Mustofa Rahman (23), mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mengatakan, kata-kata jenaka dari poster-poster tersebut menjadi cara mahasiswa menyampaikan aspirasi. ”Kami bergerak atas nama rakyat. Kami ingin rakyat bersimpati. Cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui humor,” tuturnya.
Kritik menggunakan kalimat satire menjadi warna baru pergerakan mahasiswa. Menurut Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung Septiawan Santana Kurnia, hal itu tak lepas dari kultur yang berkembang di generasi milenial.
”Gaya mereka lebih santai dan ceria, tetapi bukan lemah. Gugatan mereka justru tajam lewat kritik dalam bentuk sindiran,” ujarnya.
Hal itu tak lepas dari kondisi sosial politik saat ini. Dia membandingkan dengan gerakan mahasiswa periode sebelumnya. Pada gerakan mahasiswa di zaman Orde Baru, misalnya, mahasiswa lebih agresif karena melawan pemerintah yang represif lewat kekuatan militer. ”Situasi berubah. Ini kemajuan kreativitas dalam menggugat sesuatu,” ujarnya.
Hari-hari penuh satire dalam dunia pergerakan hari ini sepertinya belum akan berakhir. Di tangan anak kekinian, kreativitas menjadi daya gedor yang mengena. (Kompas.id/TAM/SEM/IKI/GIO/DAN/FAI/AIN/NCA)