Fotokita.net - Terkuak, KKB Papua dapat uang KKB Papua dapat uang banyak untuk beli senjata dan amunisi dari tempat ini, warganya biasa beli mie instan ditukar 2 gram emas.
Anggotakelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua kembali bikin ulah. Aparat gabungan TNI Polri terus berupaya menumpas kelompok-kelompok KKB Papua yang tersebar di belantara pedalaman Papua.
Namun, upaya TNI Polri masih belum tuntas membongkar hingga akar KKB Papua. Akibatnya, KKB Papua terus berulah mengganggu kehidupan warga.
Kali ini, anggota KKB Papuapimpinan Sabinus Waker menembak mati guru SD bernamaOktovianus Rayo (42) di Kampung Julukoma, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Kamis (8/4/2021).
Korban ditembak dua kali dengan senjata laras pendek di bagian rusuk oleh KKB yang tiba-tiba masuk ke dalam kios milik korban.
"Tadi pagi sekitar 09.30 WIT ada kejadian penembakan di Beoga, Puncak, yang dilakukan terhadap seorang guru yang sedang menjaga kios di rumah. Korban meninggal dunia," ujar Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri di Jayapura, Kamis.
KKB Papua kembali berulah di hari yang sama pada sore hari. Kasatgas Humas Operasi Nemangkawi, Kombes Pol M Iqbal Alqudussy mengatakan, KKB Papua dari kelompok Nau Waker membakar sekolah di Kampung Julukoma, Distrik Beoga, yaitu SD Jambul, SMP N 1, dan SMA 1 Beoga. KKB juga membakar rumah guru.
"Kejadian sekira jam 18.15 WIT," kata Iqbal, dalam keterangan tertulis yang diterima.
Aksi ini dilakukan KKB Papua dari kelompok Nau Waker setelah diburu pasukan gabungan TNI-Polri dalam Operasi Nemangkawi di Intan Jaya.
Menurut dia, diduga kuat saat ini Nau Waker dan kelompoknya sedang menuju Ilaga, ibu kota Kabupaten Puncak.
Nau Waker merupakan bawahan dari KKB Papua pimpinan Guspi Waker.
Eksistensi KKB Papua mengganggu keamananan di sejumlah kabupaten di Provinsi Papua sulit dihentikan selama mereka masih bisa membeli senjata api dan amunisi.
Sumber dana KKB menjadi pertanyaan banyak pihak karena tidak sedikit uang yang dibutuhkan.
KKB Papua
Kapolda Papua Irjen Mathius D Fakhiri mengatakan, selama ini pihaknya menduga sumber dana KKB berasal dari oknum pejabat pemerintah hingga perampasan dana desa.
Namun, Fakhiri memastikan sumber dana utama KKB untuk bisa mendapatkan senjata api dan amunisi berasal dari kawasan penambangan emas ilegal di beberapa kabupaten di Papua.
"Tempat pendulangan (emas) itu berkontribusi besar untuk pembelian senjata api dan amunisi," ujarnya di Jayapura, Kamis (8/3/2021).
Jauhnya lokasi penambangan ilegal membuat pengawasan dari aparat keamanan sangat minim sehingga hal tersebut yang kemudian dimanfaatkan KKB Papua untuk memperoleh dana.
"Wilayah pendulangan biasanya jauh dari pengawasan aparat. Ada (KKB) yang datang untuk mengambil upeti, ada juga yang mereka ikut dulang," ujar dia.
Ada beberapa kabupaten yang disebut Fakhiri memiliki kawasan penambangan tradisional ilegal.
"Paniai, Intan Jaya dan sebagian Yahukimo. Kalau Timika sudah jelas, makanya kita agak geser pendulang di situ agar tidak mendulang lagi," kata dia.
Tanpa menyebut detail jumlahnya, Fakhiri meyakini dari wilayah pendulangan ilegal, KKB bisa memperoleh dana cukup besar.
KKB Papua
Dia bertekad untuk memutus seluruh sumber dana KKB agar situasi keamanan di Papua bisa kondusif.
"Ini kita akan monitoring supaya mereka tidak mencari uang di situ dan uangnya dipakai untuk membeli peralatan tadi," kata Fakhiri.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua, Frets J Boray membenarkan ada lokasi penambangan ilegal di empat kabupaten tersebut.
Jauhnya lokasi penambangan membuat pemerintah sulit menjangkaunya sehingga pengawasan atau bahkan penertiban sulit dilakukan.
"Kita sudah usulkan wilayahnya, sampai sekarang belum dikeluarkan izin oleh menteri (ESDM) supaya kita bisa pantau. Itu masih ilegal makanya kami tidak bisa bikin apa-apa," kata Frets saat dihubungi melalui sambungan telepon, Jumat (9/4/2021).
Dalam laporan BBC Indonesia pada 14 Agutus 2018, ratusan orang silih berganti mendulang emas tanpa izin sejak 2017 di sepanjang Sungai Deiram Hitam, kawasan hutan di bagian selatan Papua.
Keuntungan haram ratusan juta rupiah disinyalir telah diangkut keluar dari pedalaman Papua itu—rumah bagi masyarakat suku Korowai yang hidup dalam kemiskinan.
Penambang emas menyewa helikopter untuk mengangkut logistik. Menurut kesaksian beberapa orang, terdapat beberapa landasan helikopter di kawasan itu.
Para pendulang diduga menggunakan air raksa beracun atau merkuri untuk membersihkan emas. Akibatnya, menurut warga lokal, air Sungai Deiram yang dulu bening kini berubah kecoklatan.
Pemprov Papua berjanji menghentikan penambangan emas ilegal itu. Namun hingga akhir pekan lalu belum satu pun penegak hukum datang ke lokasi tambang yang hanya bisa diakses helikopter atau perjalanan kaki selama satu hari dari kampung terdekat, Danowage, di Distrik Yaniruma.
"Kami baru lihat dari atas. Nanti akan ada tim yang akan mendalami," kata juru bicara Polda Papua, Kombes Ahmad Mustafa Kamal, Sabtu (11/08).
Ahmad mengatakan hal itu untuk menerangkan hasil peninjauan unsur pimpinan daerah Papua ke wilayah udara Korowai, sehari sebelumnya, antara lain pejabat Gubernur Papua Soedarmo, Kapolda Papua Irjen Boy Rafli Amar, dan Pangdam Cendrawasih Mayjen George Supit.
Kunjungan tersebut dilakukan setelah Trevor Johnson, pendeta asal Amerika Serikat yang belasan tahun bekerja sosial di Korowai, menulis surat terbuka soal dampak penambangan emas tak berizin tersebut bagi warga lokal.
Soedarmo menyebut pemerintah akan melarang akses helikopter dari seluruh bandara menuju lokasi tambang. Artinya, akses penambang ditutup dan aktivitas jual-beli emas dari kawasan itu berhenti.
Bagaimanapun, pemerintah provinsi dituntut tak sekedar berwacana.
Lokasi tambang emas ilegal berada di tengah hutan, tanpa akses jalan kendaraan.
"Janji itu harus segera direalisasikan," kata Ones, penginjil dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang sejak 2008 melayani ibadah dan memfasilitasi kesehatan warga Korowai.
Lokasi tambang ilegal Korowai terletak di antara lima kabupaten: Boven Digoel, Asmat, Mappi, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang.
Ones, penginjil yang atas pertimbangan keamanan meminta nama aslinya disembunyikan, adalah satu dari sedikit saksi mata yang berhasil mencapai lokasi tambang ilegal itu.
Tak seperti pendulang yang menyewa helikopter untuk sampai ke penambangan, pertengahan Juli lalu Ones berjalan kaki selama satu hari dari Danowage, menembus hutan hujan tropis Papua.
"Saya jalan satu hari penuh, tidur di jalan, lalu lanjut jalan kaki empat jam sebelum sampai lokasi," tuturnya.
Perjalanan yang ditempuh Ones menggambarkan kesukaran akses menuju tambang ilegal itu, sekaligus keterasingan Suku Korowai. Tidak ada jalur bagi kendaraan darat menuju wilayah tersebut.
Aplikasi Google Map yang berbasis sistem pemosisi global (GPS) misalnya, tidak mampu mengukur jarak Yaniruma dari kota terbesar di Papua, Jayapura.
Akses udara ke lokasi tambang yang tak terdaftar di Dinas Pertambangan Papua itu berawal dari Bandara Oksibil di Pegunungan Bintang, Bandara Nop Goliat di Yahukimo, dan Bandara Tanah Merah di Boven Digoel.
Dari sana, perjalanan udara ditempuh dengan helikopter berharga sewa minimal belasan juta rupiah, lalu turun ke landasan yang dibangun penambang ilegal.
Pesawat perintis yang terbang dari sejumlah bandara besar di Papua juga bisa mendarat di landasan Kampung Danowage yang dibangun Ones, Trevor Johnson, dan sejumlah misionaris lainnya. Namun para pendulang tak menggunakan akses ini.
Dari Danowage, selain jalan kaki, akses menuju lokasi tambang dapat ditempuh dengan ketingting alias perahu kayu bermesin, selama delapan jam. Setelah menyusuri Sungai Deiram, perjalanan kembali dilanjutkan dengan berjalan kaki.
"Di lokasi saya melihat pendulang memiliki alkon. Saya melihat banyak emas," kata Ones.
Alkon yang disebutnya adalah mesin penyedot pasir dan kerikil berbahan bakar bensin. Penyaringan emas dalam mesin itu memerlukan merkuri, zat beracun yang telah dilarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Merujuk tragedi Minamata di Jepang tahun 1958, penggunaan merkuri pada aktivitas penambangan dapat memicu kelainan fungsi saraf pada tubuh manusia. Tahun 2013, Indonesia meneken Konvensi Minamata yang digagas Badan Lingkungan PBB (UNEP) sebagai komitmen mengelola penggunaan merkuri.
Harga beras di kawasan tambang emas tradisional di Korowai, tepatnya di Maining 33, Distrik Kawinggon, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua, sangat mahal. Harga satu karung beras berukuran 10 kilogram mencapai Rp 2 juta.
Sejumlah orang mendulang emas menggunakan mesin penyedot pasir dan kerikil.
"Beras 10 kilogram itu emas empat gram, kalau dibeli dengan uang, satu karung itu harganya Rp 2 juta," kata salah satu pengelola Koperasi Kawe Senggaup Maining Hengki Yaluwo di Korowai, seperti dikutip dari Antara Rabu (1/7/2020).
Menurut Hengki, harga beras itu hampir sama di puluhan lokasi penambangan rakyat di wilayah Korowai, Kabupaten Pegunungan Bintang.
Hengki mengatakan, tak hanya beras yang mahal. Harga mi instan dan bahan pokok lainnya juga tinggi.
Hengki mencontohkan satu kardus mi instan yang dijual seharga Rp 1 juta. "Mi instan satu karton kalau ditukar dengan emas itu, dua gram, satu karton Rp 1 juta, satu bungkus Rp 25.000," kata Hengki.
Sementara itu, ikan kaleng berukuran bersar dijual seharga Rp 150.000.
Selain bahan pokok, harga barang kebutuhan lain juga mahal. Hengki mencontohkan harga ponsel yang dijual menggunakan nilai tukar emas.
Menurutnya, ponsel tergantung merek dibanderol seharga 10 gram sampai 25 gram emas.
Wilayah Korowai, Kabupaten Pegunungan Bintang, masih terisolir dan tertinggal. Kawasan itu tak tersentuh pembangunan pemerintah.
Wilayah penambangan tradisional di Korowai bisa dijangkau menggunakan helikopter dari Kabupaten Boven Digoel selama satu jam penerbangan.
Atau, warga bisa menggunakan logboat dari Boven Digoel selama satu hari.
Perjalanan itu harus dilanjutkan dengan berjalan kaki selama dua hari perjalanan menuju kawasan penambangan rakyat Korowai.
Padahal, wilayah Korowai diapit lima kabupaten, yakni Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yakuhimo, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digooel, dan Kabupaten Mappi.
Salah satu pemilik dusun Kali Dairam Korowai di Maining 33, Ben Yarik mengatakan, suku Korowai merupakan penghuni asli kawasan itu.
"Bertahun-tahun pemerintah tidak pernah membangun Korowai, Tuhan yang memberikan hasil emas bagi kami, sehingga kami bisa menambang dan membantu kami," kata Ben.
Ben mengatakan, tambang emas tradisional merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat setempat.
Ia berharap pemerintah tak menutup penambangan tradisional itu. Sebab, kawasan tambang tradisional itu menghidupi ekonomi masyarakat sekitar.
"Kasihan ini, banyak masyarakat tidak lagi diperhatikan dan terus tertinggal. Selagi masih ada emas yang menjamin," ujarnya.
(Kompas.com/BBC Indonesia)