Fotokita.net -
Peristiwa penyerangan Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021) membuat gempar masyarakat. Setelah pelaku dilumpuhkan dengan cara tembak di tempat, polisi membuat pernyataan, penyerangan dilakukan seorang wanita muda.
Belakangan, wanita itu diketahui bernama Zakiah Aini berusia 25 tahun.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan, Zakiah adalah pelaku penyerangan tunggal, atau dikenal dengan istilah lone wolf.
Ia secara terang-terangan mendukung organisasi teror ISIS.
"Yang bersangkutan ini adalah tersangka atau pelaku lone wolf beridiologi ISIS. Terbukti dari postingannya di sosial media," ujar Listyo saat jumpa pers di Mabes Polri Rabu (31/3/2021) malam.
Salah satu faktornya, yakni adalah penafsiran ekstrem ayat-ayat agama.
"Umum di kalangan teroris negara ini thagut harus diperangi dan aparatnya wajib dibunuh," papar Robi.
Dengan berhasil membunuh atau mati pada saat membunuh mereka, berarti dipandang sudah ikut berperang di jalan Tuhan.
Dengan adanya rentetan aksi teror belakangan ini, menurut Robi dapat diartikan bahwa sel-sel radikal masih eksis.
"Ini menandakan sel-sel mereka masih ada dan ideologi ini tidak pernah benar-benar mati," pungkas dia.
Fenomena bujuk rayu ISIS lewat media sosial atau online memang sudah berlangsung lama.
Salah satu korban bujuk rayu itu,Nurshadrina Khaira Dhania. Wanita muda ini merupakan seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi simpatisan Islamic State of Iraq Syiria (ISIS).
Wanita 21 tahun ini merasa tertipu dengan seluruh janji dan propaganda ISIS yang didapatkan dari internet.
Ia berhasil pulang kembali ke Indonesia pada Agustus 2017 lalu.
Dilansir dari YouTube Kompas TV pada 16 Septermber 2017, Nurshadrina menceritakan perlakuan tak manusiawi yang ia dapatkan selama menjadi anggota ISIS. Ia menjelaskan, di asrama wanita ISIS ada data yang menunjukkan status anggota perempuannya.
Para fighter ISIS bisa datang ke asrama wanita dan meminta istri dan dibebaskan untuk memilih.
"Dulu pengalaman saya ketika masih di asrama wanita, di mana asrama saya itu ada single, ada janda dan ada yang berkeluarga."
"Di situ biasanya fighter-fighter ISIS datang ke asrama kami, mereka meminta istri kepada pimpinan asrama kami. Pimpinan kami punya list data-data siapa saja yang single atau janda."
Baca Juga: Ditembak Dekat Ruang Kapolri, Jenazah Penyerang Mabes Polri Diamankan Pasukan Penjinak Bom
"Mereka datang, 'saya mau yang ini', saya diam saja saya tidak ngomong apa-apa," ungkapnya.
Nurshadrina mengaku heran dengan perilaku para simpatisan ISIS yang menganggap jihad hanya dengan menikah.
"Dalam hati aku mikir, kok bagi mereka jihad itu hanya nikah doang," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai kebenaran, perempuan di ISIS hanya dijadikan obyek, Nurshadrina mengiyakan.
"Ya Mbak, saya pribadi bilang sebagai pabrik anak saja," imbuhnya.
Nurshadrina Khaira Dhania saat berusia 16 tahun bertekad hidup dalam naungan ISIS, lalu membujuk keluarganya untuk pergi ke Suriah pada 2015 lalu.
Namun di Suriah, mereka menemukan kenyataan yang jauh dari harapan dan bayangan tentang ideal suatu masyarakat Islam.
Ternyata, katanya, "beda banget dan benar-benar ketipu," kata gadis yang dipanggil Nur itu. "Mereka telah membajak Islam. Kecintaan saya terhadap Islam itu luar biasa, dan mereka merusak begitu saja," tegasnya.
Dalam kekecewaaan itu, katanya, mereka memutuskan pulang ke Indonesia, melalui jalan yang berliku.
Setelah kembali ke Indonesia pada 2017 lalu, Nur dan keluarganya mengikuti program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sementara ayah dan pamannya diadili karena bergabung dengan ISIS.
Kini Nur seringkali diundang berbicara pengalamannya selama di Suriah untuk memberi gambaran tentang kenyataan yang dialaminya sendiri, kepada anak-anak muda, khususnya yang mulai terpengaruh kalangan radikal dan terkena bujukan terduga kelompok teroris.
Nur mengaku pertama kali mengenal ISIS yang telah mendeklarasikan kekhalifahan di Suriah, pada awal 2015 melalui pamannya Iman Santoso.
Tangis pilu anak WNI yang dibawa ayahnya yang menjadi anggota ISIS di Suriah
Sebagai remaja dia berupaya mencari tahu lebih jauh mengenai ISIS melalui internet dan media sosial. Melalui Facebook, Nur mendapatkan informasi tentang apa yang dianggapnya pengalaman indah sejumlah orang yang hidup di bawah kekhalifahan ISIS.
"Seru banget, bagus semuanya kayak kekhalifahan kayak zaman nabi gitu. Mulai dari kesejahteraan dan keadilan, semua di bawah naungan Islam dan Sunnah, semuanya akan dijamin kehidupan di dunia dan akhirat juga dapat," ungkap Nur dalam acara Reintegrasi Sosial eks-Aktivis NII, Gafara dan Deportan/ Returni ISIS yang digelar Indonesia Muslim Crisis Center IMCC pada Februari lalu.
Nur juga mendapatkan bahan-bahan lain soal ISIS dari Tumblr, dan kanal Diary of Muhajirah (Catatan Harian Kaum Perempuan yang Berhijrah) berisi pengalaman orang-orang 'yang berhijrah' ke Suriah. Dia pun mulai berkomunikasi dengan pendukung ISIS di Suriah.
"Mereka menjanjikan akan dijamin semuanya: listrik, air rumah, gratis. Dan (mnereka akan) membayar utang-utang. Paman saya waktu itu punya utang dan mereka janji akan menutupi utang itu," kata dia.
Nur juga mulai yakin dengan propaganda ISIS yang menyebutkan untuk menjadi muslim yang sebenarnya harus hijrah ke Suriah. Nur yang saat itu duduk di kelas 2 SMA mengaku ingin berubah dan menjalankan hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Bersama adiknya, Nur pun sering menonton video propaganda ISIS dari Suriah.
WNI eks ISIS di kamp pengungsi Al-Hol, Suriah Timur.
"Lama kelamaan saya kayak terhipnotis apa yang mereka share itu saya anggap pasti bener, walaupun orang di luar sana bilang kelompok ini begini begitu, tidak saya dengar. Bagi saya itu kayak fitnah saja," kata Nur.
Dia pun kemudian aktif melakukan propaganda mengenai ISIS dan kehidupan di Suriah di bawah ISIS kepada keluarganya. Walnya, kata Nur, ia sering berbeda pendapat dengan ayahnya.
"Ayah saya kan PNS. Saya lihat dia sibuk dan agamanya kurang. Ayah suka menyampaikan pendapat yang beda, aku selalu lawan dengan dalil yang aku dapat dari kelompok ini di internet," ujar Nur.
Tekad untuk hijrah ke Suriah pun semakin besar ketika Nur membaca kesaksian dari remaja seusianya di Eropa yang pergi ke daerah kekuasaan ISIS, antara lain tiga gadis dari Inggris.
"Tapi Allah menakdirkan lain: aku harus pergi dengan keluarga, karena aku pengen juga belajar Islam bareng mereka, hidup di bawah khilafah. Walaupun awalnya ada yang ragu tapi akhirnya kita saling menguatkan," kata dia.
Nur berhasil berpropaganda ke lingkup luas di keluarganya. Ia bergabung dalam rombongan berjumlah 26 orang, termasuk dirinya sendiri, untuk berangkat ke Suriah melalui Turki: dia, ayah dan ibunya, dan sejumlah orang lain.
Salah satunya, Dwi Joko sempat menimbulkan kehebohan, karena ia adalah seorang pejabat daerah :Direktur Pelayanan Satu Pintu PTSP di Badan Pengusahaan untuk Kawasan Batam. Ia mengambil cuti pada Agustus 2015, namun tak pernah kembali lagi.
Untuk membiayai perjalanan ke Suriah, Dwi Joko menjual rumahnya. Kakak iparnya Iman Santosa alias Abu Umar, yang diduga paling mempengaruhi keluarga tersebut untuk migrasi ke Suriah, melakukan kontak dengan ISIS dan merencanakan perjalanan tersebut.
Agustus 2015, keluarga tersebut pergi ke Suriah melalui Istanbul Turki, di sana bertemu dengan penghubung yang kemudian membantu mereka menyebrang ke Suriah dan terhubung dengan militan ISIS.
Sampai di perbatasan, keluarga ini dibagi dalam beberapa rombongan agar tidak terlalu mencolok. Namun hanya 19 orang yang berhasil menyebrang ke perbatasan Suriah, selebihnya ditangkap pemerintah Turki kemudian di deportasi ke Indonesia, termasuk Iman Santosa.
"Ketika masuk aku bener-bener seneng banget, pas di perbatasan, langsung sujud syukur, karena sampai di negeri yang diberkahi. Kan sebutannya bless land tuh," ungkap Nur.
Di perbatasan mereka dijemput oleh anggota militan ISIS, dan berjalan kaki di daerah kekuasaan ISIS. Esok harinya paspor dan identitas mereka diperiksa termasuk telepon seluler dan diambil oleh ISIS.
Anggota keluarga laki-laki dan perempuan dipisahkan. Anggota keluarga laki-laki dibawa ke sebuah tempat untuk menjalani 'pelatihan'.
"Yang perempuan itu dibawa ke sebuah asrama, sebagai tempat penampungan bagi wanita yang menunggu mahromnya sedang sekolah," jelas Nur.
Namun begitu sampai di asrama, Nur merasa situasinya tak seperti yang digambarkan di internet.
"Sudah mulai muncul perasaan kecewa, kok beda seperti yang disampaikan di internet, mereka cerita di asrama semuanya bersih, semua akhwat saling tolong menolong dan ramah. Tapi sampai di sana kotor, banyak orangnya dan tidak tertata rapih, dan kita lihat sering ada perkelahian," ungkap Nur.
Di sana, Nur dan kakak perempuannya beberapa kali diajak menikah oleh 'petempur ISIS', namun dia menolaknya.
"Waktu itu saya masih 17 tahun, kaget dan syok dan nggak mau. Tapi alhamdulillah ternyata bisa nolak," kata Nur.
Selama empat bulan Nur dan keluarganya tinggal di asrama, kemudian diberi rumah gratis. Saudaranya yang sakit sempat juga diberikan pengobatan gratis.
Namun, janji ISIS untuk mengganti uang perjalanan dan memberikan pekerjaan tanpa harus mengikuti wajib militer tidak dipenuhi.
"Beberapa waktu kemudian yang laki-laki pulang ke rumah, dan berbeda dengan yang mereka janjikan di internet yang katanya tidak ada wajib militer: ternyata ada wajib militer," jelas Nur.
Beberapa bulan setelah sampai di Suriah, Nur semakin banyak menemukan gambaran kehidupan di Suriah dalam propaganda ISIS sangat berbeda dengan kenyataan.
"Dari segi keduniaan tidak ada (kesesuaian) - walaupun ada sedikit. Tapi janji -janji yang mereka omongkan di awal itu enggak ada sama sekali yang ditepati."
"Dari segi agama banyak sekali yang bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri," kata Nur.
Di sisi lain, ISIS mulai kehilangan wilayah kekuasaannya, terdesak oleh milisi yang dibantu pasukan koalisi pimpinan AS, dan milisi dan pasukan militer pemerintah Suriah yang dibantu Rusia.
Dia pun mulai mencari jalan untuk keluar dari Suriah. Namun keluar dari wilayah ISIS ternyata jauh lebih sulit dibandingkan ketika masuk ke sana.
Setelah gagal meminta bantuan KBRI, Nur dan saudaranya meminta bantuan penyelundup dengan kemampuan bahasa Arabnya yang terbatas.
"Harus diam-diam kabur dari wilayah itu. Dulu saya yang semangat mengajak keluarga untuk berangkat, jadi merasa bertanggung jawab untuk membawa mereka keluar. Saya banyak keliling bagaimana kita mencari jalan untuk keluar," ujar Nur.
Rombongan kemudian kehilangan dua anggotanya yang disebutnya meninggal karena sakit: seorang kerabatnya, serta neneknya yang berusia 78 tahun.
Akhirnya setelah beberapa kali gagal dan juga ditipu oleh penyelundup, keluarga tersebut berhasil melarikan diri dari wilayah ISIS.
"Situasi lagi genting, jadi harus memanjat jembatan yang sudah dibom," kata dia.
Akhirnya mereka keluar dari Raqqa melalui Irak, dan ditempatkan di lokasi pengungsian, sementara yang laki-laki sempat diinterogasi dan ditahan. Di lokasi pengungsian, Nur sempat meminta bantuan media.
(Tribunnews.com/BBC Indonesia)