Fotokita.net -Balas dendam tumpas PKI hingga akarnya, tapi komandan Kopassus ini justru dibuang Presiden Soeharto ke negara komunis.
Sosok Letjen TNI (Purn)SarwoEdhieWibowo, tokohpenting penumpasGerakan 30 September 1965 atau G30S.
Sarwo Edhie merupakan ayahAni Yudhoyono atau mertua Presiden RI ke-5SusiloBambangYudhoyono(SBY).
TampilnyaSarwo Edhie dalam menumpas PKI ternyata karena balas dendam atas meninggalnya Menteri/Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani dalam peristiwa G30S PKI.
Sarwo Edhie adalah orang yang disenangi atau dilindungiJenderalAhmadYani.
Dia sangat marah ketika Jenderal Ahmad Yani tewas dibunuh.
SayangSarwo Edhie yang menjadi orang penting Orde Baru kemudian disingkirkan Soeharto.
Dikutip dari Surya.co.id, Dari BiodataLetjenTNI(Purn)SarwoEdhieWibowo, ayah Ani Yudhoyono itu merupakan sosok yang melegenda di TNI khususnya Kopassus.
Dilihat dari biodatanya yang tertulis di Wikipedia,LetjenTNI(Purn) SarwoEdhie Wibowodulunya merupakan seorang danjen Kopassus
Letnan Jenderal TNI (Purn)SarwoEdhieWibowolahir di Purworejo, Jawa Tengah, 25 Juli 1925 dan meninggal di Jakarta, 9 November 1989 pada umur 64 tahun.
Sarwo Edhie adalah ayah dari Kristiani Herrawati, ibu negara Republik Indonesia, yang merupakan istri dari Presiden ke-6 Republik Indonesia,SusiloBambang Yudhoyono.
Ia juga ayah dari mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo.
Ia memiliki peran yang sangat besar dalam penumpasan Pemberontakan Gerakan 30 September dalam posisinya sebagai panglima RPKAD (atau disebut Kopassus pada saat ini).
Penumpasan G30S/PKI oleh RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie Wibowo
Selain itu ia pernah menjabat juga sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan serta menjadi Gubernur AKABRI.
Karier Sarwo Edhie di ABRI meliputi:
- Komandan Batalion di Divisi Diponegoro (1945-1951)
- Komandan Resimen Divisi Diponegoro (1951-1953)
- Wakil Komandan Resimen di Akademi Militer Nasional (1959-1961)
- Kepala Staf Resimen Pasukan Komando (RPKAD) (1962-1964)
- Komandan RPKAD (1964-1967).
Kontribusi Letjen Jenderal (Purn)SarwoEdhieWibowobagi Negara Republik Indonesia selama masih bertugas hingga akhir hayat.
Sebuah penanda sejarah, RPKAD menyampaikan tanda terima kasih kepada UGM yang telah membantu menumpas PKI
Nasib miris sempat akan menimpaLetjenTNI(Purn)SarwoEdhieWibowoenam bulan setelah menjabat sebagai Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, Sumatra Utara, pada tahun 1967.
Dilansir dari buku biografi Ani Yudhoyono yang berjudul 'Kepak Sayap Putri Prajurit' karya Alberthiene Endah, hal ini berawal saat mantan Danjen Kopassus itu menerima kabar akan dijadikan duta besar di Moskow, Rusia.
Ani Yudhoyono masih ingat dengan jelas, pada suatu sore ayahnya mengumpulkan keluarga di ruang tengah.
“Papi akan ditempatkan di Rusia. Moskow. Negara dengan faham komunis,” kata Sarwo Edhie, lirih.
Dia merasa sangat nelangsa dengan tugas baru ini.
“Bagaimanapun, dia selama ini dikenal sebagai penumpas komunis. Lalu kemudian dia diceburkan ke negara berfaham komunis. Bagi Papi ini seperti meledek dirinya,” kata Ani Yudhoyono dalam buku biografinya.
Terlebih, Sarwo Edhie merasa tak ada yang salah dengan tugasnya sebagai Pangdam di Medan.
“Papi merasa niat baik dan semangatnya diputus sepihak,” kata Ani Yudhoyono.
Setelah mengungkapkan kesedihannya, Sarwo Edhie mengatakan bahwa keluarga harus ikhlas ikut ke Rusia.
Ani Yudhoyono kemudian memergoki ayahnya menjadi banyak melamun di depan rumah.
Suatu kali, Ani juga mendengar ayahnya berkata kepada ibunya, “Kalau aku memang mau dibunuh, bunuh saja. Tapi jangan bunuh aku dengan cara seperti ini. Apa salahku sampai aku harus dihentikan begini rupa?”
“Papi amat terpukul dengan keputusan pemerintah menempatkan dirinya di Rusia, selagi karier militernya sedang begitu cemerlang,” kata Ani.
Sarwo Edhie kemudian menghubungi teman-temannya di Jakarta.
Dia mempertanyakan apakah tugasnya ke Rusia ini murni atau karena ada hal terselubung.
Tidak berapa lama, datang kabar lagi dari Jakarta.
Sarwo Edhie tidak jadi diberangkatkan ke Rusia, tapi dialihkan ke Irian Barat menjadi Pangdam XVII/Cenderawasih (1968-1970).
Gerakan 30 September atau G30S/PKI terjadi saat Sarwo Edhie menjadi Komandan RPKAD
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal, termasuk Ahmad Yanidiculik dari rumah mereka dan dibawa ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Hari itu dimulai seperti biasanya bagi Sarwo Edhie dan pasukan RPKAD yang sedang menghabiskan pagi mereka di markas RPKAD di Cijantung, Jakarta.
Kemudian Kolonel Herman Sarens Sudiro tiba. Sudiro mengumumkan bahwa ia membawa pesan dari markas Kostrad dan menginformasikan kepada Sarwo Edhie tentang situasi di Jakarta.
Sarwo Edhie juga diberitahu oleh Sudiro bahwa Mayor Jenderal Soehartoyang menjabat sebagai Panglima Kostrad diasumsikan akan menjadi pimpinan Angkatan Darat.
Setelah memberikan banyak pemikirannya, Sarwo Edhie mengirim Sudiro kembali dengan pesan bahwa ia akan berpihak dengan Soeharto.
Setelah Sudiro pergi, Sarwo Edhie dikunjungi oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa.
Sabur meminta Sarwo Edhie untuk bergabung dengan Gerakan G30S/PKI.
Sarwo Edhie mengatakan kepada Sabur dengan datar bahwa ia akan memihak Soeharto.
Pada pukul 11:00 siang hari itu, Sarwo Edhie tiba di markas Kostrad dan menerima perintah untuk merebut kembali gedung RRI dan telekomunikasi pada pukul 06:00 petang.
Ketika pukul 06:00 petang tiba, Sarwo Edhie memerintahkan pasukannya untuk merebut kembali bangunan yang ditunjuk.
Hal ini dicapai tanpa banyak perlawanan, karena pasukan itu mundur ke Halim dan bangunan diambil alih pada pukul 06:30 petang.
Dengan situasi di Jakarta yang aman, mata Soehartoternyata tertuju ke Pangkalan Udara Halim.
Pangkalan Udara adalah tempat para Jenderal yang diculik dan dibawa ke basis Angkatan Udara yang telah mendapat dukungan dari gerakan G30S.
Soeharto kemudian memerintahkan Sarwo Edhie untuk merebut kembali Pangkalan Udara.
Memulai serangan mereka pada pukul 2 dinihari pada 2 Oktober, Sarwo Edhie dan RPKAD mengambil alih Pangkalan Udara pada pukul 06:00 pagi.