Ketika manusia sudah sampai pada penghayatan tertinggi mengenai eksistensi Tuhan maka manusia bisa menyatu dengan Tuhan. Unsur-unsur ketuhanan ada pada diri manusia. Dengan memahami ketuhanan sampai ke tingkat makrifat, manusia akan menyatu dengan tuhannya, dan pada saat itulah manusia terbebas dari kewajiban syariat, karena dia sudah menyatu dengan Tuhan.
Begitu inti ajaran wihdatul wujud Al-Hallaj. Ia pun mengeklaim sebagai Tuhan dengan ungkapannya Ana al-Haqq, akulah Sang Kebenaran. Klaim itu dilakukan karena dia mengaku sudah menyatu dengan Tuhan, dan karena itu dia mengeklaim sebagai Sang Kebenaran. Pandangan mistis ini ditentang keras oleh semua ulama syariat yang hidup pada masa Al-Hallaj. Ia pun dituntut di pengadilan dan diminta menghentikan ajarannya. Al-Hallaj menolak hingga akhirnya dijatuhi hukuman gantung sampai mati.
Lima abad kemudian Syekh Siti Jenar di tanah Jawa mendakwahkan konsep yang sama. Sebelum Islam masuk ke Jawa, ajaran Hindu dan Buddha sudah terlebih dahulu diterima secara luas di kalangan masyarakat dan raja-raja.
Para Wali Sembilan yang mendakwahkan Islam melakukan beberapa kompromi untuk menyesuaikan beberapa ajaran Islam dengan ajaran Hindu dan Buddha. Tradisi Hindu-Buddha yang sudah mengakar di masyarakat tidak dibongkar habis, tetapi diberi nafas Islam.
Sunan Kalijaga, salah satu dari Wali Songo, sangat terkenal dengan strategi dakwah budaya yang akomodatif, antara lain dengan menjadikan pertunjukan wayang sebagai sarana dakwah Islam. Unsur-unsur budaya Hindu-Buddha diadopsi sebagai strategi dakwah. Namun, syariat, dalam bentuk rukun Islam yang lima, tetap diwajibkan sesuai dengan ketentuan Islam. Dalam tradisi wayang kalimat Syahadat digambarkan sebagai jimat yang sangat sakti dan disebut sebagai Jimat Kalimasada atau jimat Kalimat Syahadat.
Salat sebagai kewajiban utama diwajibkan pelaksanaannya lima kali sehari, dan disebut sebagai sembayang dari kata sembah hyang atau menyembah Hyang Tuhan yang sebelumnya menjadi praktik Hindu. Syekh Siti Jenar mengambil jalan yang bertentangan dengan para Wali Songo. Siti Jenar mengajarkan bahwa manusia tidak perlu menjalankan syariat karena manusia dan Tuhan adalah zat yang manunggal, menyatu.
Kewajiban syariat tidak perlu dijalankan di dunia, dan nanti setelah meninggal dunia barulah kewajiban syariat itu dijalankan. Ajaran ini menimbulkan heboh. Dewan Wali Songo bersidang dipimpin oleh Raden Patah yang juga Sultan Demak.
Sidang memutuskan bahwa ajaran Siti Jenar sesat. Siti Jenar harus bertobat dan menghentikan penyebaran ajarannya. Siti Jenar keukeuh dengan pendapatnya, dan karena itu Dewan Wali Songo menjatuhkan hukuman mati. Ada banyak versi mengenai eksekusi mati terhadap Siti Jenar. Satu versi menyebutkan Raden Patah sebagai pemimpin sidang menugaskan Sunan Kalijaga untuk menjadi eksekutor yang kemudian mengeksekusi Siti Jenar dengan keris milik Siti Jenar sendiri.