Hal ini disebabkan karena kebiasaan untuk bersemadi tadi masih tetap dilakukan. Selain itu hal yang biasa dilakukan oleh raja Hayam Wuruk pada jaman Majapahit untuk berziarah ke tempat-tempat keramat dan ke makam leluhur dinasti, masih dijalankan juga oleh raja-raja Mataram pada zaman Kartosuro dan Surakarta.
Krapyak Pring Amba, misalnya, terletak di kaki bukit Girilaya dan di bukit ini dimakamkan salah seorang isteri Amangkurat I dan Sunan Geseng salah seorang di antara Walisongo. Sedangkan muara sungai Opak kecuali dekat pantai Selatan, juga tidak begitu jauh letaknya dari Imogiri, yaitu kompleks makam keluarga kerajaan Mataram dimulai dari Sultan Agung.
Pada waktu acara ziarah ke makam leluhur dinasti itulah sering diseling dengan acara berburu di dalam Krapyak. Berita tertua tentang perburuan semacam itu kita peroleh dari E. Rijkloff van Goens, duta VOC yang beberapa kali mengunjungi ibukota Mataram pada abad ke-XVII.
Pada tahun 1652 Van Goens pernah mengikuti acara berburu yang diadakan oleh Amangkurat I di sekitar muara sungai Opak. la melukiskan tempat itu sebagai "… padang perburuan yang luasnya tak terkira dan dikelilingi pagar dari balok kayu jati. Di dalamnya terdapat ribuan rusa, kerbau liar, banteng, kuda liar serta hewan lainnya dimana orang dapat memburu mereka tanpa takut diterkam harimau atau digigit ular… "
Jadi jelaslah apa perbedaan antara Krapyak dengan hutan biasa. Di dalam Krapyak keadaannya dijaga sedemikian rupa agar supaya binatang-binatang buas seperti harimau tidak dapat masuk ke dalamnya demi menjaga kenikmatan para pemburu.
Perjalanan Amangkurat IV
Tujuan perjalanan sebenarnya untuk berziarah ke makam leluhur dinasti dilanjutkan dengan bersemadi ke pantai Selatan. Akan tetapi acara-acara selingan yang diselenggarakan Sunan Amangkurat IV cukup menarik untuk kita ketahui.
Rombongan berangkat pada pagi hari tanggal 3 September 1724, dikawal oleh ratusan perajurit Mataram, ratusan punggawa dan pemikul tandu, ratusan pelayan, ditambah dengan 75 orang serdadu Kompeni di bawah komandannya Letnan Hendrik Coster.
Dari Perwira Kompeni ini pulalah kita memperoleh laporan perjalanan Sunan. Dari ibukota Kartosuro rombongan bertolak diiringi tembakan salvo meriam dari arah benteng VOC sebagai penghormatan.
Sebagai mana diketahui, semenjak ibukota Mataram dipindahkan ke Kartosuro, pihak VOC diijinkan mendirikan benteng di ibukota. Benteng ini dipimpin oleh seorang Kapten yang menjadi wakil VOC dengan jabatan Residen. Waktu itu yang menjadi Residen adalah Kapten Simon Keesjong. Perwira ini bersama para Pembesar Mataram lainnya yang tidak turut dalam perjalanan, mengantarkan Sunan sampai di batas kota.