Fotokita.net - Rela naik perahu demi kembalikan surat memilih, warga desa ini kompak golput: percuma suara kami tak pernah didengar.
Warga Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, sepakat untuk tidak menggunakan hak suaranya pada Pilkada Serentak 2020 yang digelar pada Rabu (9/12/2020) lalu.
Semua surat pemberitahuan memilih atau C6-KWK yang diberikan kepada warga di desa tersebut dikembalikan kepada KPU pada Selasa (8/12/2020).
Jumlah daftar pemilih tetap di desa tersebut mencapai 250 orang.
Bukan tanpa alasan jika warga satu desa itu memilih untuk golput. Pasalnya, sejak tahun 2007, mereka tidak pernah menikmati dana desa dari pemerintah.
Terkait dengan adanya warga satu desa yang golput, membuat Ketua KPU Sultra La Ode Abdul Natsir pun kaget.
Natsir menyayangkan sikap warga satu desa tersebut yang mengembalikan C6-KWK-nya.
"Kami juga tidak bisa menolak karena memilih ini adalah hak, kewajiban negara memfasilitasi penyaluran hak tadi," kata Natsir.
Natsir berharap warga desa tersebut dapat berubah pikiran dan tetap menyalurkan hak pilihnya walau tanpa menggunakan C6-KWK, dan menggunakan KTP.
Pihaknya pun akan berkoordinasi dengan KPU Konsel adanya kejadian tersebut.
"Dengan menerima pengembalian pemberitahuan surat itu berarti sudah ada sikap. Tapi siapa tahu bisa ditimbang, karena sudah terdaftar DPT," ujarnya.
Tidak pernah menikmati dana desa sejak 2007
Kepala Desa Matabondu, Ahmad mengatakan, warganya memutuskan untuk tidak menyalurkan hak suaranya karena tidak pernah menikmati dana sejak 2007.
Padahal, sambungnya, desanya tercatat sebagai desa di Kementerian Desa (Kemendes) dengan nomor desa ke-19 di Kecamatan Laonti.
"Dana desa tidak pernah kita nikmati sejak 2007. Dana desa itu kami tahu selalu cair dari pusat tapi tidak pernah sampai ke kami," kata Ahmad, saat dihubungi, Kamis (10/12/2020).
"Makanya pilkada ini kami memilih Golput dengan mengembalikan surat ini. Percuma menyalurkan suara kita tapi suara kita tidak pernah didengarkan," sambugnya.
Mereka bahkan rela menempuh perjalanan laut selama kurang lebih tiga jam dengan menggunakan perahu untuk mengembalikan surat C6-KWK.
Aksi itu dilakukan sebagai bentuk kekecewaan warga karena tidak pernah diakui sebagai desa.
Padahal, Desa Matabondu telah tercatat sebagai desa di Kementerian Desa (Kemendes) dengan nomor desa ke 19 di Kecamatan Laonti.
Jumlah daftar pemilih tetap di desa tersebut mencapai 250 orang.
"Dana desa tidak pernah kita nikmati sejak 2007. Dana desa itu kami tahu selalu cair dari pusat tapi tidak pernah sampai ke kami," sambungnya.
Sementara itu, pengacara desa Matabondu Hikalton mengungkapkan, di desa tersebut ada satu tempat pemungutan suara (TPS) yang pernah didirikan pada Pemilihan Presiden 2014 dan 2019 la dengan alamat desa Matabondu.
Namun sejak Pilkada 2020, TPS itu digabung dengan TPS desa tetangga, Tambolosu.
Tak hanya itu, tambah Hikalton, kartu tanda penduduk (KTP) mereka berbeda dengan alamat dalam surat panggilan memilih.
Di KTP, Matabondu tercatat sebagai desa persiapan dan nama jalan di dalam Desa Tambolosu. Sedangkan di surat panggilan memilih tercatat sebagai dusun.
Sementara Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang dimiliki warga pun berbeda dari dua identitas itu.
KIS itu disebutkan Matabondu sebagai desa, hal yang sama tercatat di dalam surat tanda terima beras (TTB) dari Kementerian Sosial (Kemensos) lewat Program keluarga harapan (PKH) 2020 yang dimiliki 44 warga.
"Apakah Desa Matabondu ini masuk di wilayah NKRI, kalau tidak kasih jelas biar kita menyatakan sikap. Sudah bertahun-tahun kami perjuangkan ini tapi belum ada jawaban sampai sekarang," ungkapnya.
Kepala KPU Sultra La Ode Abdul Natsir mengaku kaget dengan kedatangan belasan warga tersebut.
Dia sangat prihatin dengan sikap warga yang ingin mengembalikan C6-KWK- nya hanya beberapa jam sebelum pemungutan suara di Konsel dilakukan.
Natsir mengatakan akan berkoordinasi dengan KPU Konsel mengenai hal ini.
Dia berharap, belasan warga desa ini berubah pikiran dan tetap menyalurkan hak pilihnya walau tanpa menggunakan C6-KWK, dan menggunakan KTP.
"Kami juga tidak bisa menolak karena memilih ini adalah hak, kewajiban Negara memfasilitasi penyaluran hak tadi.
Dengan menerima pengembalian pemberitahuan surat itu berarti sudah ada sikap. Tapi siapa tahu bisa ditimbang, karena sudah terdaftar DPT," terang Natsir.
(Kompas.com/Kontributor Kendari, Kiki Andi Pati)