Wamena masih mencekam
Bagi Zakaryas, konflik berdarah serupa pernah ia alami pada tahun 2000.
"(Saat itu) saya pas mau pulang ke rumah, orang pada mengungsi, saya bilang 'Ada apa?', 'Kita sudah dibakar, diserang'," kisahnya tentang kejadian hampir dua dekade lalu itu.
Ia mengingat banyak tembakan, api di berbagai penjuru, dan akhirnya pergi ke pengungsian untuk menyelamatkan diri.
Dan seperti kala itu, sejak Senin lalu, Zakarya juga memutuskan membawa seluruh anggota keluarganya yang berjumlah delapan orang untuk mengevakuasi diri dan mencari tempat perlindungan sementara.
"Sebenarnya saya pribadi merasa mengungsi ke luar (kota) itu lebih aman," tuturnya.
Akan tetapi, karena yang diprioritaskan untuk mengungsi ke luar Wamena adalah perempuan dan anak-anak, Zakaryas terpaksa tinggal di kota tersebut. Hal itu membuat keluarganya juga batal mengevakuasi diri ke Jayapura.
"Anak-anak saya bilang 'Nggak boleh, kalau Bapak nggak keluar, kami juga nggak keluar."
Zakaryas adalah satu di antara sekitar 5.500 warga pendatang di Wamena yang keluar dari rumah mereka untuk tinggal di pengungsian. Mereka tersebar di markas Komando Distrik Militer 1702 Jayawijaya, markas Polres Jayawijaya, markas Komando Rayon Militer 1702-03 Wamena, Betlehem, gedung DPRD Jayawijaya, hingga markas Yonif Wi Mane Sili.