Sayangnya, pada awal tahun 2020, salah satu perusahaan batu bara Max Armand, PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk dinyatakan bangkrut hingga harus ditendang dari Bursa Efek Indonesia.
Ketika itu, dalam keterbukaan informasi yang disampaikan manajemen perusahaan, kinerja keuangan 2018 justru “terjun bebas” dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Dalam keterbukaan informasi pada Selasa (11/2/2020), Borneo Lumbung Energi mencatatkan kerugian sebesar US$ 46,59 juta pada 2018, turun drastis dari perolehan laba bersih sebesar US$ 34,32 juta pada 2017.
Penurunan laba tersebut disebabkan berkurangnya secara drastis pendapatan bersih perusahaan dari US$ 241,7 juta menjadi US$52,7 juta.
Di sisi lain, jumlah kewajiban naik tipis dari US$1,7 miliar menjadi US$ 1,72 miliar. Sedangkan aset justru turun dari US$ 989 juta menjadi US$ 957 juta.
Kinerja nan tak moncer ini juga yang jadi pertimbangan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin (20/1) resmi menghapus pencatatan sham PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN).
Perusahaan tambang terintegrasi itu dinyatakan delisting per Jumat (17/1) atau emiten pertama yang dihapus pencatatannya dari bursa pada tahun ini.
Pengumuman potensi delisting ini diikuti oleh pengumuman penghapusan pencatatan pada 10 hari kemudian. Menurut Bloomberg, transaksi terakhir saham BORN adalah pada 29 Juni 2015 dengan harga Rp 50 per saham.