Fotokita.net - Tolak mentah-mentah pendaratan pesawat mata-mata AS, Jokowi akhirnya ungkap sikap Indonesia pada konflik Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berkali-kali mengingatkan kepada semua negara, termasuk Amerika Serikat dan China, untuk menahan diri buat menjaga perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan.
Konflik di Laut China Selatan dipicu oleh klaim atas pulau dan perairan oleh China, Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Wilayah menjadi sengketa ini termasuk Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel.
Keenam negara pengklaim itu berkepentingan untuk menguasai hak untuk stok perikanan, eksplorasi dan ekploitasi terhadap cadangan minyak dan gas, serta mengontrol jalur pelayaran di Laut China Selatan.
Nilai komoditas perdagangan melewati Laut China Selatan saban tahun sebesar $3,37 triliun atau sepertiga dari total perdagangan maritim dunia.
Sekitar 80 persen dari impor energi China dan 39,5 persen dari total perdagangan mereka melewati Laut China Selatan.
Sejak 2013, China mulai melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly dan Paracel.
Tindakan tersebut mengundang kecaman internasional. Mulai 2015, Amerika Serikat dan negara-negara lain, termasuk Perancis dan Inggris, melakukan apa yang disebut kebebasan operasi navigasi di Laut China Selatan.
Sementara itu,Presiden Joko Widodo pernah menolak permintaan Amerika Serikat, agar mengijinkan pesawat militer pengawas maritim P-8 Poseidonmendarat dan mengisi bahan bakar di wilayah Republik Indonesia.
Kantor berita Reuters melaporkan, hal itu diungkapkan oleh empat pejabat senior Indonesia yang mengetahui permintaan tersebut kepada Reuters.
Amerika Serikat, pada Juli dan Agustus 2020 mengirimkan pejabat tingginya untuk melakukan pendekatan tingkat tinggi kepada Menteri Pertahanan, Menteri Luar Negeri dan Presiden Indonesia. Dan semuanya dengan tegas menolak (rebuff) permintaan tersebut.
Menurut Reuters, para pejabat senior Indonesia menganggap, permintaan Amerika tersebut mengejutkan, karena Indonesia memiliki kebijakan luar negeri yang bebas aktif Indonesia, juga tidak pernah mengizinkan militer asing beroperasi secara resmi di wilayah kedaulatannya.
Pesawat Pengintai MaritimP-8 Poseidonberperan sangat penting mengawasi kegiatan militer Cina di Laut China Selatan, yang sebagian besar diklaim oleh Beijing sebagai wilayah kedaulatan.
Indonesia dan Cina memiliki hubungan ekonomi dan investasi yang sangat berkembang, dan sejalan dengan politik bebas-aktif, Indonesia tidak akan memihak siapapun dalam konflik yang terjadi di Laut Cina Selatan.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi lebih jauh kepada Reuters mengatakan, Indonesia mulai waspada dengan meningkatnya ketegangan antara dua negara adidaya tersebut, serta dengan militerisasi Laut Cina Selatan.
Dalam wawancara September lalu, seperti diberitakan Reuters, “Kami (Indonesia) tidak ingin terjebak dalam persaingan ini, dan Indonesia ingin menunjukkan kepada semua pihak bahwa Indonesia siap menjadi mitra,”
Terlepas dari kedekatan strategis antara AS dan negara-negara Asia Tenggara dalam mengekang ambisi teritorial Cina, mantan wakil menteri luar negeri Indonesia, Dino Patti Djalal kepada Reuters mengatakan, "Kebijakan Anti-Cina yang sangat agresif" dari Amerika Serikat telah membuat Indonesia dan kawasan menjadi terheran-heran.
Dino mengatakan, "Kebijakan AS tersebut dipandang tidak pada tempatnya," selain itu, "Kami tidak mau terjerumus ke dalam kampanye anti-Cina di wilayah.
Tentu kami menjaga kedaulatan kami, namun ada keterlibatan ekonomi yang lebih dalam dan Cina saat ini menjadi negara yang paling memberi pengaruh di dunia bagi Indonesia," tutur Dino.
Boeing P-8 Poseidon
Presiden Joko Widodo mengatakan, stabilitas di Laut China Selatan akan tercipta apabila semua negara yang terlibat menghormati hukum internasional.
Hal itu diungkapkan Jokowi usai menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin di Istana Merdeka, Jumat (4/2/2021).
Dalam pertemuan itu dibahas sejumlah isu dunia, antara lain soal kudeta militer Myanmar, persoalan Rohingnya hingga Laut China Selatan.
"Kita juga bertukar pikiran tentang stabilitas dan keamanan kawasan. Saya menekankan bahwa stabilitas akan tercipta, termasuk di Laut China Selatan jika semua negara menghormati hukum internasional," ujar Jokowi saat menyampaikan keterangan pers yang ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden, Jumat. "Terutama (menghormati) UNCLOS 1982 (konvensi hukum laut PBB tahun 1982)," lanjutnya.
Sementara itu, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin mengatakan, soal tuntutan maritim di perairan Laut China Selatan tersebut dan penyelesaiannya hendaklah dibuat secara aman berdasarkan prinsip-prinsip undang-undang antarabangsa yang disepakati secara universal.
Termasuk di dalamnya UNCLOS 1982.
Menurut Muhyiddin, semua pihak perlu menghindari tindakan yang menimbulkan ketegangan dan bersifat provokatif (self–restraint) serta tindakan militer.
"Malaysia berkomitmen untuk menyelesaikan isu-isu berkaitan Laut China Selatan secara konstruktif, menggunakan forum dan saluran diplomatik yang sesuai," tutur Muhyiddin.
Konflik Laut China Selatan antara China dan Negara-negara ASEAN yang melibatkan Amerika Serikat menjadi perhatian dunia.
China kerap berselisih paham dengan Amerika mengenai klaim 90 persen wilayah Laut China Selatan atau LCS yang menuai kontroversi
Letak Geografis Indonesia sangat penting untuk kepentingan militer China dan Amerika , namun Indonesia tetap tidak memihat negara manapun
Meski demikian, para ahli meramalkan Indonesia bakal berkonflik dengan China di masa mendatang
Saat ini, tak ada sengketa teritorial antara Indonesia dan China, dan masalah apapun dengan negeri panda tersebut.
Namun, menurut sebuah artikel yang diterbitkan Fpri.org, oleh Felix K.Chang, penelitis senior Kebijakan Luar Negeri, dan asisten profesor di Uniformed Services University of the Health Sciences
Indonesia diprediksi akan mengalami perselisihan dengan China di masa depan, dilihat dari data-data hubungan kedua negara tersebut.
Dala tulisannya, Felix mengatakan memang tidak ada sengketa tanah, tetapi ada sengketa maritim, diperjelas pada Desember 2019.
Ketika sebuah kapal penjaga pantai China mengawal beberapa kapal penangkap ikan masuk ke dalam sembilan garis putus-putus yang diproklamirkan Tiongkok.
Tetapi berada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia , dekat kepulauan Natuna di Laut China Selatan
Ini adalah situasi memanas pertama Indonesia dengan China, di mana Jakarta langsung memanggil duta besar China untuk melakukan protes diplomatik.
TNI kemudian dikerahkan dengan sepuluh kapal angkatan laut, dan empat pesawat tempur F-16 ke pulau Natuna, pada awal tahun 2020.
Perairan di utara Kepulauan Natuna juga penting bagi masa depan industri energi Indonesia.
Ladang gas alam terbesar yang belum dimanfaatkan di negara itu, yang disebut East Natuna dan berisi sekitar 46 triliun kaki kubik sumber daya gas yang dapat dipulihkan, terletak di sana.
Secara tradisional, Indonesia berusaha menghindari perselisihan maritimnya dengan China.
Menekankan kurangnya "sengketa teritorial"antara kedua negara, Indonesia sering menawarkan untuk bertindak sebagai mediator netral antara China dan negara tetangganya di Asia Tenggara dalam sengketa abadi mereka atas Kepulauan Spratly
Sementara itu, Beijing terus mengabaikan klaim maritimnya yang tumpang tindih dengan Jakarta, terutama selama China tidak bisa berbuat banyak tentangnya.
Perairan yang disengketakan antara Cina dan Indonesia berada 1.500 km dari wilayah Cina terdekat yang tidak disengketakan; dan China, hingga saat ini, belum dapat menegakkan klaimnya untuk jarak tersebut.
Saat ini, kekuatan maritim China yang sedang berkembang dan fasilitas militer yang baru dibangun di kepulauan Spratly telah memperluas jangkauannya di Laut China Selatan.
Akibatnya, China tampaknya telah melanjutkan perjalanannya ke selatan melalui Laut China Selatan.
Baca Juga: Akui Sudah Terima Surat Soal Isu Kudeta Demokrat, Jokowi Malah Mantap Beri Jawaban Ini Buat Anak SBY
Dengan menggunakan "taktik salami" tindakan yang dirancang secara bertahap mengatasi oposisi China menempatkan Filipina di belakangnya dan tampaknya akan melakukan hal yang sama ke Malaysia dan, mungkin, bahkan Vietnam.
Ujung-ujingnya yang menjadi sasaran terakhir adalah Indonesia.
Tidak diragukan lagi, Beijing pada akhirnya berharap untuk mencapai kendali de facto atas semua perairan dalam klaim "sembilan garis putus-putus" -nya.
Selama sebagian besar tahun 1990-an dan 2000-an, Indonesia menangani aktivitas Laut Cina Selatan di China dengan cara yang sama seperti kebanyakan negara Asia Tenggara lainnya: dengan dialog terpisah.
Tetapi ketika Cina maju lebih jauh ke selatan, Indonesia mulai mengambil garis yang lebih tegas.
Pada tahun 2010, China menempatkan saham resmi di lapangan ketika mengirimkan surat ke PBB yang mempertanyakan dasar hukum untuk "sembilan garis putus-putus" China.
Kemudian, pada tahun 2014, perwira tinggi militer Indonesia menuduh China memasukkan perairan dekat Kepulauan Natuna dalam garis yang diproklamirkan sendiri dan memperingatkan bahwa kekuatan militer China dapat mengguncang Asia Tenggara.
Sementara itu, Kepala Badan Keamanan Laut Indonesia menyebut klaim China di kawasan itu sebagai " ancaman nyata " bagi negaranya.
Jakarta juga memperingatkan, jika didesak,bisa mengambil tindakan hukum terhadap China , seperti yang dilakukan Filipina di Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag.
Tindakan seperti itu sekali lagi akan membuat China menjadi sorotan internasional.
Tahun 2016 ketika selusin kapal penangkap ikan Tiongkok pernah menolak untuk mengindahkan peringatan korvet angkatan laut Indonesia untuk meninggalkan perairan Indonesia.
Jadi, korvet itu melepaskan tembakan peringatan ke kapal penangkap ikan. Itu mendorong China untuk mengerahkan kapal penjaga pantainya ke daerah tersebut.
Sebagai tanggapan, angkatan laut Indonesia mengirim enam kapal perang di dekatnya untuk melakukan latihan angkatan laut selama 12 hari sebagai unjuk kekuatan.
Sejak insiden itu Angkatan Udara Indonesia mengadakan latihannya sendiri di atas Pulau Natuna dengan pesawat tempur F-16 dan Su-30.
Meski Jakarta akhirnya mengecilkan insiden tersebut, militernya telah mengambil langkah konkret untuk menjaga laut di sekitar Kepulauan Natuna.
Itu meningkatkan pangkalan udara di Ranai di Pulau Natuna sehingga pesawat tempur garis depan Su-27 dan Su-30 serta helikopter serang AH-64E baru dapat beroperasi lebih dekat ke daerah yang disengketakan.
Tindakan itu juga meningkatkan fasilitas pelabuhan di pulau itu sehingga mereka dapat menampung tidak hanya kapal patroli lepas pantai yang lebih kecil, tetapi juga kapal selam dan kombatan permukaan yang lebih besar.
Pada akhir 2018, Indonesia mengaktifkan komando militer gabungan baru di pulau itu dan mendirikan pangkalan operasi kapal selam di sana.
Pasukan dan peralatan baru juga telah tiba, termasuk batalion infanteri mekanis, sistem radar pencarian udara baru, dan peralatan pemantauan langkah-langkah dukungan elektronik untuk memberikan peringatan dini.
(*)