Fotokita.net - Saat ini sebagian besar wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau.
Dampak dari musim kemarau ini yakni terjadinya kekeringan seperti yang terlihat di sejumlah daerah. Di antaranya seperti yang dialami di Kabupaten Gunungkidul.
Mengutip Kompas.com (2/9/2020), setidaknya ada 129.788 jiwa terdampak kekeringan di Gunungkidul.
Selain itu, kekeringan juga dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT).
Bahkan seperti diberitakan Kompas.com (11/9/2020), warga Desa Done, Sikka harus mengonsumsi ubi hutan beracun akibat gagal panen lantaran kekeringan berkepanjangan melanda wilayah itu.
Lantas kapan musim kemarau 2020 akan berakhir?
Kepala Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG) Indra Gustari menjelaskan, berakhirnya musim kemarau atau awal musim hujan di wilayah Indonesia tidak terjadi secara bersamaan.
“Sebagian sudah masuk musim hujan seperti sebagian wilayah Sumatera bagian utara (Aceh bagian selatan dan Sumatera Utara bagian selatan).
Wilayah mulai memasuki musim hujan pada April lalu,” terangnya,Sabtu (19/9/2020).
Terkait dengan turunnya hujan di wilayah Jabodetabek, imbuhnya belum dapat diindikasikan daerah tersebut sudah memasuki musim penghujan.
Awal musim hujan
Akan tetapi pihaknya mengingatkan untuk beberapa wilayah di bagian tengah-timur Jawa, sebagian Bali dan Nusa Tenggara masih perlu mewaspadai adanya potensi kekeringan meteorologis.
Indra menegaskan, awal musim hujan di wilayah Pulau Jawa akan terjadi pada Oktober, namun sebagian lainnya terjadi diNovember dan Desember.
Puncak Kemarau, BMKG Imbau Warga Sumsel Waspadai Kondisi Kering
Sedangkan untuk Bali dan Nusa Tenggara diprediksi akan mulai musim hujan pada November-Desember.
Pihaknya menjelaskan suatu daerah dapat dikatakan sudah memasuki musim hujan saat wilayah itu telah mendapatkan hujan lebih dari 50 mm per dasarian dan diikuti dasarian-dasarian berikutnya.
Sementara musim kemarau belum berakhir sepenuhnya, banjir bandang menerjang beberapa wilayah di Sukabumi, Jawa Barat, Senin (21/9/2020) sekitar pukul 17.00 WIB.
Peristiwa tersebut terjadi saat sejumlah daerah di Sukabumi diguyur hujan dengan intensitas tinggi beberapa jam.
Hingga Selasa (22/9/2020), setidaknya 11 desa dan 11 kampung yang terdampak. Masing-masing yakni, Kecamatan Cicurug meliputi Desa Cisaat (Kampung Cipari), Pasawahan (Cibuntu), Cicurug (Aspol), Mekarsari (Kampung Nyangkowek dan Kampung Lio) dan Bangbayang (Perum Setia Budi).
Kecamatan Parungkuda meliputi Desa Langensari (Kampung Bojong Astana) dan Kompa (Bantar). Kecamatan Cidahu yakni Desa Babakanpari (Kamping Bojong Astana), Podokkaso Tengah (Bantar), Jayabakti (Cibojong) dan Cidahu.
Selain itu, 133 kepala keluarga (KK) atau 431 jiwa terdampak banjir bandang.
Sejumlah warga mengungsi ke tempat saudara dan tetangga terdekat. Sementara itu, kerusakan akibat banjir bandang mencakup rumah rusak berat 47 unit, rusak sedang 41 dan rusak ringan 45. Secara umum, wilayah Indonesia belum memasuki musim penghujan.
Lantas, mengapa banjir bandang bisa terjadi ketika belum masuk musim penghujan?
Kepala Subbid Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Agie Wandala Putra mengatakan, potensi hujan lebat tidak semata terjadi pada periode musim hujan.
Dan hal itu, lanjut Agie, perlu diedukasikan kepada masyarakat.
"Termasuk saat ini ketika kita baru memasuki masa peralihan sudah terdapat energi atmosfer yang cukup besar yang dapat membuat hujan memiliki intensitas tinggi," kata Agie saat dihubungiKompas.com,Rabu (23/9/2020).
Agie menambahkan, itu menunjukkan betapa uniknya wilayah Indonesia yang berada benua maritim tropis dan melimpahnya curah hujan tetapi perlu juga memahami behaviour hujan ekstrem.
Jika ditinjau dari analisis meteorologi, hujan lebat yang terjadi pada Senin, 21 September 2020 sore hingga Selasa, 22 September 2020 dini hari, terjadi karena beberapa faktor.
Faktor-faktor
Pertama, terpantaunya gangguan gelombang ekuator. "Yakni gelombang Equatoria Rossby di Jawa bagian Barat yang mampu meningkatkan proses pembentukan awan di wilayah Banten, Jawa Barat dan Jabodetabek," ucap Agie.
Kedua, adanya anomali suhu muka laut atau peningkatan suhu muka laut dibandingkan dengan normalnya.
Hal ini terjadi di perairan Selatan Banten-Jawa Barat yang memberikan suplai uap air untuk pembentukan awan-awan hujan di wilayah Jawa Bagian Barat, khususnya di Jabodetabek.
Ketiga, terpantaunya pola pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi).
"Faktor ketiga terjadi di Jawa Barat yang meningkatkan proses pembentukan awan hujan khususnya di Jabodetabek," katanya lagi.
Terakhir, atmosfer yang labil di Jawa bagian Barat yang dapat mengintensifkan proses pembentukan awan hujan di wilayah Jabodetabek.
Hal-hal tersebut, kata Agie, mengakibatkan terjadi hujan dengan intensitas curah hujan dan volumnya sangat tinggi dan dalam periode singkat.
"Ini yang berkaitan sebagai pemicu banjir bandang, meskipun kita harus lihat bagaiman kondisi permukaan tanah apakah mampu menampung jumlah curah hujan tersebut atau tidak. Seperti yang terjadi di Sukabumi," jelasnya.
Masih musim kemarau
Agie mengungkapkan, bahwa wilayah Indonesia belum memasuki musim penghujan, atau dengan kata lain masih di musim kemarau.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia masih di periode monsun Australia yang merupakan waktu puncak musim kemarau.
"Benar bahwa kita (Indonesia) belum memasuki musim hujan. Karakter musim hujan yang ditandai periode monsun asia belum terlihat.
Saat ini masih monsun Australia yang aktif," papar Agie.
Banjir Bandang Terjang Cicurug Sukabumi, Mobil Terseret Arus, Sejumlah Warga Hanyut
Sementara itu, pada akhir Maret 2020, BMKG merilis bahwa awal musim kemarau di Indonesia bervariasi, sebagian besar dimulai bulan Mei-Juni 2020.
Hasil pemantauan perkembangan musim kemarau hingga akhir Agustus 2020 menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia (87 persen) sudah mengalami musim kemarau.
Samudra Pasifik diprediksi berpeluang terjadi La-Nina, sedangkan Samudra Hindia berpotensi terjadi IOD negatif.