi mereka, sehingga harga yang fantastis membuat mereka berpikir dua kali untuk mengembangkan militernya.
Hukuman mungkin bisa diterapkan untuk menarget teritori China, tetapi Hellyer jelaskan jika China tidak akan mudah percaya jika Australia akan lakukan itu.
Pasalnya, jika dihukum, Beijing akan merespon dengan cara yang jauh lebih buruk.
Kebangkitan militer di wilayah China adalah simbolisme politik yang sangat dramatis sampai hampir menjamin akan terjadi konflik oleh China.
Sebaliknya, China juga punya kontrol untuk menetralkan ketegangan yang hampir terjadi.
Australia akan sadar akan kontrol China tersebut, sehingga Australia harus bergerak lebih cepat menggunakan logika "segera gunakan atau nanti akan kehilangan".
Namun, berargumen dengan China terkait sanksi yang akan diterapkan jika China nakal akan sebabkan ketidakstabilan dan krisis berkepanjangan.
Sehingga, walaupun Australia memiliki senjata dengan jangkauan 4000 km sangatlah problematis, bahkan untuk lakukan pendekatan pencegahan dengan strategi penolakan.
Senjata sekuat itu sebabkan ambiguitas atau makna ganda, karena bisa digunakan untuk serang lapangan terbang jet tempur tetapi Australia bisa dengan mudah menjadi target serangan nuklir.
Senjata sejauh 4000 km akan keluarkan China dari jangkauan serangan itu, sehingga tunjukkan jika Australia tidak menghukum China secara langsung.
Namun, pulau-pulau buatan yang dikatakan menjadi milik China akan terkena, dan itu tentu membuat China berang.
Lebih lagi, senjata yang jarak serangnya 4000 km itu akan sangat kuat bisa menghancurkan Indonesia.
Sam Roggeveen, penulis lain untuk Australian Strategic Policy Institute, sebutkan mengapa Jakarta penting untuk tidak dijadikan target serangan Australia.
Saat Indonesia lemah, Australia dapat suka-suka kembangkan jet tempur F-111 tanpa mendapat serangan balasan dari Jakarta.
Namun, kekuatan militer Indonesia semakin kuat setiap harinya, tengah abad ini dikatakan kekuatan militer Indonesia akan bangkit, sampai bisa kirim rudal jarak jauh sendiri.
Sehingga bagi Sam Roggeveen, dalam menyatakan pernyataannya Australia harus tegas tidak akan berikan ancaman untuk Jakarta.
Australia harus menenangkan hati Indonesia, dan jika ada rudalnya yang menyerang salah satu pulau di Indonesia, maka tentunya Indonesia akan siap menyerang balik.
Perkembangan senjata Australia
Pertimbangan ini sangat disayangkan, karena melansir abc.net.au, Australia telah menjadi negara kedua pengimpor senjata di bawah Arab Saudi.
2018 lalu, Australia gelontorkan uang tidak sedikit untuk membayar jet tempur baru seperti Jet Tempur Serangan Gabungan dan proyek Kapal Selam Masa Depan dari Perancis.
Perdana Menteri Scott Morrison sendiri telah putuskan habiskan uang banyak di bidang pertahanan dan keamanan selama krisis ekonomi nasional.
Ia mengatakan kepada Akademi Pasukan Pertahanan Australia, jika Australia berada di tengah ketegangan militer berat.