Biarpun Punya Utang Rp 5.100 Triliun, Indonesia Justru Diprediksi Jadi Negara dengan Ekonomi Terbesar ke-5 Dunia Hingga Pukul Telak Malaysia, Kok Bisa?

Rabu, 22 Juli 2020 | 19:35
Tribunnews

Sri Mulyani

Fotokita.net - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta masyarakat tidak memberikan stigma negatif terhadap proporsi utang Indonesia.

Dia mengaku kerap mendengar keluhan masyarakat yang membenci utang dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat mengkhawatirkan.

"Saya ingin menyampaikan, kadang-kadang masyarakat kita sensitif soal utang. Menurut saya, tidak bagus juga. Karena kalau kita mau bicara tentang policy (ketentuan) utang, ya kita bisa berdebat, jangan pakai benci dan menggunakan bahasa kasar," kata Sri Mulyani seperti dikutip pada Senin (20/7/2020).

Baca Juga: Sah, Gaji Ke-13 PNS Cair di Bulan Agustus, Tapi Kementerian Keuangan Sebut Besaran yang Diterima Tidak Termasuk Tunjangan Ini

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut, tak ada satu pun negara di dunia yang tak memiliki utang. Pinjaman diperlukan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

Bahkan, dia membandingkan utang yang dilakukan negara-negara Islam.

Lalu, jika dibandingkan dengan Malaysia yang jadi negara paling dekat Indonesia, mana yang paling besar jumlah utang di antara kedua negara ini?

Baca Juga: Remehkan Pasukan Negara Kemarin Sore, Tentara Inggris dan Malaysia Kocar-kacir Dihajar Serangan Kilat Marinir Indonesia, Pihak Kerajaan Akhirnya Tutupi Aib dengan Kebohongan

Mengutip laman resmi bank sentral Malaysia, Bank Negara Malaysia atau BNM, total utang pemerintah Malaysia per Juli 2020 tercatat sebesar RM 823,79 miliar atau setara dengan Rp 2.839 triliun (kurs Rp 3.446 untuk setiap 1 Ringgit Malaysia atau RM).

Jika dirinci, keseluruhan utang pemerintah Malaysia ini terdiri dari RM 631,322 miliar berupa utang domestik, dan utang luar negeri RM 192,468 miliar.

Pemerintah Malaysia lebih banyak melakukan porsi pinjaman domestik ketimbang utang luar negeri.

Baru-baru ini, Bank Indonesia mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Mei 2020 tembus sebesar 404,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 5.868 triliun (kurs Rp 15.000).

Utang tersebut terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 194,9 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dollar AS.

Baca Juga: Rintis Karir dari Panggung Kampung Hingga Menderita Komplikasi Penyakit, Mandra Kenang Kelakuan Mendiang Omas Wati yang Bikin Gemas Keluarga: Liat Dokter Aja Dia Lari

Beberapa waktu lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, total utang pemerintah hingga April 2020 mencapai Rp 5.172,48 triliun.

Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, total utang tersebut meningkat Rp 644,03 triliun atau 14,22 persen.

Instagram
Instagram

Sri Mulyani masih gantungkan nasib gaji ke-13

Sementara jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar Rp 5.192,56 triliun, total utang tersebut lebih rendah Rp 20,08 triliun.

Total utang tersebut setara dengan 31,78 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka itu masih dalam batas aman dalam Undang-undang (UU) Keuangan Negara Nomor 17 tahun 2003 yang menetapkan batas maksimal rasio utang pemerintah sebesar 60 persen dari PDB.

Laporan yang tercatat dalam APBN KiTa edisi April 2020 tersebut secara lebih rinci menjabarkan, total utang tersebut terdiri atas surat berharga negara (SBN) sebesar Rp 4.338,44 triliun dan pinjaman sebesar Rp 834,04 triliun.

Baca Juga: Atta Halilintar Kepergok Ogah Peluk Aurel Usai Lamaran di Atas Kapal, Ahli Tarot yang Tak Pernah Meleset Ini Beri Peringatan Keras: Gangguan Terakhir Bisa Bikin Hancur Lebur

Lebih detilnya, total pemerintah dalam bentu SBN yang mencapai Rp 4.338,44 triliun terdiri dari SBN rupiah Rp 3.112,15 triliun dan dalam bentuk valuta asing (valas) sebesar Rp 1.226,29 triliun.

Sementara untuk pinjaman, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 824,12 triliun dan pinjaman dalam negeri Rp 9,92 triliun.

Khusus pinjaman luar negeri terdiri dari pinjaman bilateral Rp 333,00 triliun, multilateral Rp 448,45 triliun, commercial bank Rp 42,68 triliun, sedangkan yang berasal dari suppliers nihil.

Pemerintah pun telah melakukan penarikan utang baru hingga akhir April 2020 sebesar Rp 223,8 triliun, naik naik 53,7 persen dari posisi April 2019 yang sebesar Rp 145,6 triliun.

Baca Juga: Cobaan Datang Bertubi-tubi, Usai Baim Wong Dituding Pelit Bayar Ganti Rugi Rp 1 Miliar, Sekarang Gantian Paula Verhoeven yang Dapat Kritik Pedas Gegara Lakukan Hal Ini

Untuk realisasi pembiayaan utang per April 2020 itu setara dengan 22,2 persen dari target dalam Perpres Nomor 54 tahun 2020 yang sebesar Rp 1.006,4 triliun.

Hingga akhir April 2020, pemerintah telah membayar bunga utang sebesar Rp 92,82 triliun, atau tumbuh 12,37 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Adapun sepanjang tahun ini, pemerintah menargetkan pembayaran bunga utang sebesar Rp 335,16 triliun.

Sri Mulyani pada Januari lalu sempat mengatakan, negara tetangga seperti Filipina, Singapura hingga Jepang tercatat rasio utang terhadap PDB-nya sudah lebih dari 30 persen bahkan ada yang tembus di atas 50 persen.

Sri Mulyani mencontohkan, rasio utang Filipina mencapai 38,9 persen dari PDB, selain itu Malaysia sebesar 55,6 persen dari PDB, dan Singapura sebesar 113,6 persen dari PDB.

Adapun untuk negara berkembang rata-rata memiliki rasio utang 50,6 persen dari PDB, sementara rata-rata rasio utang negara maju sebesar 102 persen dari PDB.

Baca Juga: Anak Tiri Pendiri Sinar Mas Rebutan Warisan Keluarga Eka Tjipta Widjaja, Putra Bungsu Orang Terkaya Indonesia Malah Jalani Gaya Hidup Sederhana: Panas-panas Dikit Tak Apalah

Meski punya utang yang sudah lebih dari Rp 5.000 triliun, Indonesia diprediksi menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-5 di dunia di tahun 2024.

Namun pencapaian tersebut bergantung pada bagaimana Indonesia berjuang melawan pandemi Covid-19 saat ini.

"Kerja keras Indonesia dalam penanganan Covid-19 pada tahun 2020 akan sangat menentukan pemulihan di tahun-tahun berikutnya,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam siaran pers, Rabu (22/7/2020).

Menurut dia, secara umum di tahun 2024 akan terjadi pergeseran susunan perekonomian terbesar di dunia.

Asia akan semakin mendominasi posisi 5 teratas, menggeser posisi beberapa negara Eropa.

Baca Juga: Disebut-sebut Bakal Segera Dibubarkan Presiden Jokowi, Ternyata 3 Lembaga Ini Justru Selamat, Berikut Daftar 18 Badan yang Resmi Dialihkan Fungsi dan Tugasnya

Saat ini China dan Jepang menduduki posisi 5 besar. Sementara Indonesia dan India diprediksi akan menggantikan posisi Inggris dan Jerman pada tahun 2024.

Selain dimulai dari upaya penanganan Covid-19 di tahun 2020, salah satu alasan dibalik pergeseran dominasi ekonomi ini adalah pertumbuhan kelompok kelas menengah di Asia.

"Selain kelas menengah, sisi demografi juga berkontribusi positif pada pergeseran dominasi Asia," jelas dia.

Menurut Forum Ekonomi Dunia (WEF), saat China melandai pertumbuhannya seiring populasi penduduknya yang menua, negara-neraga seperti Indonesia, Filipina, dan Malaysia diharapkan bisa menjadi jawara perekonomian Asia dengan motor pertumbuhan berupa meningkatnya angkatan kerja.

Perkiraan susunan ekonomi terbesar di dunia tersebut menggunakan perbandingan proyeksi pertumbuhan ekonomi beberapa tahun ke depan, termasuk tahun 2020 serta proses pemulihan ekonomi di tahun-tahun berikutnya.

Berdasarkan proyeksi Bank Dunia dan IMF, beberapa negara dengan PDB terbesar di tahun 2020 diprediksi akan mengalami pertumbuhan negatif, seperti AS (-6,1 persen, yoy), Jepang (-6,1 persen, yoy), Jerman (-7,8 persen, yoy), dan Brazil (-8,0 persen, yoy).

Baca Juga: Kabar Gembira, Sri Mulyani Akhirnya Resmi Umumkan Gaji Ke-13 PNS Cair Pada Bulan Agustus, Inilah Golongan yang Akan Mendapatkannya

Sementara prediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2020 negara-negara Asia juga sangat rendah, bahkan 3 negara diperkirakan tumbuh negatif yaitu Malaysia (-3,1 persen yoy), Thailand (-5,0 persen yoy) dan Filipina (-1,9 persen yoy).

Meskipun lebih baik dari negara Asia lainnya, Indonesia dan China juga tertekan dengan pertumbuhan ekonomi 0 persen (yoy) dan 1 persen (yoy).

"Prediksi ini perlu kita syukuri dan perlakukan sebagai motivasi bagi Indonesia. Kebijakan yang tepat dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional adalah kuncinya," tambah dia.

Dengan demikian, diharapkan dampak krisis dapat diminimalisasi, perekonomian segera bangkit, dan Indonesia dapat terus merealisasikan aspirasinya menjadi perekonomian besar dan maju di dunia.

(Kompas.com/Kiki Safitri)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma