"(Polisi) membawa surat penangkapan karena alasan posting di media sosial Twitter mengenai Papua," kata Irna yang dihubungi pada Kamis malam.
Dandhy Dwi Laksono yang dikenal sebagai aktivis, jurnalis dan sekaligus sutradara film dokumenter, Kamis malam (26/9) ditangkap polisi.
Menurut salinan surat perintah penangkapan yang diperoleh VOA, Dandhy yang kelahiran Lumajang tahun 1976 itu ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok.” Dandhy dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE.
Kuasa hukum Dandhy, Alghifari Aqsa, kepada Kompas mengatakan kliennya ditangkap karena “dianggap menyebarkan kebencian berdasarkan SARA melalui media elektronik, terkait kasus Papua.”
Namun belum jelas unggahan apa dan pada akun media sosial mana yang dinilai polisi melanggar UU ITE tersebut.
Pantauan awal VOA pada sejumlah akun media sosial Dandhy, memang menunjukkan beberapa unggahan yang menyoal tentang Papua, yaitu pada akun Twitter. Dalam cuitan yang diunggah tiga jam sebelum ditangkap itu, Dandhy mengkritisi Presiden Joko Widodo. Dengan merujuk pada laporan media tentang Jokowi yang menegaskan komitmennya untuk menjaga demokrasi, Dandhy menulis “mengangkat jendral Orba, lima tahun berkuasa tak satu pun kasus HAM diselesaikan, (2) merespon Papua dengan mengirim pasukan dan menangkapi aktivis dengan pasal makar, (3) membatasi internet...
Belum jelas apakah cuitan ini yang membuatnya ditangkap.
1. Mengangkat jenderal Orba. Lima tahun berkuasa tak satupun kasus HAM diselesaikan.2. Merespon Papua dengan mengirim pasukan dan menangkapi aktivis dengan pasal makar.3. Membatasi internet, aparatnya razia buku, ikut nyebar hoaks, dan sarat kekerasan. https://t.co/0wCMQSj0O5— Dandhy Laksono (@Dandhy_Laksono) September 26, 2019
Tetapi selain cuitan itu ada beberapa cuitan lain yang diunggah Dandhy hari Kamis (26/9) terkait demonstrasi dan kerusuhan di Wamena, serta demonstrasi dan aksi kekerasan di Sulawesi Tenggara dan Jakarta.