Follow Us

Perjuangan Pemuda Asmat untuk Tetap Terus Menjaga Budaya Leluhurnya

- Kamis, 20 Juni 2019 | 13:30
Sepotong senja di Pantai Pirimapun, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Papua
Editor

Sepotong senja di Pantai Pirimapun, Distrik Safan, Kabupaten Asmat, Papua

Aksi blusukan Joko Widodo atau Jokowi di Agats, Kabupaten Asmat, Papua
Kementerian Sekretariat Negara RI

Aksi blusukan Joko Widodo atau Jokowi di Agats, Kabupaten Asmat, Papua

Tidak ingin berlarut menyinggung, kami pun melanjutkan pembicaraan mengenai pesta adat. Pesta yang diawali dengan undangan kepada kampung lain. Sekilas terdengar biasa saja. Undangan disampaikan dengan daun sagu yang dibentuk dengan pola tertentu. Jumlah lembar daun menandakan jumlah hari pelaksanaan pesta. Warga di kampung lain tinggal menghitung jumlah lembar daun yang diterima, jika tiga lembar, berarti pesta akan dilaksanakan pada tiga hari sejak undangan tersebut diberikan.

“Dulu ada beberapa pesta yang rutin, tapi sekarang kita anak muda hanya pesta olah sagu. Pesta roh itu sudah tidak dilakukan lagi di sini,” jawab Martinus. Selanjutnya Martinus dan Petrus menambahkan bahwa masyarakat Asmat juga memiliki beberapa pesta adat, seperti pesta perahu, pesta salawako (perisai), dan pesta peresmian Jew.

Baca Juga: Foto-foto Perempuan Inspiratif yang Merangkul Emak-emak Putus Sekolah di Bandung

Pelaksanaan pesta adat tidak memiliki jadwal pasti. Tidak setiap tahun diadakan, bahkan bisa saja tiga hingga lima tahun sekali. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari Martinus, pesta adat hanya diadakan bila ada kesepakatan yang terjadi di dalam Jew.

Terkait pesta adat, bila dilakukan di dalam Jew, hal ini berarti mereka sangat menghargai para tamu. Dengan mempersilakan tamu masuk ke dalam Jew, mereka mempersilakan tamu duduk di atas leluhur mereka.

Budaya dan pendidikan

Pada suatu ketika, perbincangan kami pun masuk ke dalam konteks pendidikan. Martinus menjelaskan bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab terhadap pendidikan di sana. Tidak terbatas pada pendidikan formal, tapi juga nonformal seperti seni.

Walaupun berbagai materi pendidikan diberikan di sana, tetapi kedua tokoh ini tetap mempertahankan kearifan lokal dan berbagai kepercayaan yang sudah mereka pegang sejak lama.

“Kita tidak boleh makan yang haram, yang sudah di larang. Kalau kita makan, nanti kita punya otak kurang. Itu berlaku untuk semua orang Asmat yang khusus punya lagu-lagu adat. Termasuk juga udang, itu kepala, orang tidak boleh makan,” ucap Martinus.

Hal di atas hanyalah satu dari sekian banyak falsafah kuno yang dijelaskan kepada kami. Hal yang mengagumkan bahwa mereka dapat mengingat dan menjalankan kesemuaya itu dengan baik.

Baca Juga: Lelaki Ini Mampu Kurangi Kasus Demam Berdarah di Desanya. Lihat Foto-fotonya

Editor : Fotokita

Baca Lainnya

Latest