Fotokita.net - Vaksinasi dimulai November 2020, BPOM malah belum keluarkan izin edar vaksin Covid-19 di Indonesia, ini alasannya.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi beberapa waktu lalu menyatakan bulan November, sekitar 6,6 juta dosis vaksin dari China tiba di Indonesia.
Vaksinasi massal akan dimulai juga awal bulan November, lebih cepat sebulan dari rencana sebelumnya.
Vaksin yang dipesan dari China itu adalah produksi Sinovac, G42/ Sinopharm, dan CanSino Biologics.
Rencana pemberian vaksin secara besar-besaran pada November atau Desember patut dipertanyakan.
Dari ketiga jenis vaksin itu, belum ada yang dinyatakan aman dan ampuh untuk meningkatkan imunitas masyarakat karena belum lolos uji tahap III.
Baca Juga: Biarpun Sudah Sembuh, Ternyata Pasien Covid-19 Masih Harus Lakukan Hal Ini
Ini tahap terakhir uji klinik pada manusia sebelum vaksin diproduksi massal. Ketiga vaksin masih dalam tahap uji klinik tahap akhir.
Seperti dikutip dari karya tulisYohanes Cakrapradipta Wibowo PhD Research Fellow/PhD candidate in Experimental Pharmacology, University of Heidelberg dalam The Conversation Indonesiadari sekitar delapan kandidat vaksin yang memasuki uji klinis tahap tiga, WHO menyatakan hasilnya paling cepat diketahui pada Desember atau awal tahun 2021.
Itu pun baru laporan awal apakah apakah vaksin aman dan ampuh atau tidak..
Belum termasuk proses produksi dan distribusinya. WHO memperkirakan vaksin yang lolos uji tahap akhir baru akan tersedia pada pertengahan tahun depan.
Mari kita lihat tiga calon vaksin yang sedang melalui uji klinis fase III (tahap akhir sebelum diproduksi massal) terkait Indonesia.
Vaksin produksi Sinovac dari China sedang diuji klinis di Jawa Barat sejak 10 Agustus lalu pada 1.620 partisipan.
Menurut data register resmi dari uji klinis fase III vaksin ini di clinicaltrials.gov, laporan paling awal baru akan didapat Januari 2021 dan paling cepat menunjukkan indikasi hasil positif atau tidak.
Baca Juga: Hore Kabar Gembira Buat Kita Semua, Relawan Uji Klinis Vaksin Covid-19 Rasakan Efek Positif Ini

:quality(100)/photo/2020/08/28/1972701855.jpg)
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat memperlihatkan bekas pemeriksaan darah dan penyuntikan calon vaksin Covid-19 buatan Sinovac di Puskesmas Garuda, Kota Bandung, Jumat (28/8/2020).
Uji klinis akan selesai pada September 2021. Pemerintah juga diberitakan sedang tawar menawar untuk memesan vaksin G42 yang dikembangkan oleh China dan Uni Emirat Arab (UEA) yang sedang diuji klinis fase III di UAE.
Rilis laporan riset vaksin dengan partisipan 45.000 orang ini paling cepat Maret 2021. Uji klinis bisa berhasil atau sebaliknya. Riset ini juga diperkirakan selesai pada September tahun depan.
Vaksin terakhir yang disebut adalah CanSino dari China. Vaksin ini juga yang sedang dilakukan uji klinis fase III pada 40.000 partisipan.
Laporan riset paling awal akan rilis pada Desember 2021 dan uji klinik diperkirakan selesai pada Januari 2022. Perlu diketahui bahwa tidak semua uji klinik tahap tiga berjalan mulus.
Tidak semua vaksin dalam setiap fase (ada 4 fase) akan berjalan mulus karena proses yang dilakukan saat ini adalah proses percepatan walau tidak mengabaikan setiap fase yang perlu dilakukan. Karena darurat, ada penyederhanaan proses dari yang seharusnya.
Dosen Unpad, Herlina Agustin saat sedang disuntik vaksin Covid-19 dari Sinovac, China.
Baru-baru ini, misalnya, perusahaan vaksin Amerika Serikat Johnson & Johnshon menghentikan sementara uji kliniknya karena mereka mendapati “penyakit yang tidak bisa dijelaskan” pada relawan yang ikut uji calon vaksin.
Kasus lainnya, awal September sudah ada laporan efek vaksin yang tidak diinginkan dari uji klinis fase III vaksin AstraZeneca dari Universitas Oxford.
Laporan ini menyebabkan penghentian sementara proses uji klinik yang sedang berlangsung.
Salah satu dalih yang dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam rencana vaksinasi besar-besaran adalah telah disetujuinya vaksin-vaksin dari China ini untuk penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari pemerintah China dan beberapa negara lain.
Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat memperkenalkan izin darurat ini dan beberapa negara telah mengadopsinya.
Di China, calon vaksin ini disuntikkan pada tentara dan petugas kesehatan untuk penggunaan darurat. Penggunaan izin darurat untuk obat atau vaksin ini bukan tanpa cacat.
Petugas kesehatan memberikan pengarahan kepada relawan saat simulasi uji klinis calon vaksin Covid-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020). Simulasi tersebut dilakukan untuk melihat kesiapan tenaga medis dalam penanganan dan pengujian klinis tahap III
Sebelumnya telah muncul kritikan terkait kontroversi gagalnya obat Hidrosiklorokuin yang diberi status EUA.
Setelah pengujian dengan obat itu, ternyata dampak pada pasien tidak seperti yang diharapkan.
Gagalnya obat yang sudah menyandang status EUA ini seharusnya menjadi pelajaran.
Misalnya, di Amerika Serikat, ada kritikanterkait ihwal longgarnya proses telaah di FDA dan adanya tekanan dari para politikus yang tidak memiliki keahlian bidang uji obat dalam memberikan status izin darurat.
Karena itu, vaksin berstatus EUA harus ditelaah lagi secara teliti dengan melibatkan para ahli.
EUA yang dirilis negara lain seharusnya hanya dijadikan pertimbangan, bukan sebagai legitimasi mutlak untuk menyetujui dan mengikuti segala yang tertulis di dalamnya.
Jika pengambilan kebijakan vaksinasi besar-besaran di Indonesia hanya berdasarkan klaim sepihak dari China tersebut, tanpa ada klarifikasi dan transparansi data yang jelas, kebijakan pemerintah ini hanya akan mengulang kembali panjangnya catatan kesembronoan penanganan Covid di Indonesia.
Baca Juga: Sering Dianggap Punya Arti yang Sama, Ternyata Begini Perbedaan ASN dan PNS
Sementara itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia belum memberikan izin edar terhadap satupun dari 44 kandidat vaksin Covid-19 yang ada saat ini.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO) per tanggal 19 Oktober 2020, ada sejumlah 44 kandidat vaksin Covid-19 yang sudah memasuki tahap uji klinis dan 154 kandidat vaksin yang sedang pada tahap pre-klinik.
Di antara sejumlah kandidat vaksin tersebut yang sudah memasuki tahap uji klinik fase 3 antara lain adalah vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac, Sinopharm, University of Oxford dengan biofarmasi AstraZeneca, CanSino, Gamalea dari Rusia, Janssen Pharmaceutical, Moderna, BioNTech Pfizer dan Novavax.
"Semua kandidat vaksin Covid-19 yang ada masih dalam proses pengembangan uji klinik baik pre klinik maupun uji klinik itu sendiri," kata Dra Togi J Hutadjujlu Apt MHA selaku Pelaksana tugas Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif Badan POM.
Presiden Saksikan Penyuntikan Perdana Uji Klinis Vaksin Covid-19
Alasan BPOM belum keluarkan izin edar
Dalam diskusi daring bertajuk Pengawalan BPOM dalam Proses Penyediaan Vaksin Covid-19, Rabu (28/10/2020), Togi memaparkan bahwa badan pengawas obat memiliki standar dalam perizinan untuk obat-obatan dan vaksin.
Standar tersebut yakni harus melalui proses uji klinik sebagai pembuktian khasiat dan keamanannya.
"Sesuai dengan tugas dan fungsinya, sebagai pengawas obat dan makanan, Badan POM mengambil langkah strategis perihal vaksin Covid-19, dengan mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat," ujarnya.
Tidak hanya itu, pemenuhan mutu produk melalui hasil evaluasi persyaratan mutu dan pemastian proses produksi atau pembuatan vaksin sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik atau good maintenance practicise juga harus terpenuhi.
"Setelah proses evaluasi tersebut dilalui dan dianggap memenuhi syarat dari aspek keamanan, khasiat dan mutu, maka barulah Badan POM akan memberikan perizinan penggunaan," ungkap Togi.
Perizinan penggunaan tersebut ialah berupa Emergency Use Authorization (EUA) atau izin edar (marketing authorization). EUA adalah suatu mekanisme registrasi khusus untuk obat dan vaksin pada kondisi darurat seperti pandemi Covid-19 saat ini.
Badan POM sebagai otoritas regulatori di bidang obat, dapat mengeluarkan persetujuan penggunaan darurat apabila memang sudah sesuai berdasarkan hasil evaluasi klinik.
Selain itu, hasil pembuatan obat memenuhi aspek vaksin tersebut memiliki potensi baik dari khasiat dan keamanan, serta berasal dari jumlah subjek pemantauan.
Namun, saat ini, untuk data-data tersebut masih terbatas, sehingga, kata Togi, untuk mendapatkan EUA tersebut dibutuhkan data-data dari uji klinik yang lebih luas dan waktu yang lebih panjang.
Baca Juga: Upah Minimum 2021 Diputuskan Tak Naik, Bos Serikat Pekerja Singgung Hal Ini, Demo Buruh Makin Besar?
"Pengambilan keputusan penggunaan darurat ini harus dilakukan dengan pertimbangan kemanfaatan yang lebih tinggi dari risikonya," jelasnya.
Dalam memberikan persetujuan obat dan vaksin, Badan POM dapat memperoleh data dari uji klinik yang dilakukan di Indonesia maupun data yang diperoleh dari uji klinik di negara lain dengan pelaksanaan uji klinik yang sama.
Data-data ini menjadi tambahan pendukung dalam proses evaluasi untuk khasiat dan keamanan, sambil menunggu hasil uji klinis fase 3 di Indonesia selesai secara lengkap.
Persetujuan penggunaan darurat telah ditetapkan dengan peraturan badan pengawas obat dan makanan nomor 27 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan nomor 24 tahun 2017 tentang kriteria dan tata laksana registrasi obat.
Sistem pemberian EUA oleh BPOM mengacu pada pedoman registrasi obat pada kondisi darurat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) dan Badan Pengawas Obat(FDA) Amerika Serikat.
Nantinya, berdasarkan ketentuan yang berlaku industri farmasi yang mendapatkan EUA harus bertanggung jawab terhadap mutu vaksin Covid-19, bahan baku, pembuatan, pelulusan batch vaksin hingga peredaran dan penggunaan pada pasien.