Fotokita.net - Buat China wabah Covid-19 berhasil diselesaikan dengan baik, tapi begitu kelar urusan penyakit itu pemerintah Beijing kembali dengan kampanyenya di Laut China Selatan.
Tak peduli dengan urusan diplomasi, Tiongkok ngotot menguasai Laut China Selatan yang diyakini berlimpah sumber daya alam.
Belakangan ini, pemerintah China melarangpenangkapan ikan di Laut China Selatan guna menjaga stok tangkapan ikan.
Seperti kita ketahui, sudah sejak lamaLaut China Selatan menyediakan makanan dan pekerjaan bagi jutaan orang di negara-negara sekitarnya.Sebab, wilayah ini memang berdekatan dengan 6 negara.
Mereka adalah China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
Tak hanya itu, pemerintah Beijing juga mengklaim menguasai 80% wilayahLaut China Selatan.
Sebuah kapal selam nuklir Tiongkok terlibat dalam konfrontasi 'aneh' di Laut China Selatan
Dilansir dariSouth China Morning Post pada Jumat (8/5/2020), aturan tersebut akan mulai berlaku pada 1 Mei hingga 16 Agustus 2020.
Dan penjaga pantai China memastikan akan mengambil langkah-langkah ketat untuk menegakkan aturan ini.
Termasuk menggunakan militer.
Perlukah kita khawatir? Tentu saja!
Sebab, Anda akan bergidik jika melihat senjata-senjata hingga apa saja yang ada di pangkalan militer China di Laut China Selatan.
Pada Maret 2017, lembaga kajian pakar(think tank) Amerika Serikat menyebutkan bahwa otoritas China sudah menempatkan pesawat tempur berikut peluncur rudalnya di pangkalan militer yang dibangunnya di Laut China Selatan.
Pangkalan-pangkalan itu sendiri terdiri dari angkatan laut, udara, radar, dan fasilitas pertahanan rudal.
“Beijing sekarang dapat menggeser aset-aset militernya."
"Termasuk pesawat tempur, dan peluncur-peluncur dual bergerak, ke Kepulauan Spratly kapan saja,” kata Asia Martitim Transparency Initiative (AMTI), bagian dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) di Washington DC, AS, seperti dilansir kompas.com.
Salah satu pulau di Kepulauan Spartly di Laut China Selatan.
AMTI sendiri pernah merilis citra satelit dari pulau karang Subi, Mischief, dan Fiery Cross.
Di mana ketiganya terlihat sudah memiliki landasan sebagai simbol adanya pangkalan udara.
“China memiliki tiga pangkalan udara di Spratly dan lainnya di Pulau Woody."
"Dan Kepulauan Paracel, yang akan memungkinkan pesawat tempur militer China beroperasi ke hampir seluruh Laut China Selatan,” kata AMTI.
“Hal serupa juga berlaku pada jangkauan radar China.”
Pantas TNI AL Sampai Sebut Ini Sebagai Cara China Menangi Pertempuran di Laut China Selatan, Kekuatannya Sungguh Sulit Ditandingi Negara-negara Asia Tenggara
Tak hanya itu, AMTI juga menyebutkan bahwaChina telah memasang rudal HQ-9, sebuah rudal permukaan-ke-udara pada salah satu pulau dan rudal anti-kapal laut.
Selain itu, China juga juga telah dibangun hanggar untuk 72 pesawat tempur dan beberapa peluncur bom yang lebih besar.
Direktur AMTI, Greg Poling, mengatakan gambar menunjukkan antena radar baru di Fiery Cross dan Subi.
Pangkalan militer milik China di Laut China Selatan.
Total 7 pangkalan militer
Denganpangkalan militer tersebut saja sudah membuat seluruh kawasan Laut China Selatan seolah sudah berada dalam kekuasaan China.
Namun, meski demikian, China ada kenyataannya dianggap masih belum merasa benar-benar kuat secara militer.
Hal ini setidaknya jika merujuk pada pernyataan Komando Pasifik AS, Admiral Harry Harris pada Februari 2018.
Saat itu, Harris menyebut bahwa China ingin menegaskan kedaulatande factomereka di wilayah Laut China Selatan.
"Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membangun basis militer di daratan buatan," kata Komandan Komando Pasifik AS, Admiral Harry Harris dalam sidang kongres.
Bukan hanya tiga yang sudah berdiri, mereka juga diperkirakan akan menambahnya hingga mencapai tujuh pangkalan militer.
Dilansir dari SCMP, Harris mengatakan kepada Komite Dinas Angkatan Bersenjata, fasilitas baru yang bakal dibangun China akan dilengkapi gudang pesawat, fasilitas barak, sistem radar dan persenjataan, serta landasan sepanjang tiga kilometer.
"China menggunakan kekuatan militer dan ekonominya untuk mengikis tatanan internasional yang bebas dan terbuka," kata Harris.
Pangkalan militer Laut China Selatan
China semakin memperkuat posisi di Laut China Selatan.
Tentunya, hal tersebut timbulkan ketegangan.
Beijing telah melarang adanya kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan sengketa tersebut.
China akan melarang segala bentuk kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan yang telah diklaim oleh Beijing, meliputi antara lain daerah di dekat Scarborough Shoal, Kepulauan Paracel, dan Teluk Tonkin.
Beijing telah mengklaim secara sepihak 80 persen wilayah Laut China Selatan, yang juga diperebutkan oleh negara-negara tetangga, termasuk Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Indonesia.
China pertama kali memberlakukan pelarangan yang sama di perairan itu pada tahun 1999, dengan alasan untuk membantu melestarikan sumber daya perikanan di salah satu daerah penangkapan ikan terbesar di dunia.
Laut China Selatan selama ini menyediakan makanan dan pekerjaan bagi jutaan orang di negara-negara sekitarnya tetapi penangkapan ikan berlebihan dan perubahan iklim mengancam keberlanjutan ekosistem di wilayah itu.
Melansir South China Morning Post (8/5/2020), pelarangan penangkapan ikan diberlakukan guna menjaga stok tangkapan ikan.
Jika Jadi Sebuah Negara, Laut China Selatan Punya Nilai Perdagangan Jauh Lebih Besar dari PDB Indonesia, Serta Cadangan Minyak dan Gas Bumi Terbesar di Dunia, Lihat Angka-angkanya Ini!
Aturan tersebut akan mulai berlaku pada 1 Mei hingga 16 Agustus dan penjaga pantai China memastikan akan mengambil langkah-langkah ketat untuk menegakkan aturan ini.
Penerapan aturan secara sepihak ini telah menuai protes dari komunitas nelayan di Vietnam dan Filipina.
Mereka mendesak pemerintah mereka untuk mengambil sikap yang tegas.
Protes Vietnam dan Filipina
Pada hari Jumat (8/5/2020) Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam Le Thi Thu Hang mengatakan, Hanoi secara tegas menolak keputusan sepihak tersebut.
"Nelayan Vietnam memiliki hak penuh untuk menangkap ikan di perairan di bawah kedaulatan mereka," kata Masyarakat Perikanan Vietnam dalam sebuah pernyataan di situs webnya awal pekan ini.
Mereka juga menyebut bahwa larangan tersebut adalah pelanggaran terhadap hukum internasional dan kedaulatan Vietnam atas Kepulauan Paracel.
Sementara itu di Manila, organisasi perikanan setempat juga meminta pemerintah Filipina untuk tidak menyerah pada penindasan China.
"Pemerintah Filipina seharusnya tidak membuang waktu dan menunggu petugas maritim China untuk menangkap para nelayan kita," kata Fernando Hicap, ketua Federasi Nasional Organisasi Nelayan Kecil.
“Mereka tidak memiliki hak untuk menyatakan larangan menangkap ikan dengan alasan melestarikan stok ikan di perairan laut yang tidak mereka klaim secara hukum.
Mengamankan cadangan pangan
Persaingan untuk mendapatkan hak menangkap ikan merupakan salah satu motivasi utama untuk perselisihan di perairan Laut China Selatan.
Pengamat memperingatkan bahwa pandemi Covid-19 dapat memicu krisis pangan yang akan meningkatkan risiko konflik di wilayah tersebut.
Collin Koh, seorang peneliti di Sekolah Studi Internasional S Rajaratnam di Singapura, mengatakan bahwa pemerintah di kawasan ini dapat meningkatkan dukungan mereka untuk komunitas nelayan lokal dan tugas perlindungan perikanan.
"Ketegangan Laut Cina Selatan pasca-pandemi bisa meningkat karena meningkatnya fokus negara-negara kawasan pada peningkatan ketahanan pangan, di mana ikan merupakan bagian penting dari asupan protein mereka," kata Koh.
PBB telah memperingatkan bahwa sebanyak 265 juta orang akan menghadapi "bencana kelaparan" pada akhir tahun ini sebagai akibat dari pandemi.
Vietnam, pengekspor beras ketiga terbesar di dunia, melarang ekspor antara Maret dan April untuk melindungi pasokan domestik.
Kang mengatakan bahwa sementara tidak akan ada krisis pangan global dalam waktu dekat, jika pandemi terus memburuk, dan lebih banyak ekspor makanan dilarang, negara-negara di kawasan itu mungkin mengirim lebih banyak kapal nelayan ke perairan untuk memastikan keamanan pangan.
"Dalam hal itu, larangan penangkapan ikan di China akan menemui lebih banyak ancaman di masa depan," kata Kang.
Penjaga pantai Malaysia menembak mati seorang nelayan Vietnam, yang kapalnya coba menabrak kapal patroli di Laut China Selatan.
Insiden itu dilaporkan pihak berwenang pada Senin (17/8/2020), sebagaimana diwartakan kantor berita AFP.
Penembakan itu terjadi di perairan Malaysia, di mana nelayan setempat pernah mengeluhkan kapal nelayan Vietnam yang merusak jala mereka.
Penjaga pantai Zubil Mat Som mengatakan ke AFP, dua kapal nelayan Vietnam telah memasuki perairan Malaysia sekitar 128,7 kilometer dari Tok Bali, di lepas pantai timur laut Negara Bagian Kelantan, Minggu malam (16/8/2020).
"Awak penjaga pantai sebelumnya telah melepaskan tembakan peringatan ke udara, tetapi setelah mereka menabrak dan melemparkan sebotol bensin, anak buah saya tidak punya pilihan selain menembaknya untuk membela diri," ujar Zubil.
Zubil menuduh kru kapal Vietnam telah melempar bensin dan ban, untuk coba membakar kapal penjaga pantai yang rusak akibat "benturan agresif".
Baca Juga: Terungkap, Alasan Soekarno Tak Jalani Puasa Ramadhan Saat Bacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Seorang nelayan Vietnam menderita luka tembak dan dinyatakan meninggal setelah dibawa ke pantai.
"Kami sedih dengan kejadian mematikan ini. Tapi saya bisa menjamin... anak buah saya mengambil tindakan ini untuk melindungi nyawa mereka dan untuk melindungi kedaulatan nasional kami," tambah Zubil.
Kapal Vietnam dengan 20 awak sisanya kemudian ditarik ke dermaga oleh penjaga pantai.
Di Antara Konflik Laut China Selatan, Kelompok Teroris Kian Beringas di Laut Asia Pasifik
Sebagian wilayah Laut China Selatan diperebutkan oleh Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam, sementara Beijing mengklaim seluruh jalur perairan itu.
Perebutan wilayah laut yang menjadi jalur pelayaran penting dan mencakup daerah kaya ikan ini, menjadikannya sangat rawan konflik.
China dan ASEAN saat ini sedang dalam pembicaraan untuk kode etik di daerah itu.
Baca Juga: Dulu Leha-leha Jadi Negara Terkaya, Kini Nauru Harus Ngemis-ngemis Bantuan Australia Tiap Bulan
Sementara itu Amerika Serikat (AS) meski bukan penggugat, mengirimkan kapal-kapal patrolinya ke perairan internasional di sana, tapi China mengecamnya sebagai campur tangan urusan regional.
Pada Februari Kuala Lumpur berusaha mencapai kesepakatan dengan Hanoi untuk mengakhiri dugaan intrusi kapal Vietnam ke perairan Malaysia.
(Kompas.com)