“Mereka menawari saya 180 juta yen (1,7 dollar AS atau Rp 25 miliar). Itu setara dengan gaji seorang petani selama 150 tahun.
Saya tidak tertarik dengan uang, saya ingin terus bertani. Saya tidak pernah berpikir untuk pergi," kata dia kepada BBC.
Bandara Narita melayani sekitar 40 juta penumpang dan 250.000 penerbangan dalam setahun.
Dua landasan pacu bandara itu kedua seharusnya melewati tanah Takao Shito. Namun, karena Takao berkukuh tidak menjual tanahnya, landasan pacu bandara itu harus didesain sedemikian rupa.
Menurut sebuah artikel oleh Answer Coalition, Pengadilan Lokal Chiba mengumumkan keputusan tidak adil yang memungkinkan eksekusi wajib atas tanah Takao pada 20 Desember 2018.
Akan tetapi, keesokan harinya, Takao memenangi keputusan pengadilan lain yang memerintahkan penghentian sementara proses eksekusi sampai persidangan di Pengadilan Tinggi Tokyo dimulai tahun berikutnya.
Baca Juga: Hati-hati! 4 Negara ASEAN Laporkan Infeksi Virus Corona yang 10 Kali Lebih Menular, Indonesia?
Takao Shito masih merawat pertanian organiknya di tengah Bandara Narita, dan menjual hasil bumi segar kepada sekitar 400 pelanggan.
Bahkan, pandemi Covid-19 tidak berdampak negatif terhadap perekonomiannya. Sebaliknya, pandemi virus corona membuat penerbangan di Bandara Narita tidak beroperasi.
(Kompas.com/Danur Lambang Pristiandaru)