Fotokita.net- Serangan virus corona yang bermula dari Wuhan, China hingga menyebar ke seantero dunia dengan cepat. Lantaran virus corona berasal dari mutasi jenis baru, tentu tak ada satu pun negara yang siap menghadapi serangan organisme di ujung kehidupan itu.
China pun yang menjadi sumber penyebaran pada awalnya berkeras menyangkal terhadap kehadiran virus corona. Tak ada negara maju yang juga siap menghadapinya.
Jadi, bisa dibayangkan bagaimana virus corona meluluhlantakkan sendi kehidupan negara berkembang dan berpendapatan rendah alias negara miskin.
Lihat saja kondisi yang terjadi di Ekuador. Negara di kawasan Amerika Selatan inimenjadi salah satu negara yang paling terdampak terkait pandemi virus corona.
Padahal pada awal April 2020 dilaporkan hanya ada sekitar 500 warga yang meninggal karena wabah.
Sebut negaranya telah 'gagal' tangani wabah virus corona, Presiden Ekuador Lenin Moreno menangis sedih.

:quality(100)/photo/2020/04/21/2546233554.jpg)
President Ekuador Lenín Moreno (dok)
Mayat terlihat bergelimpangan di pinggir jalan hingga isu jenazah korban Covid-19 dibakar.
Namun dalam beberapa hari terakhir, berbagai media Internasional seperti BBC Internasional, NPR dan CNN Internasional menyebut jumlah korban ternyata bisa mencapai 10 kali lipat dari laporan resmi.
Presiden Ekuador Menangis & Akui 'Gagal' Tangani Corona, Mayat Bergelimpangan di Jalan
Bahkan ada yang menyebutkan bahwa jumlah total kematian karena virus corona Covid-19 mencapai 6.700 orang di dua minggu pertama April 2020.
Kawasan Guayas disebut sebagai wilayah yang paling banyak terdampak.
Tak hanya hanya di Ekuador, tetapi di seluruh Amerika Latin diprediksi merasakan dampak wabah virus corona minimal dua kali lipat dari laporan resmi.
Namun kematian yang tertulis disebut tidak hanya terkait Covid-19, tetapi termasuk dampak yang disebabkan olehnya.
Layanan kesehatan setempat lumpuh karena pandemi yang membuat pasien selain virus corona yang juga menumpuk.
Dalam beberapa laporan mengatakan bahwa banyak pasien dengan kondisi kesehatan selain wabah tidak dapat mendapatkan layanan kesehatan yang seharusnya.
Mayat bergelimpangan di pinggir jalan
"Kami sudah melihat orang meninggal di mobil, di ambulans, di rumahnya, di jalanan," kata Katty Mejía, seorang pekerja di rumah duka di Guayaquil, ibu kota negara bagian dan kota terbesar di Ekuador, menyadur dari BBC.
"Salah satu alasan mereka tidak dirawat di rumah sakit karena alasan kekurangan tempat tidur."
"Jika mereka ke klinik swasta, mereka harus membayar dan tidak semua orang punya uang," katanya.
Dalam masa pandemi di kota dengan populasi 2,5 juta penduduk itu, rumah duka kewalahan, bahkan sebagian harus tutup sementara karena pekerjanya ketakutan terjangkit virus.
Kerabat yang putus asa membiarkan mayat tergeletak di depan rumah.
Warga di Ekuador membakar barang yang pernah disentuh mendiang korban virus corona.
Sementara sebagian lain membiarkannya di tempat tidur di dalam rumah hingga berhari-hari.
Kota Guayaquil juga mulai kehabisan ruang untuk menguburkan mayat, memaksa sebagian orang untuk membawa jenazah kerabat ke kota tetangga untuk dimakamkan di sana.
Kebutuhan untuk menguburkan jenazah sangat tinggi hingga sebagian warga menggunakan kotak karton sebagai peti mayat.
Kini, narapidana juga membuat peti mati dari kayu.
Pekerja sanitasi yang berjuang untuk mengelola meningkatnya jumlah mayat di Ekuador
Kepala Negara sebut negara telah 'gagal'
President Ekuador, Lenín Moreno mengakui negara telah gagal mengatasi krisis kesehatan yang mereka hadapi.
Hingga 16 April lalu, pemerintah yakin hanya 400 orang meninggal dunia karena virus corona.
Tapi setelah Satuan Tugas Gabungan Virus Corona mengumpulkan semua data, gambaran besarnya berubah.
"Dengan angka yang kita dapat dari Kementerian Dalam Negeri, tempat pemakaman umum, kantor pencatatan sipil dan tim kami, kami sudah menghitung setidaknya 6.703 kematian di Guayas di 15 hari pertama pada April," kata Jorge Wated, kepala Satgas pemerintah.
"Rata-rata mingguan di sini mencapai 2.000."
"Jadi kami sudah merekam 5.700 kematian dari biasanya."
Tidak semua kematian di Guayas terkait langsung dengan Covid-19.
Sebagian orang meninggal karena gagal jantung, masalah ginjal, atau masalah kesehatan lain yang memperburuk kondisi karena tidak segera ditangani.
Isu pembakaran mayat karena tak ada tempat peristirahatan terakhir
Pemerintah Ekuador sedang menyelidiki ribuan akun media sosial yang diduga menyebar hoaks atas kasus Covid-19 di Ekuador.
Berita yang diakui pemerintah sebagai hoaks tersebut disinyalir bertujuan mengacaukan pemerintahan Presiden Lenin Moreno yang sedang menangani virus corona.
Menteri Dalam Negeri Maria Paula Romo pada Rabu (1/4/2020) mengatakan kepada radio lokal, unggahan-unggahan di media sosial tersebut dihasilkan dari upaya terkoordinasi oleh "kelompok politik".
Seorang pria dengan masker wajah (kanan) menunggu jenazah kerabatnya, di sebelah seorang petugas di luar sebuah rumah sakit di Guayaquil, Ekuador, Rabu (1/4/2020). Otoritas Ekuador dalam beberapa hari terakhir telah mengumpulkan setidaknya 150 jenazah dari jalan-jalan dan rumah para warga di Kota G
Unggahan yang dimaksud di antaranya adalah foto-foto dugaan pemakaman massal untuk korban meninggal Covid-19 di Ekuador.
"Ada kampanye berita palsu, rencana untuk menghasilkan kekacauan melalui jejaring sosial," kata Romo dikutip dari National Post, Jumat (3/4/2020).
Kemudian, terkait foto-foto pemakaman massal di Kota Guayaquil, pemerintah mengatakan, foto itu adalah sebuah pemakaman di Meksiko pada 2018.
Guayaquil adalah pusat penyebaran Covid-19 di Ekuador.
Pihak pemakaman Guayaquil dan polisi mengonfirmasi bahwa foto-foto itu tidak diambil di sana.
Pemerintah juga membantah gambar lain yang menunjukkan korban Covid-19 dibakar, dengan mengatakan bahwa itu sebenarnya membakar ban.
Dalam pemberitaan Washington Post pada 3 April, terdapat satu kesaksian dari seorang warga Ekuador yang mengaku melihat korban Covid-19 dibakar.
"Setiap hari bertambah buruk. Kami melihat mereka membakar mayat di jalan. Tidak ada yang menjemput mereka di rumah-rumah... Satu-satunya pilihan adalah meninggalkan orang tercinta mereka di jalanan atau di rumah sakit (jika mereka meninggal di sana)," ungkap Diego Diaz Chamba.
Sempat beredar pula video tentang warga Ekuador yang tampak putus asa sehingga membakar anggota keluarga mereka yang meninggal karena Covid-19.
Jauh sebelum wabah virus corona melanda dunia, penduduk negara ini sudah terbiasa melihat mayat bergelimpangan di jalanan. Kematian terasa begitu akrab bagi warga Meksiko.
Ya, sudah sejak lama, Meksiko termasuk negarayang sangat tidak aman di dunia. Padahal, negara yang berbatasan langsung dengan Amerika Serikat ini tidak dalam kondisi perang.
Rupanya, kondisi Meksiko yang tidak aman itu bermula dari perang dagang barang haram narkoba.Negara Amerika latin itu telah mencapai puncak perang narkoba pada 2006-2012, namun saat ini hal serupa juga kembali terjadi.
Menurut The Guardian, pertarungan tanpa ampun antar kartel-kartel narkoba telah melewati batas kewajaran.
Pada Agustus tahun 2019 misalnya 19 mayat dimutilasi, sembilan diantaranya ditemukan digantung setengan telanjang di jembatan sebelah barat ibukota.
Salah satu yang sedang memuncak saat ini adalah Cartel Jalisco New Generation (CJNG) yang semakin dominan melakukan serangan.
Disamping itu ada kartel Sinaloa yang juga mendominasi dan diklaim sebagai kartel narkoba terbesar di sana.
Ilustrasi geng narkoba menggunakan cairan asam.
Pemerintah sampai kebingungan untuk membendung laju pembantaian tanpa henti yang dilakukan oleh para geng narkoba.
Mereka melakukan pembunuhan dengan tujuan untuk mengintimidasi geng saingan, dan juga menantang pihak berwenang.
Pada 2017 tingkat pembunuhan dari 172,51 kematian dilaporkan per 100.000 penduduk, ini seperti zona perang di negara tidak berkonflik.
Para ahli menyalahkan serangan militer terhadap kartel narkoba yang diluncurkan oleh mantan presiden Felipe Calderon pada 2006 karena memecah belah mereka menjadi faksi-faksi yang bertikai yang lebih kecil.
Kelompok kartel Sinaloa atau El Chapo
Akibatnya geng narkoba menjadi semakin kecil dan saling bertikai satu sama lain, tak jarang tindak kekerasan dilakukan untuk mengintimidasi saingan.
Sebelumnya, geng narkoba yang melakukan pembantaian menyembunyikan mayat korban di penguburan atau melarutkannya dalam bahan kimia.
Tapi geng Jalisco memeiliki reputasi kejam langsung menantang pihak berwenang, dan melakukan pembunuhan secara terang-terangan menurut catatan New York Times.
Kartel narkoba di Meksiko menggunakan altar setan
Pada 2011 kartel Jalisco membuang 35 mayat di jalan bebas hambatan di negara pantai Veracruz.
Tahun 2012, kartel narkoba Zetas membuang 49 mayat yang sudah dipenggal di sebuah jalan raya di utara Meksiko, dan pada tahun yang sama mereka mengeluarkan sembilan mayat dari jembatan dan meninggalkan 14 kepala yang terpenggal di dekat balai kota.
Di bagian lain Meksiko, kerumunan yang marah memukuli dan menggantung lima orang yang dicurigai sebagai penculik, meninggalkan beberapa tubuh mereka tergantung di pohon.
Mereka adalah anggota dari Kartel Sinaloa Meksiko.
Para tersangka telah ditahan oleh sekitar 180 warga desa di negara bagian pusat Puebla.
Pemerintah negara bagian mengatakan bahwa polisi dan tentara dikirim ke daerah itu untuk mencoba menghentikan serangan itu, tetapi penduduk desa dari dusun Tepexco dan Cohuecan tidak akan membiarkan mereka.
Kelompok geng narkoba CJNG
Ketika pembunuhan menurun selama beberapa tahun antara 2012 dan 2015, banyak yang berpikir perang narkoba di Meksiko mereda.
Tetapi pembunuhan meningkat lagi tahun lalu, dan di Meksiko sekarang terjadi lebih banyak pembunuhan daripada yang terjadi selama tahun puncak pembunuhan pada tahun 2011.
Pada paruh pertama tahun 2019, Meksiko mencatat rekor pembunuhan sejumlah 17.608 naik 5,3% dibanding tahun 2018.
Penemuan mayat diduga korban perselisihan geng narkoba di Meksiko
Saat ini pemerintah Meksiko belum menunjukkan langkah berani untuk memberantas geng narkoba, sebaliknya mereka hanya meredakan konflik yang ada.
Sebelum ini bulan lalu anak Raja Narkoba ditangkap, namun polisi langsung melepaskannya karena justru membuat situasi tidak terkendali.
Perang dengan geng narkoba terjadi menyebabkan polisi tewas.
Parahnya usai dilepaskan, polisi yang ikut dalam operasi penangkapan ditemukan tewas dengan 155 tembakan.
Tercatat di negara berpenduduk 125 juta sekarang memiliki 100 pembunuhan sehari secara nasional.
Artikel ini telah tayang di Tribunstyle.com dengan judul POPULER Presiden Ekuador Menangis & Akui 'Gagal' Tangani Corona, Mayat Bergelimpangan di Jalan