Fotokita.net -Saat ini hubungan antara China dan Amerika Serikat seperti tarik ulur. Mulai dari kerja sama dagang yang panas dingin, hingga urusan penguasaan teritorial di perairan Laut China Selatan yang bisa memicu perang dunia.
Meski masih tertinggal dibanding negara adidaya itu, China terus menggenjot kekuatan militer mereka agar dapat bersaing dengan Amerika. Terlebih lagi, pelan tapi pasti, kekuatan ekonomi China terus unjuk gigi.
Wabah virus corona memang seperti menahan laju pertumbuhan ekonomi China. Tapi, pandemi Covid-19 seperti tak bisa menahan gairah China untuk menguasai perairan Laut China Selatan meski dapat kecaman dari negara-negara tetangganya.
Baru-baru ini, sebuah lembaga bernama IISS memperkirakan, setidaknya Negeri Tirai Bambu itu punya lebih dari2.200 rudal balistik dan jelajah.
Tak main-main, rudal balistik dan jelajah itu punya jangkauan mulai dari 500 hingga 5.500 kilometer.
Perkiraan ini tertuang dalam laporan penilaian keamanan kawasan Asia-Pasifik tahunan yang IISS terbitkan pada Jumat (5/6/2020).
Semuanya dibahas dalam bab bertajuk "Akhir dari Perjanjian Jangka Menengah Jangkauan Nuklir: Implikasinya untuk Asia".
Mengutip Defense News, lembaga think thank itu merilis laporan yang membahas topik keamanan regional, seperti hubungan China-Amerika Serikat (AS), Korea Utara, dan kebijakan Jepang.
Menurut IISS, ribuan rudal jarak pendek dan menengah China itu adalah aset penting dalam memberikan tekanan kepada Taiwan.
Kita semua tahu, bagi China, wilayah yang juga disebut sebagai China Taipei itu dianggap sebagai provinsi pembangkang.
China disebut memiliki ribuan rudal balistik dan jelajah dengan jangkauan 500 hingga 5.000 kilometer.
Meski begitu, China selalu menekankan, rudal balistik dan jelajah mereka hanya untuk tujuan defensif.
Rudal-rudal tersebut memberi China apa yang IISS gambarkan sebagai "keunggulan komparatif" di kawasan Asia-Pasifik.
Sehingga, kecil kemungkinan Tiongkok akan dengan sukarela menandatangani pakta kontrol senjata potensial.
Laporan IISS menyebutkan, AS mungkin mengerahkan rudal sejenis ke kawasan Asia-Pasifik untuk mengatasi ketidakseimbangan mereka dalam senjata itu dengan saingannya di wilayah tersebut.
Hanya saja, IISS mengingatkan, ada risiko dua kali lipat dalam pengerahan senjata-senjata semacam itu ke Asia-Pasifik.
"Memperburuk kekhawatiran China bahwa rudal akan diposisikan untuk digunakan melawannya, meningkatkan potensi respons dari China yang bisa mengarah pada siklus aksi-reaksi pengembangan dan penyebaran senjata dan berlanjutnya ketidakstabilan regional," sebut IISS.
AS kirim rudal pencegat ke Korea Selatan
AS juga dihadapkan dengan kesulitan mendasar, dengan sekutu dan mitra regional yang tidak mungkin menyetujui untuk menempatkan rudal semacam itu di wilayah mereka.
Sebagian karena khawatir China melakukan pembalasan diplomatik dan ekonomi.
Kendaraan peluncur rudal TAIAN TA580
Laporan IISS menyatakan, China menargetkan ekonomi Korea Selatan sebagai tanggapan dan ketidaksukaannya atas sistem pertahanan rudal AS di negeri ginseng pada 2017.
Pada akhir bulan lalu, AS mengirim rudal pencegat baru ke pangkalan sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area (THAAD) mereka di Korea Selatan, yang meningkatkan ketegangan dengan China.
Sebab, Beijing sejak dulu tegas menentang sistem pertahanan rudal AS di Korea Selatan tersebut.
Meski, Seoul dan Washington selalu menekankan, sistem ini hanya untuk mengatasi ancaman rudal yang semakin meningkat dari Korea Utara.
Mengutip kantor berita Yonhap, Kementerian Pertahanan Korea Selatan mengatakan, pengiriman rudal pencegat baru ke pangkalan AS yang terletak di Kota Seongju itu untuk menggantikan rudal yang lama.
Seorang pejabat Kementerian Pertahanan Korea Selatan memastikan, tidak ada peluncur tambahan yang dikirim ke pangkalan.
Pasukan Amerika Serikat Korea Selatan (USFK) telah mengoperasikan enam peluncur rudal pencegat THAAD di Seongju sejak 2017 lalu.
USFK dalam pernyataan yang dikirim ke Yonhap menyatakan, langkah itu adalah untuk mempertahankan tingkat kesiapan "bertempur" yang tinggi, dan memberikan postur pertahanan gabungan yang kuat untuk melindungi Korea Selatan terhadap segala ancaman atau musuh.
Merespons pengiriman rudal pencegat itu, mengutip Reuters, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan, Tiongkok mendesak AS untuk tidak merusak hubungan bilateral antara Beijing dan Seoul.
Menurut Zhao, Beijing dan Seoul telah mencapai konsensus yang jelas tentang resolusi bertahap untuk rudal pencegat THAAD, dan berharap Korea selatan mematuhi perjanjian tersebut.
Beijing ingin kuasai jalur sengketa Pratas, Paracel, & Spratly
Situasi di Laut China Selatan semakin memanas beberapa waktu terakhir.
China meningkatkan patroli dan penjagaannya atas sejumlah wilayah yang disengketakan.
Sementara, negara-negara tetangga juga merespon dengan hal yang sama.
Orang dalam militer China membocorkan, Beijing telah membuat rencana untuk zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ) di Laut China Selatan sejak tahun 2010.
Ini merupakan tahun yang sama di mana China juga mempertimbangkan untuk pengenalan kontrol wilayah udara yang sama di Laut China Timur.
Salah satu pulau di Kepulauan Spartly di Laut China Selatan
Langkah ini menuai banyak dikritik di seluruh dunia.
Seorang sumber South China Morning Post yang merupakan anggota Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) membocorkan, ADIZ yang diusulkan meliputi rantai pulau Pratas, Paracel, dan Spratly di jalur air yang disengketakan.
Rencana untuk zona itu sama tuanya dengan rencana untuk Laut China Timur ADIZ - yang menurut Beijing sedang dipertimbangkan pada 2010 dan diperkenalkan pada 2013.
Dia menambahkan bahwa pemerintah China sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkannya.
Sementara Beijing mungkin enggan membicarakan hal ini, kementerian pertahanan Taiwan mengatakan pada 4 Mei bahwa mereka mengetahui rencana daratan.
South China Morning Post memberitakan, zona identifikasi pertahanan udara adalah wilayah udara di atas wilayah tanah atau air yang tidak perlu dipersoalkan di mana pemantauan dan pengendalian pesawat udara dilakukan untuk kepentingan keamanan nasional.
Sementara banyak negara memilikinya, konsep ini tidak didefinisikan atau diatur oleh perjanjian atau badan internasional mana pun.
Pengamat militer mengatakan, pengumuman ADIZ kedua China akan menambah ketegangan dengan Amerika Serikat dan dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada hubungannya dengan negara tetangga di Asia Tenggara.
Lu Li-Shih, mantan instruktur di Akademi Angkatan Laut Taiwan di Kaohsiung, mengatakan bahwa pembangunan dan pengembangan pulau-pulau buatan yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir adalah bagian dari rencana ADIZ Beijing.
Khususnya landasan terbang dan sistem radar yang dibangun di atasFiery Cross, Subi dan terumbu Mischief.
Giliran Taiwan Perlihatkan Taringnya, Tembakan Rudal Anti Pesawat Agar Militer China Paham Arti Menjaga Kedaulatan
"Gambar satelit terbaru menunjukkan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat telah mengerahkan pesawat peringatan dini dan kontrol udara KJ-500 dan pesawat patroli anti-kapal selam KQ-200 di Fiery Cross Reef," katanya.
Dia merujuk pada gambar yang diambil oleh ImageSat International Israel dan Inisiatif Transparansi Maritim Asia di Pusat Kajian Strategis dan Internasional (CSIS).
CSIS sendiri merupakan sebuah lembaga think tank yang berbasis di Washington, Amerika Serikat.
Selain itu, lanjut Lu, adanya pembangunan fasilitas ber-AC di atas terumbu, menunjukkan bahwa jet tempur - yang perlu dilindungi dari suhu tinggi, kelembaban dan salinitas di wilayah itu - juga akan segera dikerahkan di sana.
"Begitu jet tempur PLA tiba, mereka dapat bergabung dengan pesawat peringatan dini dan anti-kapal selam dalam melakukan operasi patroli ADIZ."
Li Jie, seorang pakar angkatan laut yang berbasis di Beijing dan pensiunan kolonel senior PLA, mengatakan bahwa negara-negara biasanya menunggu untuk mengumumkan pembentukan ADIZ sampai mereka memiliki peralatan pendeteksi yang diperlukan, kemampuan tempur dan infrastruktur lain yang tersedia untuk mengelolanya.
Tetapi jika ada waktu yang tepat, Beijing mungkin akan membuat pengumuman lebih cepat, katanya.
"Beijing mengumumkan ADIZ di Laut China Timur meskipun PLA masih tidak mampu mendeteksi, melacak dan mengeluarkan pesawat asing yang mengganggu," katanya.
Sumber militer China lainnya, yang berbicara dengan syarat anonim karena sensitivitas masalah ini, mengatakan, selain masalah kesiapsiagaan, Beijing sadar bahwa Laut China Selatan jauh lebih besar daripada Laut Cina Timur.
Dan karenanya akan membutuhkan sumber daya yang jauh untuk berpatroli.
"Beijing terlihat ragu-ragu untuk mengumumkan ADIZ di Laut China Selatan karena sejumlah pertimbangan teknis, politik dan diplomatik," katanya.
"Tetapi masalah yang paling praktis adalah PLA di masa lalu tidak memiliki kemampuan untuk mengacak jet tempurnya untuk mengusir pesawat asing yang mengganggu di Laut China Selatan, yang luasnya beberapa kali ukuran Laut China Timur, dan biaya untuk mendukung ADIZ akan sangat besar."
China memang boleh saja memiliki 2.200 rudal balistik.
Namun, 95 persen senjata itu bisa lenyap seketika bila sebuah perjanjian ditandatangani Tiongkok.
Yakni, perjanjian senjata strategis baru.
Hal itu merupakanhasil analisis yang dirilis Lembaga Penelitian Strategis Internasional (IISS).
Analisis bertajuk Akhir dari Perjanjian Jangka Menengah Jangkauan Nuklir: Implikasinya untuk Asia adalah salah satu bab dari penilaian keamanan regional Asia-Pasifik tahunan yang IISS terbitkan.
Mengutip Defense News, laporan tersebut lembaga think thank itu rilis Jumat (5/6) lalu dan membahas topik keamanan regional, seperti hubungan China-Amerika Serikat (AS), Korea Utara, dan kebijakan Jepang.
China bisa kehilangan 95% persediaan rudal balistik dan jelajahnya kalau meneken kesepakatan yang mirip dengan Perjanjian Kekuatan Nuklir Jangka Menengah (INF), menurut Douglas Barrie, Michael Elleman, dan Meia Nouwens, penulis analisis tersebut.
Perjanjian yang ditandatangani AS dan Uni Soviet pada 1987 itu melarang semua sistem rudal balistik yang diluncurkan dengan jangkauan 500-5.500 kilometer.
AS menarik diri dari Perjanjian INF pada Agustus 2019, menyusul pelanggaran Rusia terhadap kesepakatan dengan melakukan pengembangan dan peluncuran rudal 9M279, meski Moskow membantah itu melanggar batasan jangkauan.
Namun, laporan IISS menyebutkan, penarikan AS juga ada kaitannya dengan persenjataan rudal China, yang berkembang menjadi apa yang diyakini sebagai persediaan rudal balistikjarak pendek dan menengah terbesar di dunia.
IISS memperkirakan, Chinamemiliki lebih dari 2.200 rudal yang termasuk dalam pembatasan Perjanjian INF.
Rudal jarak pendek dan menengah ini adalah aset penting dalam memberikan tekanan kepada Taiwan, yang Chinaanggap sebagai provinsi pembangkang dan berjanji untuk menyatukan kembali dengan Tiongkok, dengan kekerasan jika perlu.
Meski begitu, China selalu menekankan, rudal balistik dan jelajah hanya untuk tujuan defensif.
Rudal-rudal tersebut memberi China apa yang IISS gambarkan sebagai "keunggulan komparatif" di kawasan Asia-Pasifik, sehingga kecil kemungkinan Tiongkok akan dengan sukarela menandatangani pakta kontrol senjata potensial seperti Perjanjian INF.
Laporan IISS menyebutkan, AS mungkin mengerahkan rudal tersebut ke kawasan Asia-Pasifik untuk mengatasi ketidakseimbangan mereka dalam senjata itu dengan saingannya.
Hanya, IISS mengingatkan, ada risiko dua kali lipat dalam pengerahan senjata-senjata semacam itu ke Asia-Pasifik.
"Memperburuk kekhawatiran China bahwa rudal akan diposisikan untuk digunakan melawannya, meningkatkan potensi respons dari China yang bisa mengarah pada siklus aksi-reaksi pengembangan dan penyebaran senjata dan berlanjutnya ketidakstabilan regional," sebut IISS.
AS juga dihadapkan dengan kesulitan mendasar, dengan sekutu dan mitra regional yang tidak mungkin menyetujui untuk menempatkan rudal semacam itu di wilayah mereka. Sebagian karena khawatir China melakukan pembalasan diplomatik dan ekonomi.
Laporan IISS menyatakan, China menargetkan ekonomi Korea Selatan sebagai tanggapan dan ketidaksukaannya atas sistem pertahanan rudal AS di negeri ginseng pada tahun 2017.
(Tribunnews.com/Kontan.co.id)