Gedung Utama Kejaksaan Agung Terbakar Hebat, Tak Banyak yang Tahu Jaksa Agung Pernah Berkantor di Lapangan Banteng, Inilah Sejarahnya

Sabtu, 22 Agustus 2020 | 20:58
KOMPAS.COM/ BONFILIO PUTRA

Gedung Kejaksaan Agung di Jalan Sultan Hasanudin Dalam, No. 1, RT.011/RW.007, Kelurahan Kramat Pela, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan terbakar Sabtu (22/8/2020) malam.

Fotokita.net -Gedung utama Kejaksaan Agung, Jalan Hasanuddin Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Sabtu (22/8/2020) terbakar hebat. Tak banyak yang tahu, sebelum menempati gedung utama, Jaksa Agung pernah berkantor di Lapangan Banteng.

Pantauan Kompas.com di lokasi, kebakaran terjadi di gedung utama Kejaksaan Agung yang berada persis di balik gerbang utama korps Adhyaksa itu.

Api terlihat berkobar di sisi sebelah kanan gedung. Meski belasan mobil pemadam kebakaran mulai berdatangan, namun api terus membesar.

Bahkan, api hampir melalap habis empat lantai dari enam lantai gedung utama Kejaksaan Agung itu. Api mulai merambat ke arah gedung sebelah kiri.

Baca Juga: Sepi Job Karena Corona, Begini Cara Anton J-Rocks Sembunyikan Ganja di Rumah Hingga Lolos dari Mata Sang Istri

Belum diketahui pasti asal muasal kebakaran ini. Namun, gedung yang terbakar ini merupakan kantor Jaksa Agung dan para Jaksa Agung Muda.

Hingga berita ini ditulis, setidaknya sudah ada belasan mobil pemadam kebakaran yang ada di lokasi kebakaran. Upaya pemadaman masih terus dilakukan.

Baca Juga: Keji, Habisi Nyawa Satu Keluarga di Sukoharjo, Pelaku Berkawan Baik Hingga Punya Hubungan Bisnis dengan Korban

Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (gulkarmat) DKI Jakarta Satriadi Gunawan mengatakan, saat ini ada 23 mobil pemadam kebakaran yang turun ke lokasi terbakarnya Gedung Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Menurut Satriadi, pihaknya menerima informasi mengenai kebakaran di Gedung Kejaksaan Agung pada pukul 19.15 WIB.

"Terima informasi pukul 19.15 sekarang ada 23 unit mobil personel 120 orang (yang dikerahkan)," ucap Satriadi saat dikutip dari Kompas.TV, Sabtu (22/8/2020).

Saat ini, kata dia, seluruh mobil pemadam kebakaran dan para personel telah tiba di lokasi.

Baca Juga: Gelagapan Ladeni Nikita Mirzani Bahas Topik Sensual, Ivan Gunawan Malah Bentak Deddy Corbuzier Saat Ngobrol Soal Ini: Diem, Kampret Lu Orang!

Yang paling penting dilakukan saat ini adalah mengatasi agar api tidak merambat ke seluruh gedung Kejaksaan Agung.

"Kita perlu mengatasi perambatan kita lokalisir gedungnya. Info utama terbakar itu di lantau 6 san sekarang merambat ke lantai 3. Kita akan minimalisir perambatannya," ujarnya.

Sejarah gedung Kejaksaan Agung ini bisa kita simak melalui ulasan sejarah yang dipaparkan oleh tim redaksi Hukum Online lewat tautan ini.

Siapa yang tidak kenal dengan R Soeprapto. Priyayi keturunan Jawa ini didaulat sebagai Bapak Kejaksaan RI karena jasa-jasanya bagi Korps Adhyaksa.

Sebagai penghormatan, patung Soeprapto diletakkan di depan halaman gedung utama Kejaksaan Agung. Patung itu diresmikan Jaksa Agung Mayjen Soegih Arto pada 22 Juli 1969.

Bila menelusuri jalan setapak di depan gedung utama Kejaksaan Agung, kita akan menemukan patung Soeprapto terpatri kokoh dikelilingi taman.

Sepak terjang Soeprapto sebagai penegak hukum, membuatnya sempat dijuluki trio penegak hukum bersama Sukarjo Hatmojo dan Ating Natakusumah oleh masyarakat Pekalongan.

Baca Juga: Heboh Foto Daftar 50 Pekerjaan Haram, Banyak Profesi yang Tak DIsangka-sangka Ini Ikut Masuk List, Begini Respon Netizen

Namun, perjalanan karir Soeprapto sampai akhirnya diangkat menjadi Jaksa Agung tidak setenar perjalanan sejarah gedung Kejaksaan Agung.

Setahun sebelum meresmikan patung Soeprapto, Jaksa Agung Soegih Arto meresmikan pemakaian gedung Kejaksaan Agung di Jalan Sultan Hasanuddin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Gedung yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Jaksa Agung R Goenawan, 10 November 1961 ini diresmikan oleh Soegih Arto pada 22 Juli 1968.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa dulu Kejaksaan Agung pernah berkantor di bangunan tua peninggalan Belanda di Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4, Jakarta Pusat.

Ketika itu, Kejaksaan Agung masih berada satu atap dengan Mahkamah Agung (MA). Kejaksaan Agung mulai memisahkan diri sejak disahkannya UU No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan Pokok Kejaksaan.

Jaksa Agung keenam,R Goenawan dilantik menjadi Menteri Jaksa Agung mulai periode 1959 sampai 1962.

Meski dahulu Kejaksaan Agung berada satu atap dengan MA, bahkan pernah sama-sama di bawah Departemen Kehakiman, gedung Kejaksaan Agung tidak menyatu dengan MA.

Gedung Kejaksaan Agung berada di belakang gedung MA, di sebelah Kementerian Keuangan sekarang dengan posisi menghadap Jalan Budi Utomo.

Baca Juga: IPW Sengaja Bocorkan Reshuffle Menteri ke Media, 2 Anak Buah Jokowi Kompak Kirim Sinyal Begini, Ikut Tergeser?

Mantan Jaksa Agung Muda Pembinaan Marthen Pongrekun mengatakan, saat dirinya baru diangkat menjadi jaksa, tahun 1964, gedung Kejaksaan Agung masih berada di Lapangan Banteng Timur.

Gedung tersebut menjadi tempat bekerja Marthen bersama mantan Jaksa Agung Singgih yang waktu masih menjabat Kepala Bagian.

“Memang Mahkamah Agung di situ, tapi tidak satu kantor dengan Kejaksaan Agung. Gedung MA dulunya di sebelah gedung Kementerian Keuangan sekarang. Di belakangnya ada bangunan kecil, model lama dan antik. Kami berkantor di gedung itu,” kata Marthen kepada hukumonline.

Bangunan kecil yang dimaksud Marthen sekarang telah berganti menjadi Gedung Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan.

Baca Juga: Hati-hati! 4 Negara ASEAN Laporkan Infeksi Virus Corona yang 10 Kali Lebih Menular, Indonesia?

Marthen mengaku, gedung Kejaksaan Agung di Lapangan Banteng Timur hanya dihuni sekitar 20 jaksa. Jumlah jaksa masih sangat sedikit, sehingga gedung berukuran kecil tidak menjadi masalah.

Seiring dengan berjalannya waktu, pembangunan gedung Kejaksaan Agung di Kebayoran Baru mulai dirintis. Marthen sempat ditugaskan ke Palu sebelum meletusnya Gerakan 30 September pada tahun 1965. Departemen Kejaksaan telah berganti pimpinan, dari Goenawan menjadi Kadaroesman kemudian Soegih Arto.

Sebagaimana tercatat dalam buku “Potret 47 Tahun Kejaksaan RI”, Jaksa Agung ke-IX Soegih Arto dilantik di kantor Kejaksaan Agung Jalan Lapangan Banteng Timur oleh Wakil Perdana Menteri bidang Pertahanan dan Keamanan/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Pada masa kepemimpinannya, dimulailah era orde baru.

Kejaksaan banyak mengalami perubahan mendasar, baik menyangkut kedudukan lembaga, maupun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Soegih Arto memimpin langsung Departemen Kejaksaan dibantu tiga Deputi Menteri Jaksa Agung dalam bidang intelijen/operasi, pembinaan, dan pengawas umum/Inspektur Jenderal.

Pada tahun 1968, gedung di Lapangan Banteng Timur sudah tidak lagi difungsikan sebagai kantor Kejaksaan Agung. Departemen Kejaksaan di bawah pimpinan Menteri Jaksa Agung Soegih Arto telah berpindah kantor ke Jalan Sultan Hasanuddin No.1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan yang dibangun di atas tanah pemerintah.

Baca Juga: Air Ketubannya Sudah Pecah, Ibu Hamil Ini Alami Pendarahan Tapi Kata Petugas Harus Rapid Test, Ujungnya Berakhir Tragis

Marthen mengisahkan, saat kembali bertugas di Jakarta tahun 1968, gedung Kejaksaan Agung belum sebesar sekarang. Hanya terdapat satu gedung utama yang menjadi tempat kerja Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya. Kemudian, mulai dibangun gedung bidang Pengawasan, bagian rumah tangga, dan Poliklinik di belakang gedung utama.

“Tadinya, semuanya masih gabung semua di gedung depan. Makin lama makin bertambah pegawai dan jaksa, dibangunlah gedung bidang Pengawasan, Rumah Tangga, dan Poliklinik. Dulunya itu tanah kosong. Saya dengar dulu SMA 6 dan SMA 70 tanah dari Kejaksaan Agung, lalu dipersilakan untuk dibangun sekolah,” ujarnya.

Gedung bundar

Pada era kepemimpinan Jaksa Agung Soegih Arto dan Ali Said, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) masih tergabung dalam Jaksa Agung Muda Operasi (Jamops). Keduanya baru dipecah setelah tahun 1983 di era kepemimpinan Jaksa Agung ke-sebelas, Ismail Saleh.

Pada saat bersamaan, Ismail juga mengadakan Pusat Penelitian dan Pengembangan, Pusat Penyuluhan Hukum dan Pusat Operasi Intelijen.

Ismail Saleh mulai membangun kantor Jampidum yang terletak di belakang gedung Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). Pembangunan kantor Jampidum disusul dengan pembangunan gedung bundar yang nantinya difungsikan sebagai kantor Jampidsus. Gedung bundar dibangun di sisi kanan lapangan Kejaksaan Agung.

Baca Juga: Masih Ingat Nelayan Padang yang Nikahi Bule Cantik Perancis? Inilah Foto-foto Terkini Kehidupan Mereka

Sebelum gedung bundar selesai, Jampidsus sementara berkantor di sebuah rumah di Jalan Adityawarman No.6, Kebayoran Baru. Marthen menyatakan, pembangunan gedung berbentuk unik itu lebih dikarenakan ukuran tanah yang tidak terlalu luas. “Filosofinya tidak dijelaskan. Ada kemungkinan meniru bentuk stadion di Senayan,” tuturnya.

Setelah pembangunan selesai, Jampidsus Himawan bersama anggotanya pindah ke gedung bundar. Jaksa Agung ke-XII Hari Soeharto meresmikan pemakaian gedung Jampidsus dengan nama “Graha Andhika Anuwika” yang artinya Gedung Nan Indah tempat pemeriksaan dan penyelidikan di hari Bhakti Adhyaksa ke-24, 22 Juli 1984.

Bertepatan dengan itu pula, Hari Soeharto meresmikan prasasti di depan Kantor Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kejaksaan Agung di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Marthen menceritakan, saat menjalani pendidikan karir dua, di Pusdiklat hanya ada tiga barak kecil. Pembangunan dilakukan bertahap hingga menjadi seperti sekarang.

Jaksa Agung ke-14 Singgih membentuk dua jabatan baru. Singgih mengangkat Duyeh Suherman sebagai Wakil Jaksa Agung dan Soehadibroto sebagai Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) untuk pertama kalinya.

Baca Juga: Sudah Cek Saldo Rekening, Tapi Bantuan Rp 2,4 Juta Belum Masuk Rekening Kita, Cek Syarat dan Jadwal Pencairannya

Singgih membangun Pusara Adhyaksa di daerah Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat di atas lahan seluas 10.000 meter persegi.

Pusara ini diperuntukkan sebagai tempat pemakaman para jaksa, pegawai Kejaksaan, serta pensiunan Kejaksaan beserta keluarga yang meninggal dunia. Singgih meresmikan Pusara Adhyaksa pada 19 Juli 1997

Pembangunan lainnya juga telah dilakukan di komplek Kejaksaan Agung. Sekitar tahun 1990, di bagian samping gedung Jampidum dibuatkan Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung.

Kemudian, dibangun pula sejumlah jembatan penyambung yang menghubungkan Jamwas, bagian rumah tangga, Poliklinik, dan Jampidum.

Di belakang gedung Jamwas dibangun kantor Jamdatun. Berseberangan dengan lapangan Kejaksaan Agung, dahulu berdiri masjid yang sekarang dipugar menjadi gedung Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi. Di sebelahnya berdiri gedung Pusat Penyuluhan Hukum yang sekarang menjadi Pusat Penerangan Hukum.

Bangunan masjid yang sebelumnya berada di belakang lapangan Kejaksaan Agung dipindahkan ke sebelah Rutan dengan nama Masjid Baitul Adli pada masa kepemimpinan Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib. Marthen mengungkapkan, saat dirinya masih menjabat Jaksa Agung Muda Pembinaan, tidak banyak pembangunan yang dilakukan.

Baca Juga: Tangan Terkepal dalam Foto Hingga Sesumbar Berani Satu Penjara, Sosok Ini Sindir Telak Kelakuan Jerinx SID di Tahanan: Baru Disel, Cengeng Ternyata

“Hanya renovasi-renovasi saja dan terakhir sempat membangun masjid. Masjid yang sekarang itu dibangun ketika saya masih aktif, pada zaman Jaksa Agung Andi Ghalib. Itu tidak menggunakan APBN, tapi dari sumbangan-sumbangan masyarakat. Kemudian, saya pensiun akhir 1999, resminya tanggal 1 Januari 2000,” jelasnya.

Andi Galib akhirnya lengser dan dinonaktifkan sebagai Jaksa Agung oleh Presiden BJ Habibie pada 14 Juni 1999. Perkara korupsi yang melibatkan Soeharto serta kroni-kroninya mulai diungkap satu per satu.

Kepemimpinan negara pun beralih ke Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur mempercayakan posisi Jaksa Agung kepada Marzuki Darusman. Pada 27 Desember 1999, Marzuki membuka kembali penghentian penyidikan kasus Soeharto. Namun, perkara itu kandas karena Soeharto menderita penyakit permanen.

Pasca berakhirnya jabatan Marzuki, Gus Dur menunjuk Baharudin Lopa sebagai Jaksa Agung ke-XVIII. Lopa hanya menjabat selama satu bulan sebagai Jaksa Agung. Saat kunjungannya ke Arab Saudi, Lopa menderita sakit dan akhirnya meninggal. Gus Dur mengganti Lopa dengan Marsilam Simanjuntak pada 20 Juli 2001.

Marsilam juga tidak lama menjabat Jaksa Agung. Presiden Megawati Soekarno Putri melantik Mochammad Abdurrahman pada 15 Agustus 2001 untuk menggantikan Marsilam. Kemudian, pada 21 Oktober 2004, Abdul Rahmah Saleh ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menggantikan Mohammad Abdurrahman.

Setelah menjabat selama 2,5 tahun sebagai Jaksa Agung, Presiden SBY memberhentikan Abdul Rahman Saleh dengan hormat. Hendarman Supandji ditunjuk sebagai Jaksa Agung pada 9 Mei 2007. Pada 13 Desember 2010, Hendarman memulai pembangunan Adhyaksa Loka di Ceger, Jakarta Timur di atas lahan seluas 79.656 meter persegi.

Baca Juga: Foto Nikah Siri Umi Pipik yang Bocor Jadi Gosip, Adik Uje Ungkap Kondisi yang Sebenarnya Terjadi: Ya, Manusiawi Lah

Pembangunan Adhyaksa Loka selesai akhir 2012 dengan menelan biaya hingga Rp528,254 miliar. Di sana terdapat sejumlah fasilitas, seperti pusat pendidikan pembentukan jaksa yang dilengkapi asrama, tempat peribadatan,sport center, Plaza Adhyaksa, Monumen Nurani Adhyaksa, rumah sakit, Puri Adhyaksa beserta auditorium,disaster recovery center,dan Wana Adhyaksa (hutan kota).

Marthen mengatakan lahan yang digunakan untuk pembangunan Adhyaksa Loka adalah hasil rampasan. Hal ini juga sempat disampaikan Ketua Satgas Asset Recovery dan Kepala Bagian Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung, Chuck Suryo Sumpeno kepada Presiden SBY sebelum menggelar rapat terbatas di Kejaksaan Agung, 25 Juli 2012.

Saat menjelaskan maket gedung Adhyaksa Loka di hadapan Presiden SBY, Chuck menyatakan gedung tersebut dibangun di tanah hasil rampasan yang disita Kejaksaan dalam perkara Bob Hasan. MA menghukum Bob bersalah melakukan korupsi proyek pemotretan udara dan pemetaan areal penguasaan hutan oleh PT Mappindo Parama.

(Kompas.com/HukumOnline.com)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma