Fotokita.net - Sastrawan legendaris Tanah Air, Sapardi Djoko Damonomenghembuskan nafas terakhirnya di usia 80 tahun pada pukul 09.17 WIB, Minggu (19/7) pagi.
Tentu saja, kabar duka ini mengejutkan para penggemar sastra Indonesia.
"Sugeng tindak, Penyair 'Hujan Bulan Juni' Sapardi Djoko Damono. Semoga husnul khatimah," ujar Akhmad Sahal, Pengurus Cabang Istimewa NU di Amerika, melalui akun Twitter @sahaL_AS.
Pemimpin Redaksi Tempo juga mengucapkan salam perpisahannya. "Selamat jaln penyair rendah hati: Sapardi Djoko Damono," tuturnya lewat akun @arifz_tempo.
Berdasarkan informasi Almamater Universitas Indonesia (UI), almarhum meninggal dunia di Rumah Sakit Eka BSD.
Almarhum sebelumnya dirawat di rumah sakit karena menurunnya fungsi organ tubuh.
Sapardi Djoko Damono adalah seorang penyair, dosen, pengamat sastra, kritikus sastra dan pakar sastra.
Ia lahir di Surakarta pada 20 Maret 1940, putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian.
Di ranah sastra Indonesia, Sapardi Djoko Damono mempunyai peran penting. Dalam Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an.
Dalam Sastra Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960.
Terlihat perkembangan jelas dalam puisi Sapardi terutama dalam hal susunan formal puisi-puisinya. Ia dianggap sebagai penyair yang orisinil dan kreatif.
Seperti diberitakan Kompas.com (28/4/2020), puisi Sapardi Djoko Damono banyak dikagumi karena banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat yang disebut simbolisme sejak akhir abad ke-19.
Ungkapan duka mendalam Najwa Shihab untuk Sapardi Djoko Damono yang tutup usia.
Karya-karya Sapardi:
Beberapa karya Sapardi Djoko Damono antara lain
- Duka-Mu Abadi (1969),
- Mata Pisau (1974),
- Perahu Kertas (1983),
- Sihir Hujan (1984),
- Hujan Bulan Juni (1994),
- Arloji (1998).
- Ayat-ayat Api (2000),
- Mata Jendela (2000),
- Ada Berita Apa Hari Ini,
- Den Sastro (2003),
- kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001),
- dan kumpulan sajak Kolam (2009).
Sastrawan Sapardi Djoko Damono meninggal dunia di usia 80 tahun.
Buku-buku karya Sapardi Djoko Damono yaitu Sosiologi Sastra:
- Sebuah Pengantar Ringkas (1978),
- Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979),
- Kesusasteraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1999),
- Novel Jawa 1950-an: Telaah Fungsi, Isi dan Struktur (1996),
- Politik, Ideologi dan Sastra Hibrida (1999),
- Sihir Rendra: Permainan Makna (1999),
- dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah Catatan (2004).
- Sapardi juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam Bahasa Indonesia.
Perjalanan sastra sang maestro
Setelah lulus SMA, Sapardi kuliah di Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pernah memperdalam kajian kemanusiaan (humanities) di University of Hawaii, Amerika Serikat (1970-1971).
Pada 1980, Sapardi Djoko Damono memperoleh gelar doktor dalam ilmu sastra dengan disertasi berjudul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur.
Pada 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia.
Selain mengajar sebagai dosen di beberapa kampus di Indonesia, Sapardi Djoko Damono aktif dalam berbagai lembaga seni dan sastra pada 1970-1980an.
Antara lain sebagai Direktur Pelaksana Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973), Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987) dan lain-lain.
Pada 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi profesi kesastraan di Indonesia.
Ia mendirikan organisasi bernama Himpunan Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988. Ia terpilih sebagai Ketua Umum Hiski Pusat selama tiga periode.
Selain aktif di dunia sastra dalam negeri, Sapardi Djoko Damono juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional.
Seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda (1971), Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia National University Canberra, dan lainnya.
Penghargaan yang diterima
Sapardi telah menerima berbagai penghargaan dan hadiah sastra dari dalam dan luar negeri.
Pada 1963 Sapardi mendapat Hadiah Majalah Basis atas puisi Ballada Matinya Seorang Pemberontak.
Pada 1978 ia menerima Cultural Award dari pemerintah Australia. Pada 1983, ia memperoleh hadiah Anugerah Puisi-Puisi Putera II atas bukunya Sihir Hujan dari Malaysia.
Pada 1984 Dewan Kesenian Jakarta memberi penghargaan atas buku Perahu Kertas. Mataram Award diterima Sapardi pada 1985.
Hadiah SEA Write Award (Hadiah Sastra Asean) dari Thailand diterima pada 1986.
Sapardi meraih Anugerah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1990.
Kalyana Kretya dari Menristek RI diraih pada 1996. Pada 2003, ia mendapat penghargaan Achmad Bakrie Award for Literature.
Disusul Khatulistiwa Award pada 2004. Penghargaan dari Akademi Jakarta diraih pada 2012.
Berikut salah satu puisi Sapardi yang terkenal:
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
1989
Mungkin10 tahun yang lalu puisi karya Sapardi Djoko Damono ini hanya mentok di meja mahasiswa jurusan sastra.
Seiring perkembangan zaman, puisi tersebut kini menjelma menjadi “ayat-ayat cinta” yang kerap dipakai anak-anak milenial untuk menggombali kekasih.
Diksinya yang sederhana sehingga maknanya relatif mudah dimengerti membuat puisi ini menjadi sangat “hits” di kalangan anak muda.
Maraknya gombalan anak milenial dengan memakai puisi "Aku Ingin" ditanggapi santai oleh sang penyairSapardi Djoko Damono.
Seperti dikutip dari Liputan6.com beberapa waktu lalu, Sapardi mengatakan, bukankah saat ini banyak orang bahkan menggunakan kutipan ayat-ayat kitab suci untuk menggombali orang?
Karya sastra, khususnya puisi, tidak perlu diberi jarak dengan orang-orang.
Puisi, menurut dia, adalah hasil karya manusia yang biasa saja, sama dengan yang dihasilkan orang-orang kreatif lainnya.
“Anggapan puisi sebagai suatu yang adiluhung bagi saya merupakan anggapan yang mengerikan sekali. Anggapan yang penuh kata-kata kosong begitu bagi saya malah merendahkan atau bahkan meledek puisi,” kata Sapardi.
(Kompas.com/Liputan6.Com)