Mustofa Rahman (23), mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mengatakan, kata-kata jenaka dariposter-poster tersebut menjadi cara mahasiswa menyampaikan aspirasi. ”Kami bergerak atas nama rakyat. Kami ingin rakyat bersimpati. Cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui humor,”tuturnya.

Ribuan mahassiswa dari berbagai kampus dan organisasi memenuhi jalan di sekitar gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Demonstrasi tersebut lanjutan dari aksi sebelumnya yang menolak revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, dan Minerba. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Kritik menggunakan kalimat satire menjadi warna baru pergerakan mahasiswa. Menurut Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung Septiawan Santana Kurnia, hal itu tak lepas dari kultur yang berkembang di generasi milenial.
”Gaya mereka lebih santai dan ceria, tetapi bukan lemah. Gugatan mereka justru tajam lewat kritik dalam bentuk sindiran,” ujarnya.

Spanduk bernada sarkastik tampil dalam aksi demonstrasi mahasiswa di Gedung DPRD Provinsi Lampung, Selasa (24/9/2019). Aksi mahasiswa menghasilkan 14 kesepakatan dengan DPRD setempat.
Hal itu tak lepas dari kondisi sosial politik saat ini. Dia membandingkan dengan gerakan mahasiswa periode sebelumnya. Pada gerakan mahasiswa di zaman Orde Baru, misalnya, mahasiswa lebih agresif karena melawan pemerintah yang represif lewat kekuatan militer. ”Situasi berubah. Ini kemajuan kreativitas dalam menggugat sesuatu,” ujarnya.
Hari-hari penuh satire dalam dunia pergerakan hari ini sepertinya belum akan berakhir. Di tangan anak kekinian, kreativitas menjadi daya gedor yang mengena. (Kompas.id/TAM/SEM/IKI/GIO/DAN/FAI/AIN/NCA)