Tahun 2018 Jakarta Jadi Kota dengan Polusi Udara Paling Buruk di Asia Tenggara. Kini Bambu Getih Getah Jadi Korbannya!

Jumat, 19 Juli 2019 | 14:40
KOMPAS.com/DAVID OLIVER PURBA

Instalasi Bambu Getih Getah seharga Rp 550 juta yang akhirnya harus dibongkar

Fotokita.net - Apakah kita masih mengingat kabar ini? Jakarta menyandang gelar kota dengan pencemaran udara terburuk di Asia Tenggara. Ibu kota Indonesia ini berada di daftar puncak kota paling berpolusi pada 2018. Hasil tersebut didapat dari studi yang dilakukan oleh Greenpeace dan IQ AirVisual.

"Jadi, ratusan kota dimonitor kualitas udaranya secara reguler pada tahun 2018. Jakarta menempati urutan pertama dan Hanoi berada di urutan kedua di Asia Tenggara untuk kualitas udara terburuk," kata Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak saat dihubungiKompas.com, Kamis (7/3/2019).

Baca Juga: Warga Jakarta Wajib Khawatir, Bambu Getih Getah Jadi Korban Atas Ibu Kota yang Tidak Sehat. Foto-foto Ini Jadi Buktinya!

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suasana berbagai bangunan terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).

Sementara itu, untuk kategori dunia, Jakarta berada di peringkat ke-161.

Diketahui bahwa rata-rata harian kualitas udara di Jakarta dengan indikator PM 2.5 adalah 45,3 mikrogram per meter kubik udara.

Padahal, pedoman dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa rata-rata kualitas udara harian seharusnya 25 mikrogram per meter kubik udara.

"Rata-rata harian kualitas udara di Jakarta lebih buruk 4,5 kali lipat dari batas aman dan batas sehat yang ditetapkan oleh WHO. Angka itu juga meningkat dibanding tahun 2017 di mana rata-rata harian kualitas udara di Jakarta adalah 29,7," papar Leonard.

Baca Juga: Anggaran Getah-getih Bisa Beli Ribuan Kerak Telur dan Thai Tea! Foto-foto Ini Memamerkan Masa Kejayaannya

Ia menambahkan, pencemaran udara di Jakarta disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor. Diketahui bahwa jumlah kendaraan bermotor di Jakarta semakin meningkat setiap tahunnya.

Thinkstock

Lanskap kota Jakarta.

"Kita bisa melihat ya, kendaraan pribadi roda empat atau pun roda dua melebihi kapasitas Jakarta untuk menampungnya. Hampir tidak ada kontrol terhadap penambahan (kendaraan bermotor). Jadi, orang-orang makin mudah difasilitasi menggunakan kendaraan pribadi," jelas Leonard.

Baca Juga: Kemarau Sebabkan Fenomena Unik Di Gunung Rinjani. Lihat Foto dan Video Karya Warganet!

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Seniman Getih Getah Sebut Polusi Udara Jakarta Bikin Karyanya Cepat Rapuh

Ya, polusi udara Jakarta telah membawa korban. Setidaknya korban ini telah membuat gempar warga Ibu Kota, yang terus membicarakannya.

Jakarta dengan hiruk pikuk aktivitas niaga nasional dan pemerintahan negara ini membuat kualitas udaranya terus menurun. Terlebih lagi, saat ini memasuki masa kemarau. Peningkatan kadar polusi atas kualitas udara yang drastis membuat kemarau menjadi lebih panas.

Jakartapanas bukanlah hal yang baru. Tapi, peningkatan polusi udara yang semakin parah juga bisa menjadi masalah besar bagi ibu kota Negara Indonesia.

Baca Juga: Kemarau Sebabkan Fenomena Unik Di Gunung Rinjani. Lihat Foto dan Video Karya Warganet!

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).

Musim kemarau baru berlangsung 2 bulan, artinya Jakarta akan terus bertambah panas sampai Hujan turun meluruhkan konsentrasi polusi Jakarta.

Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal KPBB (KPBB) Ahmad Safrudin bercerita kepada wartawan Kompas(28/6/2019), bahwa berdasarkan air quality index (AQI) pada 2018, rata-rata tahunan konsentrasi PM 2,5 adalah 42,42 mikrogram per meter kubik. Sementara, pada 1 Januari-4 Juni 2019, rata-rata konsentrasi PM 2,5 sudah 57,66 mikrogram per meter kubik.

Baca Juga: Bocoran Baru, Tahun Depan Kamera Hape Bakal Punya Resolusi 108 MP!

Polusi udara telah membuat instalasi bambu getih getah harus tumbang dalam waktu yang lebih singkat apabila dibandingkan dengan tempat lain. Joko Avianto, seniman pembuat instalasi bambu getih getah mengatakan daya tahan karya seninya tersebut tergantung pada lokasi dan lingkungan.

Ia menyebut karya seninya lebih panjang umur di kota lain dibandingkan Jakarta. Hal itu karena memiliki kualitas udara yang buruk.

Warta Kota | Alex Suban

Instalasi Seni Bambu

Menurutnya polusi memengaruhi kualitas bambu yang menyerap udara sekitarnya.

"Karena kan bambu itu materialnya strukturnya terdiri dari fiber dan pori-pori menyerap air, menyerap udara, bambu jadi kayak indikator lingkungannya.

Baca Juga: Waduk Jatigede Mengering, Menguak Luka Lama. Foto-foto Ini Beri Bukti

KOMPAS.com/DAVID OLIVER PURBA
KOMPAS.com/DAVID OLIVER PURBA

Perancang karya seni bambu di Bundaran HI joko avianto

Kalau lingkungannya udah polutif banget ya begitu kejadiannya. Di karya saya yang lain mungkin lebih baik," kata dia saat dihubungi, Kamis (18/7/2019).

Meski demikian pembongkaran karya seninya itu sudah direncanakan.

Baca Juga: Anggaran Getah-getih Bisa Beli Ribuan Kerak Telur dan Thai Tea! Foto-foto Ini Memamerkan Masa Kejayaannya

Bahkan sebelumnya getih getah itu hanya direncanakan berdiri selama 6 bulan dimulai dari 16 Agustus 2018 lalu.

Artinya pada Februari 2019 lalu instalasi bambu getih getah memang sudah direncanakan untuk dibongkar.

"Itu bukan pembongkaran sih, itu sudah direncanain sudah ada perencanaan karya itu tahan sampai 1 tahun walaupun sebenarnya perencanaan waktu itu karyanya hanya untuk 6 bulan.

Karena karya ini memang karya yang sifatnya festiv yang sifatnya buat festival," ucap Joko.

Baca Juga: Kemarau Makin Menjadi, Sungai Cipamingkis Bogor Kian Mengering. Foto-foto Ini Jadi Buktinya

Warta Kota | Alex Suban

Instalasi Seni Bambu

Selama berdiri, karya seni itu sudah dilakukan perawatan sebanyak tiga kali dengan menggunakan pelapis cat.

"Saya kasih apa pelapis lagi untuk menahan air dari luar ya, cat sih intinya cat kayak semacam vernis untuk kayu itu terus ada perbaikan-perbaikan lain," ujarnya.

Diketahui, instalasi bambu tersebut dibongkar pada Rabu (17/7/2019) malam.

Instalasi itu diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 16 Agustus 2018.

Baca Juga: Gerak Cepat Peneliti, Selamatkan Hiu yang Lehernya Nyaris Terputus Akibat Sampah Plastik. Lihat Foto Penyelamatannya!

Saat itu Anies menyampaikan keinginannya untuk membuat sebuah karya seni dari material khas Indonesia dalam rangka menyambut perhelatan Asian Games 2018.

Biaya pembuatan serta pemasangan instalasi seni bambu tersebut mencapai Rp550 juta.

"Biaya sekitar Rp 550-an (juta) kemudian dikonsorsium oleh 10 BUMD kalau enggak salah," ucap Anies di lokasi saat itu.

Baca Juga: Gerhana Bulan Parsial Terakhir Pada 2019. Lihat Foto-foto Hasil Jepretan dari Warganet

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).

Memasuki bulan kemarau, cuaca di Jakarta menjadi lebih panas. Ternyata ini juga disebabkan oleh meningkatnya kadar polusi dari tahun sebelumnya.

Jakartapanas bukanlah hal yang baru. Tapi, peningkatan polusi udara yang semakin parah juga bisa menjadi masalah besar bagi ibu kota Negara Indonesia.

Baca Juga: Jakarta Makin Padat, Rupanya Banyak yang Tak Sadar Perumahan Ini Dibangun di Atas Pusat Belanja. Foto Udara Ini Mengungkapnya!

Musim Kemarau baru berlangsung 2 bulan, artinya Jakarta akan terus bertambah panas sampai Hujan turun meluruhkan konsentrasi polusi Jakarta.

Direktur Eksekutif Komisi Penghapusan Bensin Bertimbal KPBB (KPBB) Ahmad Safrudin bercerita kepada wartawan Kompas(28/6/2019), bahwa berdasarkan air quality index (AQI) pada 2018, rata-rata tahunan konsentrasi PM 2,5 adalah 42,42 mikrogram per meter kubik. Sementara, pada 1 Januari-4 Juni 2019, rata-rata konsentrasi PM 2,5 sudah 57,66 mikrogram per meter kubik.

Baca Juga: Yuk Kita Sambut Gelaran Apik, Jakarta International Photo Festival

KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).

Baca Juga: Duh, Ternyata di Pinggir Beton Jakarta Ada Sekolah Sukarela yang Bikin Kita Trenyuh. Lihat Fotonya Yuk
Parameter PM 2,5 dipakai karena unsur ini mendominasi zat pencemar di udara, di atas sulfur dioksida ataupun karbon monoksida.
PM2,5adalah Partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer).
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena kabut polusi di Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019). Kualitas udara di DKI Jakarta memburuk pada tahun ini dibandingkan tahun 2018. Prediksi ini berdasarkan pengukuran PM 2,5 atau partikel halus di udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron (mikrometer).

Saking halusnya, partikel ini sanggup menembus masker dan sulit disaring oleh bulu hidung, sehingga besar kemungkinan menyusup sampai paru-paru dalam jumlah besar.
Baca Juga: Benarkah Hidup di Trotoar Kebon Sirih Lebih Tenang Ketimbang di Afghanistan? Foto-foto Ini Beri Buktinya!
Di sisi lain, Puput mengatakan, ada peluang tingkat polusi udara pada akhir 2019 nanti menampilkan jumlah yang lebih tinggi ketimbang hasil pengukuran terakhir Juni silam.
Beberapa hari belakangan, jagat maya sempat ramai oleh data hasil pemantauan AirVisual pada Selasa (25/6/2019) pagi, ketika Jakarta masuk dalam 4 kota dengan pencemaran udara terburuk di dunia setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago.

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Sumber : Kompas.com

Baca Lainnya