Fotokita.net - Ada yang berbeda dengan aksi mahasiswa turun ke jalan pada era kekinian sekarang ini. Gaya penyampaian kegelisahan mahasiswa kekinian sangat berbeda dengan para pendahulu mereka saat demo besar-besaran pada 1998.
Tentu saja, Foto-foto mahasiswa yang demo sambil mengusung spanduk dengan tulisan nyeleneh jadi viral di media sosial.
Sejumlah mahasiswa kedapatan memegang spanduk berisi tulisan menggelitik yang mengundang perhatian. Kata-kata dalam spanduk itu nyeleneh, namun mengena dengan apa yang mau mereka sampaikan.
Foto-foto itu jadi hal yang menarik dalam aksi demonstrasi mahasiswa sejak Senin (23/9/2019) hingga Selasa (24/9/2019).
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berjalan kaki sambil membawa poster saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019).
Tiga hari terakhir, media massa dihujani pesan-pesan menggelitik dari peserta unjuk rasa mahasiswa di sejumlah kota di Tanah Air. Gelombang ”panas” penolakan sejumlah revisi undang-undang diwarnai poster-poster pesan menggelitik, mengundang senyum atau tawa berderai.
Selasa (24/9/2019), awan mendung memayungi ribuan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Bandung di depan Kantor DPRD Jawa Barat. Suara mereka lantang. Di antara tajamnya kritik lewat kata, hadir poster bertuliskan kalimat satire, menyindir penguasa.
”Aku kira yang lemah cuma hatiku. Ternyata KPK juga”. Ditulis dengan spidol biru di atas kertas karton putih, pesan yang dibentang Fajar (20) itu mencolok. Poster ini mengkritik revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai bermasalah karena melemahkan KPK.
Ribuan mahasiswa mengikuti aksi #GejayanMemanggil di Simpang Tiga Colombo, Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23/9/2019). Dalam aksi demonstrasi yang diikuti oleh ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta itu, mereka menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan kor
”Kami kritik dengan kalimat lucu karena alasan merevisi UU KPK juga lucu. Rakyat menunggu kasus-kasus korupsi terus dibongkar, KPK justru dilemahkan,” ujar mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN) Bandung itu. Ia datang bersama 150 mahasiswa dari kampusnya.
Ada lagi, ”Ayam bapakku salah apa? RKUHP Pasal 278”. Pasal itu mengatur setiap orang yang membiarkan unggasnya berjalan di tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan denda paling banyak kategori II.
Berbagai ekspresi aspirasi disampaikan mahasiswa yang berunjuk rasa di sekitar gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Selasa (24/9/2019).
Selain menyoroti revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat Negara (Alarm) itu juga meminta pembahasan ulang RUU Pemasyarakatan dan RUU Pertanahan serta mendesak agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) segera disahkan.
Di Jakarta, ekspresi lain terbentang melalui poster rombongan mahasiswa Universitas Indonesia. ”Akadku dan kamu aja yang sah. UU KPK jangan”.
Berbagai ekspresi aspirasi disampaikan mahasiswa yang berunjuk rasa di sekitar gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Selasa (24/9/2019).
Salah satu mahasiswa mengatakan, kata-kata dalam poster adalah cermin ketidakseriusan para anggota DPR. ”DPR, kan, tak pernah serius kerja. Hasil kebijakan mereka dinilai lucu. Jadi kami kritik juga dengan ekspresi lucu,” ujarnya.
Ekspresi unik juga tertuang dalam poster yang dibawa mahasiswa Unika Atma Jaya Jakarta. ”Cukup ortu kamu yang ganggu malam minggu. DPR jangan!”
Mahasiswa membawa poster saat mengikuti aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Aksi unjuk rasa menolak pengesahan RUU KUHP dan pencabutan UU KPK itu berakhir ricuh setelah polisi memuikul mundur peserta aksi dan membubarkannya. Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
Dari poster ini, mahasiswa ingin menyindir dan mengkritik anggota DPR. Rancangan KUHP dinilai terlalu mencampuri urusan pribadi dan menimbulkan ancaman serta ketidakadilan bagi rakyat kecil, khususnya kaum perempuan.
”Bagaimana dengan perempuan yang diperkosa terus memilih menggugurkan kandungan, terus kena penjara,” kata Cindy Larasati, mahasiswi semester akhir Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Hari itu, seharusnya ia bimbingan skripsi.
Semangat juang juga diserukan Dara Tanjung Maharani (20). Kedua tangannya diangkat tinggi sembari berteriak, ”DPR bangun, DPR bangun, DPR bangun.” Seketika posturnya yang mungil menjadi perhatian di tengah keramaian mahasiswa.
Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak mengikuti aksi unjuk rasa Gejayan Memanggil di Pertigaan Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (23//9/2019). Aksi unjuk rasa itu antara lain untuk mendesak Pemerintah melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam Rancangan Ki
”DPR Bangun! Kebanyakan Tidur Bikin RUU Kebawa Mimpi”. Itulah tulisan poster yang diangkatnya tinggi-tinggi. ”Anggota DPR terkenal sering tidur pas rapat. Mungkin saat buat RUU, merekangantuk. Jadi ngaco,” ucap Dara.
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Bakrie itu berpanas-panas bersama mahasiswa lain dari berbagai kampus dan kota untuk menyuarakan kegelisahan. Menurut dia, DPR sama sekali tak mendengarkan aspirasi rakyat.
”RUU PKS yang melindungi korban kekerasan seksual ditunda-tunda. Orang zinadiurusin, kayak situ (DPR)gakzina saja. Prioritasnya seperti apa?” katanya.
Massa aksi Bali Tidak Diam berkumpul di Parkir Timur Lapangan Renon, Denpasar, Selasa (24/9/2019)
Kritik jenaka juga muncul saat aksi ”Gejayan Memanggil” di Yogyakarta, Senin lalu. Penggalan lirik lagu Didi Kempot dicomot. ”Pak, opo salah rakyatmu iki?”. Dalam bahasa Jawa, kalimat itu ingin mempertanyakan kesalahan apa yang diperbuat rakyat.
Ada pula yang menulis surat izin di poster. ”Bu, kula pamit turun ke jalan. DPR’e pekok”. Mahasiswa pamit kepada ibunya turun ke jalan. Wakil rakyat dinilai tidak beres.
Mustofa Rahman (23), mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, mengatakan, kata-kata jenaka dariposter-poster tersebut menjadi cara mahasiswa menyampaikan aspirasi. ”Kami bergerak atas nama rakyat. Kami ingin rakyat bersimpati. Cara pendekatan yang bisa dilakukan adalah melalui humor,”tuturnya.
Ribuan mahassiswa dari berbagai kampus dan organisasi memenuhi jalan di sekitar gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Demonstrasi tersebut lanjutan dari aksi sebelumnya yang menolak revisi UU KPK, RKUHP, RUU Pertanahan, dan Minerba. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Kritik menggunakan kalimat satire menjadi warna baru pergerakan mahasiswa. Menurut Dekan Fakultas Komunikasi Universitas Islam Bandung Septiawan Santana Kurnia, hal itu tak lepas dari kultur yang berkembang di generasi milenial.
”Gaya mereka lebih santai dan ceria, tetapi bukan lemah. Gugatan mereka justru tajam lewat kritik dalam bentuk sindiran,” ujarnya.
Spanduk bernada sarkastik tampil dalam aksi demonstrasi mahasiswa di Gedung DPRD Provinsi Lampung, Selasa (24/9/2019). Aksi mahasiswa menghasilkan 14 kesepakatan dengan DPRD setempat.
Hal itu tak lepas dari kondisi sosial politik saat ini. Dia membandingkan dengan gerakan mahasiswa periode sebelumnya. Pada gerakan mahasiswa di zaman Orde Baru, misalnya, mahasiswa lebih agresif karena melawan pemerintah yang represif lewat kekuatan militer. ”Situasi berubah. Ini kemajuan kreativitas dalam menggugat sesuatu,” ujarnya.
Hari-hari penuh satire dalam dunia pergerakan hari ini sepertinya belum akan berakhir. Di tangan anak kekinian, kreativitas menjadi daya gedor yang mengena. (Kompas.id/TAM/SEM/IKI/GIO/DAN/FAI/AIN/NCA)