Dengan meningkatnya harga, semakin sulit bagi orang untuk memperoleh bahkan sebagian kecil tanah.
Mariano Parada, 34, aktivis dari Masyarakat Timor-Indonesia, sebuah kelompok nirlaba yang mengadvokasi warga Timor Leste di Kabupaten Belu, mengatakan bahwa setelah UNHCR mengakhiri tugasnya pada tahun 2002, masyarakat diberi kesempatan untuk memilih repatriasi atau pemukiman kembali.
Dia mengatakan hanya repatriasi yang berhasil, sementara pemukiman kembali gagal total.
Sebagian besar ekspatriat Timor yang menetap di distrik hidup dalam kemiskinan parah kecuali sejumlah kecil yang direkrut oleh lembaga pemerintah atau polisi.
"Ini dilema. Kami memilih untuk tinggal tetapi tidak memiliki tempat tinggal yang layak. Banyak juga yang tidak bisa kembali ke Timor-Leste. Hidup sangat sulit," katanya.
Parada khawatir kondisi seperti itu akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan menimbulkan konflik.
"Ketika orang tidak bisa lagi menahan penderitaan, terus hidup dalam ketidakpastian, saya khawatir itu akan berakhir dengan balas dendam," katanya.
"Orang banyak berkorban. Mereka meninggalkan rumah bahkan ada yang membunuh orang lain selama perang pro-Indonesia.