Fotokita.net - Nama YouTuber dan juga pemilik toko jual beli HP PS Store, Putra Siregar tiba-tiba ramai di media sosial.
Putra Siregar sebelumnya ditetapkan tersangka oleh penyidik Kantor Wilayah Bea dan Cukai (Kanwil BC ) Jakarta atas dugaan tindak pidana kepabeanan.
Meski ditetapkan sebagai tersangka, terhadap Putra Siregar tidak dilakukan upaya penahanan. Informasi tersebut pertama kali diketahui dari unggahan akun Bea Cukai Kanwil Jakarta @bckanwiljakarta.
Sementara itu, Putra Siregar melalui media sosial Facebook, Selasa (28/7/2020) sempat memberikan klarifikasi yang menyatakan kasus tersebut sebenarnya berawal dari tahun 2017.
Saat itu, Putra mengatakan bahwa dirinya ditipu oknum yang merupakan rekannya sendiri.
YouTuber sekaligus pemilik PS Store, Putra Siregar menjadi tersangka kasus dugaan perdagangan ponsel ilegal atau ponsel black market (BM) pada Kamis (23/7/2020).
Putra diketahui merupakan pengusaha hape high end atau hape dengan merek dan harga yang cukup bersaing.
Berdasarkan penjelasan kepolisian, pihak Bea Cukai telah menyita ratusan ponsel berbagai merek yang diduga dijual Putra karena dianggap produk ilegal.
Kendati demikian, seperti diberitakan (29/7/2020), Putra mengaku dijebak terkait kasus tersebut.
Putra Siregar berfoto dengan Raffi Ahmad
Seperti diketahui, penjualan ponsel yang dilakoni Putra membuat dirinya dikenal di kota asalnya, Batam, sekaligus para selebriti papan atas.
Ia memiliki toko ponsel yang cukup besar di Batam dengan nama PS Store dengan slogan "Hape Pejabat, Harga Merakyat".
Dari slogan itu sejumlah ponsel seperti iPhone dapat dijual dengan harga yang jauh lebih murah ketimbang dengan harga yang ditawarkan pada toko resmi.
Dengan harga murah, banyak orang yang tergiur dan membeli ponsel tersebut, tanpa mengindahkan risiko ke depannya.
Lantas, mengapa orang-orang cenderung membeli produk black market?
Psikolog dari Universitas Indonesia (UI), Dr Rose Mini Agoes Salim mengungkapkan, mereka yang membeli ponsel black market tidak tahu bahwa apa dampak yang akan dialaminya ketika membeli ponsel tersebut.
"Mereka impact-nya tidak tahu. Kalau dia bisa beli yang murah, barangnya lagi viral atau heboh di masyarakat, bagi dia itu untuk menaikkan harga dirinya, meningkatkan kepercayaan dirinya, dan untuk prestis," ujarnya saat dihubungi, Rabu (29/7/2020).
Putra Siregar
Hal ituyang membuat seseorang menjadi tidak memikirkan dampak yang bakal terjadi ke depannya setelah membeli barang ilegal.
Tertarik harga murah
Perempuan yang biasa akrab disapa Bunda Romi ini menjelaskan, orang-orang cenderung membeli barang black market lantaran barang tersebut memiliki bentuk yang serupa, kelengkapan yang serupa, namun dengan harga murah.
Selain itu, terkadang barang tersebut tidak diberi tahu oleh penjualnya mengenai status barang itu adalah barang black market.
Bahkan, si penjual ada yang enggan memberi tahu bahwa barang tersebut tidak teregistrasi di Indonesia.
"Jadi itu yang dijadikan alasan mengapa orang-orang memilih membeli barang black market di Indonesia," kata dia.
"Ibaratnya risiko hanya tidak terdaftar saja, tapi pembeli tidak tahu menahu dampak tidak terdaftar ini apa saja," lanjut dia.
Tidak berpikiran jauh
Menurut Romi, orang yang membeli barang black market cenderung tidak berpikir lebih jauh, karena mereka tidak melihat dampak langsung dari membeli barang ilegal.
Bagi mereka fitur untuk menelepon, bersosial media, dirasa sudah cukup. Oleh karena itu, mereka tidak memikirkan dampak negatif yang konkret.
Selain itu, penjual barang-barang black market biasanya menawarkan produk barang high end atau yang jarang ada di masyarakat.
Hal inilah yang mendorong seseorang untuk ingin segera memiliki produk tersebut.
Hilangnya rasa kepercayaan di dalam diri
Di sisi lain, Romi mengungkapkan, orang-orang ingin membeli produk tersebut dengan harga murah, lantaran ingin meningkatkan kepercayaan dirinya.
"Jadi, manusia itu kalau kepercayaan dirinya ditempelkan pada barang-barang atau hal-hal yang di luar dirinya, maka dia pasti akan mencari hal-hal yang bisa dia beli atau yang dapat meningkatkan kepercayaan dirinya," kata dia.
Tidak hanya ponsel, sejumlah barang lain seperti baju, tas, sepatu bermerek, dan barang lainnya.
Padahal, rasa kepercayaan diri yang lebih nyaman dan abadi dapat dilihat dari kelebihan yang ada pada diri masing-masing orang.
"Misalnya, kemampuan dia berbicara, kecerdasannya, kemampuan untuk memutuskan sesuatu, kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Itu yang harusnya menjadi poin-poin untuk meningkatkan kepercayaan dirinya," lanjut dia.
Romi menyampaikan, hal tersebut yang sering tidak disadari oleh sejumlah orang.
Menurutnya, mereka hanya terbawa lingkungan pergaulannya, sehingga menimbulkan rasa pamer di mana ia melihat orang-orang banyak memakai produk tersebut, dan ia juga harus memakai barang tersebut.
Terkait hal ini, Romi menambahkan, barang-barang itu akan tetap dibeli meski orang tersebut tidak begitu membutuhkannya.
"Ia hanya terbawa pergaulannya, padahal mungkin belum tentu dia perlu, kerjaannya juga tidak mengharuskan adanya produk tersebut," kata dia.
Tindakan pembelian itu dirasa eman-eman, apalagi jika pembeli tersebut hanya ibu rumah tangga atau pelajar di mana fitur-fitur canggih tidak begitu menunjang pekerjaannya.
"Sepertinya kalau enggak ada produk itu, rasanya tidak cukup untuk meyainkan untuk eksis," imbuh dia.
Kepercayaan diri pada aksesoris
Sementara itu, orang yang ada di masyarakat tidak perlu melihat barang dari luar.
Begitu seseorang memasang kepercayaan diri dengan mengambil aksesoris itu, untuk diakui, untuk eksis, ketika aksesoris tersebut hilang, maka menjadikan orang tersebut bingung akan melakukan apa ke depannya.
"Kalau mau mengikuti teknologi atau tren tercanggih itu kita enggak ada habisnya, karena akan selalu ada pembaruan tiap bulan atau tiap minggu bahkan ibaratnya kita enggak punya rasa puas, belum rusak udah ganti lagi," ujar Romy.
Padahal ada hal lain yang lebih dibutuhkan dalam kehidupannya.
"Itu sedih sebetulnya, dia enggak merasa nyaman atau percaya diri menggunakan hal-hal untuk menunjang kepercayaan dirinya itu," imbuhnya.
(Retia Kartika Dewi)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Orang Lebih Suka Membeli Ponsel "High End" Meski Ilegal?