Nama Tommy Soeharto meredup saat ayahnya dipaksa turun dari kursi presiden sejak awal 1998. Pada 21 Mei 1998 Presiden ke-2 Soeharto berpidato mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan di Indonesia.
Salah satu tokoh masyarakat yang terus mendorong Presiden Soeharto turun dari tampuk kekuasaannya adalah budayaawan Emha Ainun Najib atau kerap disapa Cak Nun.
Pada saat Soeharto berpidato 21 Mei itu, Cak Nun ikut menjadi saksi langsung pengunduran diri ayah Tommy Soeharti di Istana Merdeka Jakarta. Cak Nun memang tak sendirian ketika itu.
Ada sejumlah tokoh lainnya yang turut hadir, sepertiMalik Fadjar (Muhammadiyah), Abdurrahman Wahid (NU), Ahmad Bagja, Ali Yafie, Anwar Harjono, Ilyas Rukhiyat, Ma'ruf Amin, Soetrisno Muhdam, dan Nurcholish Madjid.

Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun saat menghadiri pengunduran diri Presiden Soeharto. Cak Nun menjadi saksi kamar mewah Tommy Soeharto saat mendekam di LP Cipinang.
Belakangan, Cak Nunkerap bersuara menyesal menurunkan Pak Harto adalah Cak Nun. Ungkapan tersebut tentunya satir. Sindiran halus terhadap kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak kunjung membaik setelah menurunkan Soeharto.
"Saya kecewa menurunkan Soeharto sekarang, kenapa saya nguruki [memberitahu] 'tidak jadi presiden tidak patheken.' Harusnya diteruskan sampai mati bersama, daripada mati tidak jelas," ujarnya dalam acara Jamaah Maiyah yang diungguh di YouTube.
Menurutnya, kekecewaan itu karena kondisi saat ini sangat abu-abu. Baik dari sikap politisi ataupun pemerintah sehingga kondisi politik dan ekonomi tak lebih baik dibandingkan dengan Orde Baru.
"Kalau dulu jelas merah-merah, putih-putih. Hitam ya hitam, kalau sekarang hitam abu-abu, merahnya macem-macem. Dalam pemahaman Islam lebih susah mengurusi satu orang munafik daripada 100 orang kafir. Sekarang tidak jelas semua," tegas Cak Nun.