Pantas Ogah Beri Rekomendasi Vaksin Nusantara, Pengurus IDI Ternyata Pernah Pecat Sosok Pencetus Vaksin Buatan Indonesia, Begini Kronologinya

Minggu, 18 April 2021 | 04:34
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN; Dokumentasi Juru Bicara Aburizal Bakrie, Lalu Mara Satria Wangsa

BPOM sudah lepas tangan terhadap vaksin Nusantara yang digagas oleh Terawan

Fotokita.net - Pantas ogah beri rekomendasi Vaksin Nusantara, pengrus IDI ternyata pernah pecat sosok pencetus vaksin buatan Indonesia, begini kronologinya.

Uji klinik fase kedua vaksin Nusantara tetap dilanjutkan meski belum mendapatkan izin atau Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) dari BPOM.

Sejumlah anggota DPR pun menjadi relawan pengembangan vaksin Nusantara. Sampel darah mereka diambil di RSPAD Gatot Soebroto, Rabu (14/4/2021).

Penny menjelaskan, KTD grade 3 merupakan salah satu kriteria untuk menghentikan pelaksanaan uji klinik sebagaimana tercantum pada protokol.

Namun, tim peneliti tidak melakukan penghentian uji klinik.

Baca Juga: Istri Ridwan Kamil Positif Covid-19 Meski Sudah 2 Vaksin, Menkes Budi Gunadi Sentil Hal Ini: Kita Bukan Superman

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) berharap agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak diintervensi terkait kontroversi pengembangan Vaksin Nusantara.

Ketua Umum PB IDI Daeng M Faqih mengatakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semestinya sebatas mengawasi kinerja BPOM sebagai lembaga pemerintah tanpa perlu mengambil alih kinerjanya.

"Hemat saya, betul DPR kerjakan dalam rangka pengawasan kelembagaan memang kerjanya mengawasi pemerintah dan lembaga-lembaga di dalamnya.

Baca Juga: Pantas Berani Ngaku Polisi Usai Aniaya Perawat Siloam, Jason Tjakrawinata Tinggal di Perumahan yang Kerja Sama dengan Polres, Foto Peresmiannya Tersebar

Tetapi seharusnya yang diawasi adalah kinerjanya, jangan sampai kemudian seolah-olah DPR mengambil alih kinerja, itu harus dijaga," kata Daeng dalam acara diskusi Polemik MNC Trijaya, Sabtu (17/4/2021).

Daeng berpendapat, intervensi yang dilakukan oleh DPR dapat membuat lembaga-lembaga profesional seperti BPOM rentan dimasuki unsur-unsur politis.

Sebab, menurut Daeng, setiap keputusan yang dikeluarkan DPR adalah keputusan politis meskipun keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan masukan dari para pakar.

Baca Juga: Ngaku-ngaku Pemilik Perusahaan Kosmetik Terkemuka, Terungkap Profesi Sebenarnya Istri Pelaku Penganiayaan Perawat Siloam, Ini Foto Tampangnya

"Pekerjaan profesional ini harus dijaga, karena prosedur keilmuan yang dikerjakan, jangan sampai prosedur keilmuan itu kemudian ada intervensi," kata Daeng.

Ia menambahkan, intervensi tersebut juga dapat merobohkan kepercayaan publik terhadap BPOM yang dibangun sejak lama.

Daeng pun meyakini hingga saat ini BPOM masih bekerja sesuai dengan jalurnya dalam menjalankan tugasnya.

"Itu membangunnya luar biasa dan sudah banyak yang dikerjakan untuk menjaga keamanan dan keselamatan rakyat. Masa kita kembangkan isu-isu yang kemudian menjatuhkan kehormatan kelembagaan," kata dia.

Baca Juga: Dulu Tak Percaya Adanya Tuhan, Marcell Siahaan Kini Temukan Cara Ikhlas dalam Islam, Tapi Sang Vokalis Tegas Menolak Bertemu Sosok Ini

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4686720/bercita-cita-jadi-ahli-nuklir-daeng-faqih-mala
Ayunda Septiani

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng Mohammad Faqih

Seperti diketahui, Vaksin Nusantara digagas oleh mantan Menkes, Terawan Agus Putranto dengan menggunakan sel dendritik.

Alasan Terawan melakukan hal itu karena dia pernah mengembangkan sel dendritik tersebut sejak di RSPAD Gatot Subroto pada 2015.

Baca Juga: Resmi Diumumkan Sebagai Menteri Kesehatan, Dokter Terawan Pernah Gemparkan Dunia Kodekteran dengan Metode Cuci Otaknya

Kemudian, terlintas ide untuk mengembangkan vaksin Covid-19 menggunakan sel dendritik tersebut.

Terawan meyakini, vaksin nusantara tersebut sangat aman karena bersifat individual.

Jika disuntik Vaksin Nusantara, pasien hanya menerima suntikan vaksin yang berasal dari sel darahnya sendiri dan bukan orang lain.

Baca Juga: Digadang-gadang Terawan Jadi Bukti Kesetiaan Pada Jokowi, Ahli Malah Minta Stop Izin Vaksin Nusantara, Ini Alasannya

https://nasional.tempo.co/read/1452400/bpom-pernah-temukan-kejanggalan-vaksin-nusantara-ini-rinciann
TEMPO/M Taufan Rengganis

dr Terawan penggagas Vaksin Nusantara di DPR RI.

Lebih lanjut, kata Terawan, saat ini vaksin nusantara dikembangkan oleh RSUP Kariadi Semarang bersama dengan Universitas Diponegoro.

Vaksin Nusantara belakangan ini menarik perhatian publik karena metode yang digunakan disebut menjadi yang pertama di dunia untuk Covid-19, yakni dendritik.

Jauh sebelum mengembangkan Vaksin Nusantara, mantan Menkes Terawan pernah berkonflik dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terkait metode penyembuhannya yang tak biasa.

Ia memiliki metode "cuci otak" untuk mengobati penyakit. Beberapa tokoh nasional yang sudah merasakan metode tersebut dan memberikan testimoni yang baik.

Baca Juga: Dengan Intonasinya yang Khas, Jokowi Tegaskan Hal Ini yang Bikin Para Menterinya Menyimak dengan Seksama

Namun, IDI menganggap metodedigital subtraction angiography(DSA) itu belum teruji secara klinis. Saat itu, Terawan dikenakan sanksi pemecatan sementara. Namun, kemudian IDI mengkaji ulang sanksi itu.

Dokter Terawan sendiri sebelumnya sudah terkenal karena sering menangani para pesohor negeri, termasuk yang terbaru saat dirinya menangani mendiang BJ Habibie.

Baca Juga: Pantas Saja Dijadikan Wakil Keluarga dalam Pernikahan Atta dan Aurel, Ketua MPR Bamsoet Bongkar Sosok Menteri yang Nangis-nangis Agar Bisa Masuk Kabinet Jokowi

Pria kelahiran Yogyakarta, 5 Agustus 1964 ini sendiri sempat menjadi sorotan karena terapi cuci otak aliasbrain wash dirinya dianggap kontroversial.

Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sampai mencopot keanggotan dokter Terawan dari organisasi itu.

IDIjuga menolak pemilihan dokter Terawan sebagai Menteri Kesehatan. Apa alasannya?

Pada April 2018, nama Terawan hangat diperbincangkan masyarakat. Saat itu Terawan memperkenalkan metode cuci otak atau brain wash yang diyakini dapat mengobati stroke.

Saat itu Terawan mengaku, terapinya memberi hasil bagus kepada pasien.

"Ada banyak pasien yang merasa sembuh atau diringankan oleh terapi cuci otak itu," kata Terawan dilansir Wartakotalive.

Baca Juga: Resmi Diumumkan Jokowi, Begini Komposisi Menteri Kabinet Indonesia Maju. Adakah Wakil dari Papua?

Di lain sisi, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menyebut metode Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke belum teruji secara klinis.

Ketua Umum PB IDI Prof dr Ilham Oetama Marsis, SpOG mengatakan, setiap teknologi dan metode pengobatan mesti melalui uji klinis.

Marsis menjelaskan, metode dan teknik pengobatan yang diterapkan Terawan telah teruji secara akademis ketika ia memperoleh gelar doktor di bidang kedokteran.

Baca Juga: Murka Suaranya Dicap Jelek Lesti Kejora, Penampilan Siti Badriah Ternyata Banjir Kritik Usai Bawakan Lagu Andalan di Acara Kelas Dunia Ini

kompas.com
kompas.com

Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Namun, metode tersebut tetap harus diuji secara klinis dan praktis untuk bisa diterapkan kepada masyarakat luas.

Dianggap melanggar kode etik IDI

Kontroversi terapi Digital Substraction Angogram (DSA) atau cuci otak untuk pengobatan stroke berujung pada pemecatan sementara Terawan dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).

Ketua MKEK, dr Prijo Pratomo, Sp. Rad, mengatakan, MKEK tidak mempermasalahkan teknik terapi pengobatan DSA yang dijalankan Terawan untuk mengobati stroke. Namun yang dipermasalahkan adalah kode etik yang dilanggar.

"Kami tidak mempersoalkan DSA, tapi sumpah dokter dan kode etik yang dilanggar," ujarnya saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (4/4/2018).

Prijo menyebut ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar.

Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan telah mengabaikan dua pasal yakni pasal empat dan enam.

Baca Juga: Menikah 3 Kali, Rupanya Calon Menteri Jokowi Ini Tetap Jalin Silaturahmi dengan 2 Mantan Istri. Salah Satunya, Perempuan Cantik yang Jarang Terekspos Ini.

Pada pasal empat tertulis: Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Terawan tidak menaati itu, dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat serta mencederai sumpah dokter.

Baca Juga: Bak Petir Menyambar, Punya Cara Khusus Puaskan Istri di Ranjang, Atta Halilintar Akhirnya Nyerah Hadapi Tabiat Buruk Aurel: Gue Nggak Tau Lagi Cara Bilanginnya

Sementara itu, kesalahan lain dari Terawan adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal enam.

Bunyi pasal enam Kodeki: "Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat".

"Sebetulnya kami tidak mengusik disertasi yang diajukan Terawan, apalagi Prof Irawan sebagai promotor," jelas Prijo.

Baca Juga: Disebut Ikuti Sunah Rasulullah, Aurel Hermansyah Keteteran Layani Atta Halilintar di Atas Ranjang Setiap Hari: Kita Harus Sering Sayang

Namun, temuan hasil penelitian akademik yang akan diterapkan pada pasien harus melalui serangkaian uji hingga layak sesuai standar profesi kedokteran.Bukan berarti yang sudah ilmiah secara akademik lantas ilmiah secara dunia medis.

"Ada serangkaian uji klinis lewat multisenter, pada hewan, in vitro, in vivo. Tahapan-tahapan seperti itu harus ditempuh," imbuh Prijo.

Terapi pengobatan, kata Prijo, lagi-lagi mesti sejalan dengan sumpah dokter dan kode etik, termasuk dokter dilarang mempromosikan diri.

Testimoni yang berasal dari para pejabat, selebriti papan atas, atau pasien bukanlah evidence base yang menguatkan penelitian akedemik untuk layak dalam dunia medis.

Baca Juga: Kisah Johanes Leimena, Dokter Desa yang Diangkat oleh Soekarno Menjadi Menteri Kesehatan, Sampai Pinjam Pakaian untuk Acara Diplomatik Wakili Indonesia!

Sanksi pemecatan dokter Terawan oleh IDI berlangsung selama 12 bulan sejak 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019.

"Harus dibuktikan kembali bahwa dengan cara itu saja apakah bisa menggantikan terapi konservatif yang ada? Belum tentu, dia harus membuktikan," kata Marsis kepada wartawan, Senin (9/4/2018).

(*)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya