Follow Us

Jokowi Rencanakan Aturan Soal Upah Dibayar Per Jam, Begini Alasan Buruh Tak Setuju Perubahan Itu. Akankah Mereka Turun ke Jalan?

Bayu Dwi Mardana Kusuma - Jumat, 27 Desember 2019 | 09:53
Massa buruh berdemonstrasi di sekitar Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/10/2019).
(KOMPAS.com/CYNTHIA LOVA)

Massa buruh berdemonstrasi di sekitar Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Fotokita.net - Pemerintah saat ini sedang mengkaji sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan seperti fleksibilitas jam kerja hingga proses rekrutmen maupun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Hal itu akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law.

Terbaru soal upah minimum, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, dimana formula kenaikan upah didasarkan pada inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga: Heboh Rencana Jokowi Ubah Upah Pekerja dari Gaji Bulanan Jadi Hitungan Bayaran Per Jam. Ternyata Begini Kronologinya

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga menjelaskan, di dalam omnibus law ketenagakerjaan pemerintah bakal merevisi beberapa aturan mengenai gaji dan pesangon, prinsip easy hiring dan easy firing, hingga kemudahan untuk merekrut tenaga kerja asing.

Selain itu, di dalam omnibus law juga bakal diperlonggar aturan mengenai fleksibilitas jam kerja.

Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono, menegaskan penolakan atas upah yang akan dibayar per jam. Dia menilai, upah minimum pekerja saat ini pun masih dianggap rendah.

"Buruh menolak terkait pembayaran upah per jam. Hal ini, karena, upah minimum di Indonesia masih rendah," kata Kahar dalam pesan tertulisnya, di Jakarta, Jumat (27/12/2019).

Dari sudut pandang perwakilan buruh, saat ini, upah dibayarkan per bulan dengan 8 jam kerja per hari atau 40 jam per minggu sudah tepat. Termasuk hari libur resmi dan cuti, upah yang diterima para buruh tidak berkurang.

Baca Juga: Jutaan Orang Tidak Menyadari, Tak Perlu Jadi Simpanan Pejabat, Gaji Pramugari Sudah Samai Upah Manajer. Padahal, Syarat Masuknya Cukup Lulusan Sekolah Tingkat Ini

"Kalau upah per jam, ketika ada hari libur nasional, maka buruh tidak akan mendapatkan upah. Karena buruh sedang libur, tidak bekerja. Jika upah dibayarkan per jam, kita khawatir pendapatan yang diterima buruh kurang dari upah minimum," jelasnya.

Alasan lainnya, bagi pengusaha yang mempekerjakan buruh bisa saja hanya dipekerjakan saat jam-jam tertentu.

"Misalnya, pekerja housekeeping di hotel. Upahnya hanya dihitung beberapa jam ketika membereskan kamar, saat tamu check out, dan sebagainya," katanya.

Kahar mengungkapkan, dengan sistem bekerja 8 jam sehari saja saat ini masih banyak yang belum dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Baca Juga: Gaji PNS Golongan Tertinggi Pun Masih Lebih Rendah Daripada Upah Buruh, Lantas Kenapa Tes CPNS Selalu Membeludak? Inilah Alasannya

Apalagi upah per jam, akan mendorong perusahaan mempekerjakan buruh kurang dari 8 jam.

"Jadi upah per jam tidak memberikan kepastian terhadap pendapatan yang diterima buruh," ujarnya. (Kompas.com)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya

Latest