"Memang perlu ada waktu, sejarah pernah terjadi tahun 2000 yang namanya Wamena Berdarah, di mana konflik horisontal antara pendatang dengan pribumi, terjadi pembantaian besar-besaran," katanya kepada BBC News Indonesia.
"Namun setelah tahun 2000 sampai tahun 2019, masyarakat hidup berdampingan. Tentunya ini perlu ada waktu untuk menghilangkan trauma dan rasa dendam, dendam ini artinya bahwa banyak rumah-rumah, harta benda yang dimiliki oleh pendatang, bahkan rumah-rumah masyarakat pribumi pun banyak yang terbakar di sini, sehingga memang kita memerlukan waktu untuk bisa memulihkan situasi dan menghilangkan rasa trauma dan dendam yang saat ini mungkin masih terasa di masing-masing suku," tambahnya.
Kejadian di Wamena pada 6 Oktober tahun 2000 itu menyebabkan tujuh orang Papua dan 24 pendatang meninggal.
Lebih dari 5.000 warga Wamena saat ini mengungsi di markas kepolisian dan militer menyusul kerusuhan, sementara sekitar 400 memilih pindah untuk sementara ke Jayapura hingga kondisi pulih.
Di antara mereka yang mengungsi adalah Zakaryas (56), -bukan nama sebenarnya- pendatang asal Makassar, Sulawesi Selatan. Saat peristiwa Senin (22/09) lalu, ia dilempari batu oleh massa berseragam sekolah.
"Saya lari lagi, saya suruh anak saya 'ayo semua lari, tutup pintu, semuanya', jadi saya jaga di pintu, takutnya massa masuk di lorong," ungkap Zakaryas, yang mengaku trauma atas kejadian itu, kepada BBC News Indonesia, melalui sambungan telepon (26/09).
"Saya sempat menghalau masyarakat melempar, tapi saya dilempar juga."