Setelah Belanda menguasai Surabaya di awal Desember, Saleh mengikuti rekan-rekannya hijrah ke Malang untuk menghindari penangkapan oleh tentara Belanda.
Sementara itu adik perempuan Saleh, Siti Hanifah, juga aktif sebagai relawan perang kemerdekaan. Saat Surabaya sudah dikuasai Sekutu dan Belanda, Hanifah juga berusaha mengungsi ke luar kota. Ketika pamit ke ibunya untuk menyusul kakaknya ke Malang, ia dititipi rol film Saleh yang kemudian disimpannya di di kendit (semacam ikat pinggang).
Perjuangan Hanifah juga tak mudah, ia harus naik perahu menyusuri pesisir timur Surabaya hingga sampai di Sidoarjo. Kemudian ia diantar temannya ke Malang dan bertemulah dengan sang kakak.
Saleh sangat gembira ketika Hanifah menyerahkan rol film miliknya yang dikiranya sudah hilang karena tak ada kabar dari ibunya.
Gulungan seluloid tersebut yang akhirnya diproses Saleh untuk kemudian dicetak menjadi foto yang kini kita kenal sebagai peristiwa perobekan bendera di Surabaya.
Catatan tentang peran Abdul Wahab Saleh selama perang kemerdekaan sangatlah minim. Yang ada hanyalah kliping berita koleksi keluarganya yang diambil dari berbagai media yang pernah menulis kisahnya di tahun 1970-an hingga saat Saleh wafat di bulan April 1982.

Hotel Majapahit
Salah satu catatan tersisa adalah tulisan sahabatnya sesama wartawan di Antara, Soebagijo IN, yang dimuat di koran Surabaya Post seminggu setelah Saleh berpulang. Soebagijo yang juga dikenal sebagai wartawan senior penulis sejarah juga sudah berpulang tahun 2013 lalu.
Sepak terjang Saleh sungguh luar biasa karena dia mengabadikan semua peristiwa pertempuran kemerdekaan di Surabaya dari September hingga awal Desember 1945.
Selain foto perobekan bendera, foto lain yang diabadikannya adalah pidato Bung Tomo yang membakar semangat arek-arek Surabaya. (Arbain Rambey/Kompas.id)