Fotokita.net - Pantas sengaja bikin onar di Pilpres AS, ternyata Donald Trump kirim misi rahasia pesawat pembom canggih ini ke dekat Korea Utara, ada apa?
Rumor Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berencana kembali maju pada pemilihan presiden (pilpres) 2024 semakin mengencang.
The New York Timespada Kamis (12/11/2020) memberitakan, walau tidak kunjung mengakui kekalahannya di tangan Joe Biden, Trump telah memberitahu para penasihatnya mengenai rencana setelah meninggalkan kursi kepresidenan.
Presiden berusia 74 tahun itu disebut akan mendeklarasikan pencalonannya setelah sertifikasi kemenangan Biden yang harus diselesaikan paling lambat 11 Desember.
Baca Juga: Disebut Yang Mulia, Donald Trump Bangga Kim Jong Un Bocorkan Cara Eksekusi Pamannya Sendiri
Sangat jarang bagi presiden AS yang kalah setelah satu periode untuk kembali maju.
Presiden terakhir yang melakukannya adalah Grover Clevelandyang menjabat dari 1885-1889 dan 1893-1897.
Sesuai jadwal, Electoral College atau Dewan Elektoral dijadwalkan akan bertemu pada 14 Desember untuk menetapkan Biden dan pendampingnya, Kamala Harris, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.
Sebelumnya Axiosawal pekan ini telah melaporkan mengenai persiapan Trump untuk kembali merebut Gedung Putih.
Apakah Trump akan maju atau tidak pada pilpres 2024 sangat krusial bagi belasan calon presiden (capres) lain Partai Republik.
Nama-nama seperti Wakil Presiden Mike Pence, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, mantan Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley, Senator Arkansas Tom Cotton, Senator Missouri Josh Hawley, Gubernur Florida Ron Desantis, dan Senator Florida Rick Scott dilaporkan telah mengambil ancang-ancang untuk maju.
Tidak ketinggalan bakal capres yang dikalahkan Trump pada nominasi pencapresan Republik 4 tahun lalu seperti Senator Florida Marco Rubio, Senator Texas Ted Cruz, dan mantan Gubernur Ohio John Kasich juga kembali mengincar Gedung Putih.
Namun rencana bakal capres ini termasuk persiapan penggalangan dana dan penyusunan tim kampanye berpotensi berantakan, jika Trump benar memutuskan maju.
Debat antara Donald Trump dan Joe Biden
Akan sangat sulit bagi bakal capres itu untuk menantang atau bahkan mengalahkan Trump.
Sangat besar kemungkinan nama-nama di atas memilih tidak maju dan melapangkan nominasi partai kepada Trump.
Taipan real estat ini memiliki kendali penuh atas aparatus politik Partai Republik.
Selama berkuasa, Trump telah mentransformasi ideologi partai berlambang gajah ini menjadi populis nasionalis kanan sesuai dengan gaya politiknya.
Dia juga menjadikan pemilih berkerah biru yang tidak berpendidikan universitas menjadi basis suara kuat Partai Republik. Blok pemilih ini sebelumnya loyal memilih capres Demokrat.
Selain itu, walau kalah Trump meraih hasil yang jauh lebih baik dari prediksi lembaga survei di mana dia tidak kalah telak di tangan Biden seperti yang diramalkan.
Total 72,6 juta suara nasional yang sejauh ini telah memilihnya akan menjadi modal politik besar.
Namun dengan Trump yang akan berusia 78 tahun pada pilpres selanjutnya, kondisi kesehatannya akan jadi salah satu faktor yang harus diperhatikan meski sejauh ini masih prima.
Salah satu penasihat memberitahu bahwa Trump tahu benar dia telah kalah dan realistis bahwa gugatannya tidak akan mengubah hasil pilpres.
Namun suami Melania Trump itu memilih tetap menggugat hasil pilpres di sejumlah negara bagian, melalui jalur pengadilan serta menghalangi transisi kepresidenan ke Biden.
Biden saat ini dalam posisi untuk memenangkan 306 electoral votes berbanding 232 yang diraih Trump.
Trump menghabiskan hari-hari setelah pilpres dengan berkicau melalui akun Twitternya bahwa dia pemenang sesungguhnya, dan terjadi kecurangan besar untuk mencegahnya kembali terpilih.
Penyelenggara pilpres Amerika telah menegaskan tidak ditemukan kecurangan seperti yang diklaim oleh Trump.
Trump berpotensi kembali berhadapan dengan Biden pada pemilu Amerika 2024 yang akan menjadi rematch pertama pilpres AS sejak pilpres 1956, antara Presiden Republikan Dwight Eisenhower dan Gubernur Illinois dari Partai Demokrat Adlai Stevenson.
Biden mengisyaratkan hanya akan menjabat satu periode karena dia akan berusia 82 tahun pada pilpres mendatang.
Akan tetapi jika Trump kembali menjadi capres Republik, akankah suami Jill Biden itu mengubah keputusannya?
Di tengah ketegangan dalam menanti hasil pemilu, AS telah mengerahkan pembom tempur B-1B ke pangkalan Misawa di dekat Korea Utara.
Militer AS bermaksud melakukan unjuk kekuatan dengan mengerahkan jet pembom untuk meredam potensi provokasi.
MelansirExpress.co.uk, Rabu (4/11/2020), militerASmengirimpesawat pembomB-1B kembali ke Laut Timur menjelang 3 November.
Pembom B-1B adalah pembom konvensional supersonik jarak jauh.
Pesawat pembomtersebut telah digunakan Angkatan Udara Amerika Serikat sejak 1985.
Operasi tersebut bertujuan untuk mencegah kemungkinan Korea Utara memanfaatkan gangguan yang disebabkan oleh pemilihan AS.
Ilustrasi Pembom Amerika
Pembom B-1B terlihat mendarat di pangkalan Misawa, Jepang, yang berada di seberang pangkalan Sinpo Korea Utara.
B-1B itu didampingi oleh Boeing EA-18G Growler, sebuah pesawatperang listrik.
Langkah militer AS tersebut ditafsirkan sebagai unjuk kekuatan untuk meredam provokasi dari Korea Utara.
Itu terjadi setelah Korea Utara menunjukkan kemampuan rudal baru selama parade militernya pada 10 Oktober.
Rudal baru itu mengejutkan, karena jauh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya, dan termasuk rudal balistik peluncur kapal selam berbahan bakar padat (SLBM) baru.
Korea Utara biasanya mengeluarkan sejumlah hinaan menjelang pemilihan umum AS.
Sebelumnya Korea Utara telah menghina kepala negara, memanggil anggota parlemen individu dan menyarankan pemilih AS untuk mendukung kandidat tertentu.
Menjelang pemilu 2016 lalu, media pemerintah Korea Utara memuji Donald Trump, menggambarkannya sebagai "politisi yang bijaksana" dan "kandidat yang berpandangan jauh ke depan".
Sebaliknya, editorial di DPRK Today menyebut kandidat dari Partai Demokrat Hillary Clinton sebagai "membosankan".
Analisis oleh lembaga pemikir nonpartisan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) menemukan bahwa Korea Utara melakukan tindakan provokatif rata-rata dalam 4,5 minggu sebelum atau setelah pemilihan paruh waktu atau pemilihan presiden dalam rentang waktu 64 tahun.
Studi tersebut mengamati hinaan yang dibuat oleh negara bagian Kim Jung-Un selama 32 pemilu sejak 1956.
Pesawat pembom B-1
Victor Cha, mantan pejabat tinggi Dewan Keamanan Nasional, mengomentari temuan tersebut, dan mengatakan Korea Utara melakukan provokasi untuk memperkuat posisi mereka sendiri.
Cha berkata: "Ini adalah taktik khas Korea Utara untuk mencoba bernegosiasi dengan posisi yang kuat.
"Dengan melakukan provokasi, mereka menempatkan diri pada posisi turun dari krisis."
Cha juga menduga Korea Utara akan lebih memilih kemenangan Trump dalam pemilihan presiden saat ini.
Dia berkata: "Saya yakin mereka menyukai Trump. Trump bertemu dengan pemimpin mereka tiga kali dan mengatakan hal-hal baik tentang pemimpin mereka.
"Dan mereka mungkin melihat Biden sebagai kelanjutan dari Presiden Barack Obama - dan mereka tidak menyukai pemerintahan itu."
(Kompas.com/IntisariOnline.com)