Adanya Amanat 5 September 1945 juga menunjukkan dukungan Keraton Yogyakarta terhadap kemerdekaan Indonesia. Lewat amanat tersebut, Hamengku Buwono IX bersama Paku Alam VIII mengakui keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara baru dan menyatakan bergabung dengan negara yang baru lahir tersebut.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memperdaya Jepang sehingga rakyat Jogja lolos dari program romusha.
Yudahadiningrat menyampaikan, hal itu pula yang mendasari sifat keistimewaan Yogyakarta. Daerah yang semula otonom dan punya pemerintahan sendiri melalui kepemimpinan Keraton Yogyakarta, lalu mendukung dan menyatakan bergabung dengan Indonesia.
Perjuangan yang dilakukan juga berupa proklamasi kemerdekaan yang kedua pada 30 Juni 1949. Setelah proklamasi pertama, terdapat berbagai upaya pendudukan kembali oleh Belanda terhadap Indonesia sehingga pemerintahan dipindahkan sementara waktu ke Yogyakarta. Selain itu, Belanda juga membentuk narasi bahwa Indonesia belum merdeka.

Gedung Agung Yogyakarta, salah satu Istana Kepresidenan Indonesia
Proklamasi kedua menjadi langkah penegasan bahwa Indonesia merupakan negara berdaulat yang diakui. Hal itu dilakukan sambil menanti kembalinya Soekarno dan sejumlah menteri dari tempat pengasingan ke Yogyakarta.
Beni Suharsono, Paniradya Keistimewaan, mengatakan, sejarah dan teladan yang dicontohkan Hamengku Buwono IX tidak boleh dilupakan. Peristiwa Amanat 5 September 1945 itu perlu diaktualisasikan dengan konteks kekinian. Bentuk yang tepat dalam menerjemahkan semangat tersebut yang harus dicari.
”Kami ingin menerjemahkan nilai-nilai yang ditanamkan itu sesuai dengan generasi berikutnya. Ruang yang kosong ini harus diisi menjadi lebih komplet dan bergulir pada pemberdayaan masyarakat,” kata Beni.
Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho mengungkapkan, internalisasi nilai luhur dari Hamengku Buwono IX itu penting. Sejarah tersebut harus selalu diulang dan disalurkan pengetahuannya kepada generasi muda. Sikap pengorbanan itu hendaknya mampu menginspirasi para penerus bangsa untuk menjadi pionir yang rela berkorban memajukan daerahnya. Hal tersebut merupakan bentuk kepahlawanan dalam konteks kekinian.
Aris menambahkan,eventatau ajang kebudayaan mampu menjadi salah satu opsi yang digunakan untuk menginternalisasi sejarah tersebut. Bisa berupa diskusi publik, sarasehan, ataupun pertunjukan teaterikal yang fungsinya merawat ingatan tentang teladan tokoh bangsa.
Harapannya, hal itu bisa disambungkan dengan momen perayaan kemerdekaan mengingat konteks sejarah yang hendak direvitalisasi erat kaitannya dengan berdirinya Indonesia. (Nino Citra Anugrahanto/Kompas.id)