Fotokita.net - Soroti banyak salah ketik di UU Cipta Kerja yang terlanjur diteken presiden, mantan pengacara Jokowi sebut omnibus law bisa dibatalkan MK.
Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kesalahan pengetikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terjadi akibat proses pembentukannya yang tergesa-gesa, sehingga mengabaikan asas kecermatan.
Namun, menurut Yusril, UU tersebut sudah terlanjur ditandatangani Presiden Jokowi dan diundangkan dalam Lembaran Negara.
"Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11/2020).
Lantas, bagaimana cara memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut?
Baca Juga: UU Cipta Kerja Ditandatangani Jokowi, Siaran TV Ini Ikut Jadi Korban, Digantikan dengan TV Digital
Yusril mengatakan, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh karenanya, menurut Yusril, pemerintah dan DPR dapat melakukan rapat guna memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut.
"Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu," ujarnya.
Yusril mengatakan, setelah naskah UU Cipta Kerja diperbaiki, pemerintah harus mengumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan rujukan resmi.
"Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," ucapnya.
Lebih lanjut, Yusril mengatakan, adanya salah ketik dalam naskah UU yang telah disetujui presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah terjadi beberapa kali.
Namun, kesalahan ketik kali ini memang beda, karena kekeliruan itu baru diketahui setelah presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam Lembaran Negara.
:quality(100)/photo/2019/12/16/3437891544.jpg)
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Adapun berdasarkan penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Baca Juga: Bukan Hanya Jokowi, 6 Tokoh Indonesia Ini Juga Jadi Nama Jalan di Luar Negeri, Siapa Saja?
Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.
Yusril Ihza Mahendra dan Cucu
Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014.
Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.
Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.
Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4). Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendramengatakan Mahkamah Konstitusidapat membatalkan Undang-undang Cipta Kerjasecara keseluruhan.
Hal itu jikaprosedurpembentukanOmnibus Law bertentangan dengan ketentuan dalamUndang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam hal ini, iamengingatkankepada pemerintah dan DPR harus hati-hati serta argumentatif mempertahankan prosedur dalam proses pembentukan UU Ciptaker yang menggunakan cara omnibus itu.
"Saya katakan harus hati-hati dan benar-benar argumentatif karena jika prosedur pembentukan bertentangan dengan ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, maka MK bisa membatalkan UU Ciptaker ini secara keseluruhan, tanpa mempersoalkan lagi apakah materi yang diatur olehundang-undang ini bertentangan atau tidak dengan norma-norma UUD 1945," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11).
Ia menjelaskan dalam proses pembentukanundang-undang menggunakan metode omnibus, sangat mungkin akan mengubah undang-undang yang ada, disamping memberikan pengaturan baru terhadap sesuatu masalah.
Jika menggunakan landasan pemikiran yang kaku, kata dia, maka dengan mudah dapat dikatakan prosedur perubahan terhadap undang melalui pembentukan omnibus law adalah tidak sejalan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011.
"Tentu akan ada pandangan yang sebaliknya. Kita ingin menyimak seperti apa argumentasi pemerintah dan DPR di MK nanti dalam menjawab persoalan prosedur ini," ucap dia.
Selain uji formil terkait prosedur pembentukan UU Ciptaker yang menerapkan pola Omnibus, Yusril juga menyoroti soal uji materiil.
Dia mengatakan mengingat cakupan masalah dalam UU Ciptaker yang begitu luas,maka setiap pemohon akan fokus terhadap pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.
"Kita tentu ingin menyimak apa argumen para Pemohon dan apa pula argumen yang disampaikan Pemerintah dan DPR dalam menanggapi permohonan uji formil dan materil tersebut," ucap dia.