Fotokita.net - Bikin gonodok buruh, Jokowi bantah upah dihitung per jam di UU Cipta Kerja, tapi faktanya malah begini...
Sejak tahun 2019, pemerintah memang telah menggodok skema upah per jam untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja.
Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.
Waktu kerja dalam Undang Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebanyak 40 jam per minggu.
Di sisi lain, banyak profesi yang jam kerjanya di bawah 40 jam per pekan, sehingga dirasa perlu dibuat regulasi yang menjadi payung hukumnya.
"Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu hitungannya per jam," ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah seperti dikutip dari Kontan, Senin (29/12/2019).
Ida mengatakan aturan baru itu juga menjadi fleksibilitas bagi dunia usaha dan pekerja.
Pasalnya banyak sektor yang dinilai membutuhkan tenaga kerja dengan skema beberapa jam.
Rencana kebijakan tersebut pun, diakui Ida, telah dikomunikasikan dengan pelaku usaha dan serikat pekerja.
Nantinya skema penghitungan upah per jam itu akan ditentukan. "Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," terang Ida.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, skema pembayaran upah per jam dalam RUU Cipta Lapangan Kerja hanya untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu.
Pengunjuk rasa membakar Halte Transjakarta saat berunjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Hari ini aksi unjuk rasa penolakan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termauk Ibukota Jakarta. THE JAKARTA POST/SETO WARDHA
"Jadi itu salah terima. Kalau yang per jam itu misalnya konsultan yang dibayar per jam jadi lebih ke pekerja jasa atau pekerja paruh waktu," ujarnya.
"Misalnya kerja di restoran itu kan bisa digaji paruh waktu, jadi itu diakomodir di dalam UU berubah jadi gaji per jam," katanya lagi.
Airlangga menyebut, ada urgensi dari aturan gaji pekerja dalam RUU Cipta Lapangan Kerja. Pemerintah ingin semua pekerja masuk ke sektor formal.
Namun selama ini pekerja masuk ke dalam 2 sektor yakni sektor formal dan informal.
"Kan kita perlu memberikan kesempatan pada sektor formal, kalau kita kerja di restoran kan gajinya berbasis mereka yang kerja di restoran.
Ini harus kita akomodasi. Semua sektor kerja harus diakomodasi," tutur dia.
Ratusan buruh berunjuk rasa di kawasan Jatiuwung, Kota Tangerang, Banten, Senin (5/10/2020). Dalam aksinya mereka menolak omnibus law dan mengancam akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020.
Sebelumnya, pemerintah tengah mengkaji sejumlah aturan terkait ketenagakerjaan seperti fleksibilitas jam kerja hingga proses rekrutmen maupun PHK.
Hal itu akan diatur dalam RUU Omnibus Law. Salah satu yang tengah dikaji yakni sistem upah berdasarkan jam.
Saat ini dengan skema gaji tetap, pekerja yang masuk dengan jumlah hari yang berbeda tetap mendapatkan gaji yang sama.
Sementara dengan upah per jam, upah yang diterima diterima pekerja sesuai dengan jam kerja.
Skema pengupahan per jam sebenarnya sudah lumrah dilakukan di negara-negara maju.
Pengunjuk rasa yang berasal dari buruh, mahasiswa, dan pelajar terlibat bentrok dengan polisi saat unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Jakarta, Kamis (8/10/2020). Mereka menuntut pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang dinilai memberatkan pekerja. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Sementara itu, Airlangga memastikan, pekerja biasa tetap mendapatkan gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP).
"Kalau gaji tetap UMP. Kalau pabrik tetap gaji bulanan. (Jadi) bukan (buat PNS dan buruh). Kalau pekerja rutin ya upahnya bulanan," tutur dia.
Kini, setelah demo besar-besaran di sejumlah kota di wilayah Indonesia, Presiden Joko Widodo menyebut banyak disinformasi dan hoaks yang membuat Undang-Undang Cipta Kerja mendapat penolakan masyarakat.
Salah satunya soal upah pekerja yang dibayarkan per jam. "Ada juga yang menyebutkan bahwa upah minimum dihitung per jam. Ini juga tidak benar," kata Jokowi dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Jumat (9/10/2020).
Kepala Negara menegaskan, tak ada perubahan dibandingkan pengupahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil," katanya.
Faktanya, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengatur upah dengan satuan hasil dan waktu.
Sementara, UU Cipta Kerja merevisi UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan pasal 88 B. Pasal 88 B ayat (1) menyebutkan, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan atau satuan hasil.
Lalu dalam pasal 88 B ayat (2) juga dijelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai upah satuan hasil dan waktu diatur dalam peraturan pemerintah.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal sebelumnya menilai penambahan pasal 88 B itu memungkinkan adanya pembayaran upah satuan waktu, yang bisa menjadi dasar pembayaran upah per jam.
"Di mana upah per jam yang dihitung per jam ini pernah disampaikan oleh Menteri Ketenagakerjaan, sebagaimana bisa kita telusuri kembali dari berbagai pemberitaan di media," katanya.
Presiden Jokowi menerima dua pemimpin serikat buruh ke Istana, yakni Presiden KSPI Said Iqbal beserta Presiden KSPSI Andi Gani.
Adapun permintaan buruh adalah menegaskan di dalam UU Cipta kerja, bahwa upah per jam tidak dibuka ruang untuk diberlakukan.
Pada Desember 2019, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pernah menjelaskan soal langkah Pemerintah yang menggodok skema upah per jam untuk mendukung fleksibilitas tenaga kerja.
Upah per jam tersebut diberikan bagi tenaga kerja yang berada di bawah ketentuan waktu kerja di Indonesia.
Waktu kerja dalam Undang Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebanyak 40 jam per minggu.
Di sisi lain, banyak profesi yang jam kerjanya di bawah 40 jam per pekan, sehingga dirasa perlu dibuat regulasi yang menjadi payung hukumnya.
"Di bawah 35 jam per minggu itu maka ada fleksibilitas itu. Nanti di bawah itu hitungannya per jam," ujar Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah seperti dikutip dari Kontan, Senin (29/12/2019).
Ida mengatakan aturan baru itu juga menjadi fleksibilitas bagi dunia usaha dan pekerja.
Pasalnya banyak sektor yang dinilai membutuhkan tenaga kerja dengan skema beberapa jam.
Rencana kebijakan tersebut pun, diakui Ida, telah dikomunikasikan dengan pelaku usaha dan serikat pekerja. Nantinya skema penghitungan upah per jam itu akan ditentukan.
"Pasti ada ketentuannya dong, ada formula penghitungannya," terang Ida.
Sementara itu, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, skema pembayaran upah per jam dalam RUU Cipta Lapangan Kerja hanya untuk pekerja jasa dan pekerja paruh waktu.
"Jadi itu salah terima. Kalau yang per jam itu misalnya konsultan yang dibayar per jam jadi lebih ke pekerja jasa atau pekerja paruh waktu," ujarnya.
"Misalnya kerja di restoran itu kan bisa digaji paruh waktu, jadi itu diakomodir di dalam UU berubah jadi gaji per jam," katanya lagi.
Airlangga menyebut, ada urgensi dari aturan gaji pekerja dalam RUU Cipta Kerja. Pemerintah ingin semua pekerja masuk ke sektor formal.
Namun selama ini pekerja masuk ke dalam 2 sektor yakni sektor formal dan informal.
"Kan kita perlu memberikan kesempatan pada sektor formal, kalau kita kerja di restoran kan gajinya berbasis mereka yang kerja di restoran.
Ini harus kita akomodasi. Semua sektor kerja harus diakomodasi," tutur dia.