Fotokita.net - Amerika Serikat bersikeras menginginkan agar sengketa maritim antara China dan beberapa negara di Laut China Selatan dapat diselesaikan secara damai melalui arbitrase yang negeri uak Sam fasilitasi langsung.
Tapi, beberapa waktu lalu Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, menyatakan dengan tegas bahwa segala klaim maritim China di Laut China Selatan tidaklah sah dan benar-benar melanggar hukum internasional.
Dengan tegas, Pompeo mengatakan bahwa dunia tidak akan membiarkan China membangun 'kerajaan' maritim di Laut China Selatan.
China semakin meningkatkan sistem pertahanannya di Laut China Selatan di tengah banyaknyapenolakan negara-negara lain atas klaim China pada wilayah tersebut.
Pada Kamis (30/7/2020), China mengumumkan telah mengirim pesawat bomber jarak jauh ke wilayah tersebut dalam misi latihan udara.
Melansir Defense News, dalam latihan itu, juru bicara Kementerian Pertahanan Ren Guoqiang mengungkapkan, pesawat bomber akan melakukan semua proses penerbangan.
Mulai dari lepas landas, pendaratan di malam hari, serta simulasi serangan jarak jauh.
Pesawat yang ambil bagian dalam latihan tembak jarak jauh tersebut di antaranya adalah bomber H-6G dan H-6K.
Dua model pesawat ini adalah versi upgrade milik Angkatan Udara dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA).
Guoqiang mengatakan, latihan ini memang sudah militer China jadwalkan sebelumnya dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pilot beroperasi di berbagai kondisi.
Sayangnya, Guoqiang tidak menjelaskan, apakah pesawat bomber China tersebut menggunakan amunisi atau peluru hidup dalam latihan.

:quality(100)/photo/2020/07/06/3497075044.jpg)
China Menjiplak Desain Jet Tempur Ini dari Rusia
Pernyataan juru bicara Kementerian Pertahanan ini seolah menjauhkan rumor yang menyebutkan bahwa China sengaja melakukan latihan militer mendadak di tengah panasnya tensi di Laut China Selatan saat ini.
Belakangan, penolakan atas klaim wilayah China di Laut China Selatan juga semakin nyaring terdengar.
Yang terbaru, Malaysia bahkan dengan tegas memberi peringatan kepada China yang dianggap telah melanggar hukum laut UNCLOS.
Malaysia yang selama ini bersikap cukup tenang mendadak memberi respons tegas, setelah China mengatakan, negeri jiran tidak memiliki hak kedaulatan atas sejumlah wilayah di Laut China Selatan.
Sang musuh bebuyutan, Amerika Serikat (AS) juga untuk pertama kalinya menolak klaim China secara langsung.
Pernyataan AS ini membuat Beijing geram dan menuduh Washington sengaja menciptakan perselisihan antara China dan negara tetangganya.
Ketika sebagian besar orang di kawasan Asia Pasifik fokus pada Covid-19 dan Laut China Selatan, sekelompok teroris justru bertindak semakin beringas tanpa ada perlawanan berarti.
Aksi sekelompok teroris yang dikenal kejam dan tak segan memenggal kepala korbannya ini diketahui meningkat dua kali lipat dalam beberapa bulan terakhir.
Banyak yang menduga pemicunya adalah semakin lengahnya para petugas yang menjaga keamanan laut di kawasan Asia Pasifik.
Selain karena tersedot oleh konflik di Laut China Selatan, perhatian dan dana pertahanan kebanyakan negara Asia Pasifik juga teralihkan untuk penanganan waban Covid-19.
Bergerak Senyap di Antara Hiruk Pikuk Konflik Laut China Selatan, Kelompok Teroris yang Tak Segan Penggal Kepala Korbannya Ini Kini Kian Beringas di Laut Asia Pasifik
Ya, seperti kita ketahui, wabah Covid-19 memaksa WHO mengeluarkan status pandemi pada bulan Maret lalu.
Merebaknya penyakit ini mulai menunjukkan bahwa masalah kesehatan punya kaitan yang erat pada aspek sosial dan politik.
Kondisi maritim di kawasan Asia Pasifik jadi jadi salah satu yang terdampak.
Wilayah strategis ini sekarang menghadapi banyak tantangan di tengah banyaknya insiden di wilayah perairan.
Hal ini membuat banyak negara di wilayah ini cukup kesulitan dalam membagi fokus antara menyelesaikan masalah kesehatan akibat Covid-19 dan masalah kedaulatan wilayah di Laut China Selatan.
Dikutip dari The Strategist, pusat informasi Regional Cooperation Agreement on Combating Piracy and Armed Robbery against Ships in Asia (ReCAAP) melaporkan adanya peningkatan jumlah insiden perampokan dan pembajakan kapal laut pada periode Januari-Juni 2020. Jumlahnya bahkan dua kali lipat lebih banyak dari periode yang sama di tahun 2019.
Pasukan keamanan seperti Eastern Sabah Security Command juga memberi peringatan tentang meningkatnya risiko kelompok teroris Abu Sayyaf untuk menargetkan kapal-kapal yang berlayar di laut Sulu dan Sulawesi.
Sementara tantangan maritim ini menuntut respons keamanan secepat mungkin, negara-negara di Asia Pasifik justru disibukkan dengan upaya memerangi Covid-19 di wilayah masing-masing.
Dengan mengerahkan lebih banyak sumber daya ke pengendalian Covid-19, banyak negara yang terpaksa memangkas anggaran dari sektor lain, termasuk pertahanan.
Sebagai contoh, dikutip dari The Strategist, anggaran pertahanan Indonesia telah diturunkan sebesar 7% dan Thailand diturunkan hingga 8%.
Asyura Salleh, Vasey Fellow di Pacific Forum dan penasihat keamanan maritim di Yokosuka Council juga menjelaskan beberapa upaya lain yang diambil sejumlah negara untuk merespon tantangan domestik maupun eksternal.
Malaysia menerapkan 'Ops Benteng' yang terintegrasi untuk meningkatkan penegakan hukum di sepanjang batas laut dan darat.
Di Filipina, RUU kontroversial yang dirancang untuk memperkuat upaya kontraterorisme negara akhirnya mulai diberlakukan sejak 18 Juli lalu.
Bergerak Senyap di Antara Hiruk Pikuk Konflik Laut China Selatan, Kelompok Teroris yang Tak Segan Penggal Kepala Korbannya Ini Kini Kian Beringas di Laut Asia Pasifik
Latihan angkatan laut gabungan Southeast Asia Cooperation and Training (SEACAT) juga merubah prosedur pelaksanaannya melalui virtual.
Meskipun menghadapi banyak batasan, tapi program SEACAT tetap berusaha untuk saling berbagi informasi dan koordinasi multilateral di antara pasukan angkatan laut yang ada di wilayah Asia Tenggara.
Secara tidak langsung Covid-19 telah memberikan tekanan yang cukup kuat pada kestabilan politik dan sosial negara-negara Asia Pasifik.
Periode pandemi yang sangat panjang juga mengancam stabilitas anggaran nasional sekaligus menggoyang kemampuan mereka dalam melindungi zona ekonomi eksklusif.
Pada akhirnya Covid-19 bukan lagi sekadar masalah kesehatan, tetapi juga menjadi masalah maritim yang sangat serius.
Artikel ini sudah tayang di kontan.co.id dengan judul "Covid-19 membuat keadaan maritim Asia Pasifik jadi semakin rawan".