Agus menjelaskan, posisi wamen tidak jelas, apakah sebagai politisi, profesional, atau pegawai negeri sipil. Semestinya ada batasan jelas sehingga wamen dapat menjalankan fungsinya untuk menerjemahkan pekerjaan menteri yang bersifat teknokratik.
”Kalau menteri dan wamen tidak ada kejelasannya, ini akan menimbulkan miskomunikasi di Jokowi. Saya yakin, ini akan menimbulkan konflik di belakang hari,” katanya.
Selain itu, keputusan Presiden Jokowi menghadirkan hingga 12 wamen mengingkari janji yang disampaikannya saat pidato pelantikan presiden di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, 20 Oktober lalu.
Saat itu, Presiden berjanji akan menyederhanakan birokrasi, sedangkan yang dilakukan Jokowi dengan menambah hingga 12 wamen justru membuat gemuk birokrasi.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Sofian Effendi menyoroti sejumlah kementerian yang tugas pokok dan fungsinya besar, tetapi Presiden tidak menghadirkan wamen di kementerian tersebut. Sebagai contoh, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Selain itu, dia mengkritisi penunjukan sejumlah wamen yang latar belakangnya tidak pas dengan tugas dan fungsi kementerian. ”Seharusnya wamen itu orang praktisi yang ahli bidangnya. Kalau hanya sekadar bagi-bagi jabatan, ya, enggak ada gunanya,” ujar Sofian. (Sharon Patricia/Kompas.id)
Penulis | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
Editor | : | Bayu Dwi Mardana Kusuma |
KOMENTAR