Menurut BPK, kelebihan penerimaan tersebut terjadi akibat penjualan Premium di wilayah Jamali yang melebih harga eceran yang ditetapkan pemerintah.
Konsumen, menurut BPK, membayar harga BBM lebih tinggi Rp 100 per liter dari harga jual eceran yang ditetapkan.
"BPK telah merekomendasikan direksi Pertamina agar menyetorkan kelebihan penerimaan atas penjualan premium di wilayah Jamali," ujar dia di Jakarta, Selasa (18/9/2019), seperti dilansir dari katadata.co.id.
Auditor negara juga mencatatkan kekurangan bayar pemerintah kepada Pertamina atas penyaluran minyak tanah bersubsidi pada 2018 sebesar Rp 243,67 miliar (tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai/PPN) atau Rp 268,04 miliar (termasuk PPN).
Terkait hal tersebut lembaga audit tersebut meminta Pertamina berkoordinasi dengan menteri keuangan, menteri ESDM, dan menteri BUMN terkait kebijakan pengaturan kekurangan penerimaan dan penyaluran minyak tanah sesuai prosedur yang berlaku.
Pihak Katadata.co.id sudah berusaha menghubungi Direktur Keuangan Pertamina Pahala Mansury dan Juru Bicara Pertamina Fajriyah Usman guna mengkonfirmasi temuan BPK tersebut. Namun, hingga kini belum ada jawaban dari kedua pihak.