Fotokita.net - Negara Republik Demokratik Timor Leste(RDTL) dulu pernah menjadi bagian dari Indonesia. Fakta tentang itu, terjadi antara tahun 1975 hingga 1999.
Bahwa bergabungnyaTimor Leste keIndonesia, terjadi melalui invansi tentara Indonesiaterhadap Bumi Lorosae.
Hal tersebut dilakukan setelah Portugismeninggalkan Timor Leste, wilayah jajahannya selama ratusan tahun.
Rupanya bergabungnya Timor Lestedengan Indonesiatidaklah melewati keputusan yang mudah.
Kisah tentang Timor Lesteternyata bukan semata soal kemiskinan dan kekayaan. Ada pula cerita haru, seperti yang dialami bocah pria yang satu ini.
Peristiwa itu dialami semasa lalu, ketika Timor Lestemasih menjadi daerah pertempuran danmerupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Salah satu kisah haru itu, adalah terpisahnya anak-anakTimor Lestedari keluarga mereka merupakan kisah lain yang memilukan dari peristiwa yang tak terlupakan bagi rakyat Bumi Lorosae.
Seperti diketahui,Timor Lestepernah menjadi bagian dari Indonsia antara tahun 1975 sampai 1999.
BergabungnyaTimor Lestedengan Indonesiaterjadi melalui invansi yang diwarnai dengan pertempurantentara Indonesiadan kelompok perlawanan Bumi Lorosae.
Ratusan ribu jiwa menjadi korban dari peristiwa tersebut, sementara di sisi lain ada sisa-sisa luka yang dirasakan keluarga-keluarga yang terpisah dari anggota keluarga lainnya.
Salah satu kisah memilukan itu dirasakan oleh pria bernama Alis Sumiya Putra.
Ia tumbuh di Jawa Barat dan menjalani sebagian besar hidupnya di wilayah Indonesiatersebut.
Namun, sebenarnya ia merupakan seorang yang 'dipaksa' pergi dari kampung halamannya,Timor Leste, sebagai anak yang belum tahu apa-apa.
Sebuah film dokumenteroleh Anne Barkermengikuti perjalana Alis Sumiya Putra untuk kembali ke kampung halamannya dan bertemu dengan keluarga yang selama ini mengira ia telah meninggal.
Inilah kisah pertemuan Alis dengan keluarganya, dari film dokumenterberjudul 'The Return of East Timor's Children', dilansir dari kanal Youtube Al Jazeera.
(ilustrasi) Timor Leste - Penjara Ai Pelo di Liquica.
"Aku masih hidup," ucap Alis ketika tiba di rumah keluarganya diTimor Leste.
Alis menangis di pelukan saudaranya yang masih hidup sambil mengucapkan kata-kata memilukan itu.
Selama ini ia hidup bahagia dengan istri dan anak-anaknya, namun kerinduan terhadap keluarganya diTimor Lestetetap terselip di hatinya.
Kisah terenggutnya masa kecil Alis dari kampung halamannya terjadi di tahun 1977.
Ketika itu, kebanyakan saudaranya ikut dalam perang melawan Indonesia, sementara ia yang masih kecil tetap bersama sang ibu.
"Kalau kakak-kakak yang lain ini udah misah semua ikut perang waktu itu mempertahankan Timor Timor di kesatuan fretilin," katanya.
Namun suatu hari ketika ia tengah bersama teman-temannya di pinggir jalan, seorang tentara menghampirinya.
Berawal dari Ditanya Ibu Kota Indonesia saat Main Judi di Tengah Jalan, Bocah Timor Leste Ini 'Diculik' Anggota TNI dan Tak Pernah Kembali Lagi ke Tanah Kelahirannya.
"Orangtua masih di gereja, saya sama temen-temen di pinggir jalan, posisi kita lagi judi di jalan gitu lah, sama temen-temen,"
"Datang tuh satu mobil tuh, di situ tuh ada ABRI dua orang di situ,"
"Ketika kita lagi judi di situ waktu itu, mereka nanya, 'nak udha tau belum ibu kotanya negara Indonesia', gitu," ungkapnya.
Tak tahu menahu tentang ibu kota Indonesiayang baru menjadikanTimor Lesteprovinsinya yang ke-27, Alis yang masih kecil dan teman-temannya pun menjawab apa adanya.
"Kami bilang belum tau, 'Itu di mana?' gitu," ungkapnya.
Mendengar jawaban anak-anak polos itu, tentara Indonesiayang menghampiri Alis dan teman-temannya pun menawarkan mereka untuk ikut ke Jakarta.
"'Oh itu jakarta, mau tau ngga? Kalau mau ayo naik mobil semua', gitu," kata Alis menirukan tentara itu.
Anak-anak Timor Leste itu ikut para tentara, tanpa tahu bahwa itu adalah tempat yang jauh dari kampung halamannya. Lebih lagi, bahwa itu bisa membuat mereka terpisah dari keluarganya berpuluh-puluh tahun, bahkan selamanya.
Salah satu dari tentara itu adalah Sumiya Atmaja, dia membawa Alis pulang bersamanya ke Jawa Barat dan mengadopsinya.
Alis mungkin sedikit beruntung karena tentara yang mengadopsinya memperlakukannya dengan baik.
Namun, tetap saja itu berarti ia direnggut dari kebersamaannya dengan keluarga kandungnya dan tak pernah kembali ke kampung halamannya.
"Sama ABRI ini, kebetulan orangnya baik, dia bilang itu anak pribadi, saya tidak dianggap siapa-siapa 'kamu adalah anak saya yang sebenarnya', begitu," kata Alis.
Alis pun dipertemukan dengan keluarga barunya, ibu dan kelima anak Sumiya Atmaja.
Selanjutnya menurut Ali, ia dan saudaranya angkatnya, yang semuanya perempuan, bahwa mereka hidup seperti saudara kandung.
Tentara itu mengubah nama Alis menjadi Sumiya Putra yang artinya anak laki-laki Sumiya, dan menyekolahkannya di sekolah indonesia.
Seiring berjalannya waktu, ingatan Alis tentang keluarganya diTimor Lestememudar.
Namun, pada tahun 2019, setelah 42 tahun Alis hidup sebagai anak Sumiya Atmaja di Jawa Barat, ingatan Alis menyeruak muncul.
Itu terjadi ketika ayah angkatnya meninggal, juga karena suatu hari orang asing yang juga berasal dariTimor Leste mengunjunginya.
"Hati saya tetep, rindu sama orangtua, setelah bapak ini meninggal, saya inget saudara semua," ungkapnya.
"Pas kebetulan gitu pas datang, Ka nina ngasih foto," katanya.
Nina adalah sosok yang bernasib serupa dengan Alis.
Ia terpisah dari keluarganya selama masa-masa invansi Indonesia diTimor Leste.
Nina menunjukkan foto yang kemudian mengundang ingatan Alis tentang keluarga dan kampung halamannya.
"Baru di situ meledak ingat keluarga," kata Alis.
Rupanya, Nina telah mengetahui bahwa ada sebuah program yang bisa mempertemukan mereka, anak-anakTimor Leste, yang hilang antara tahun 1975 sampai 1999 dengan keluarganya.
Nina menceritakan bahwa saat dikunjunginya, Alis terkejut.
"Kaya ngga percaya gitu ada yang cari dia gitu, 'ibu siapa?', 'Saya orangTimor Lestepak saya mau cari bapak'," kisahnya.
Datangnya Nina mengunjungi pria itu menjadi awal mula perjalanan Alis pulang ke kampung halaman setelah 42 tahun pria itu terenggut dari sana.
Alis mungkin menjadi satu dari segelintir anakTimor Lesteyang beruntung, akhirnya dapat pulang ke tanah kelahirannya.
Sebelum terbang keTimor Leste, Alis mengikuti sebuah workshop di Bali, Pulau Dewatayang juga mengumpulkan orang-orang yang bernasib serupa dengannya, terpisah dari keluarga saat masih anak-anak.
Alis mengaku gugup saat akan bertemu keluarga yang sudah berpuluh-puluh tahun tak pernah ia tahu kabarnya, apalagi berkomunikasi.
Namun, bersama dengan kegugupannya, Alis pun merasakan kerinduan dan keinginan untuk mengetahui kabar mereka. Meski di sana, orangtua Alis telah tiada.
Setelah mendarat di Timor Lestedan melanjutkan perjalanan ke rumahnya, ingatan-ingatan akan masa kecilnya pun bermunculan.
"Di pasar saya udah inget di sana, di lapangan yang ada kuda-kuda di situ saya masih ingat," ungkapnya.
Sesampainya Alis di halaman rumahnya yang telah dipenuhi keluarga dan orang-orang, suasana haru pun mewarnai pertemuan mereka setelah puluhan tahun.
"Aku masih hidup, jangan dibilang aku sudah mati", merupakan kalimat yang berulang kali diucapkan Alis ketika memeluk saudara-saudara kandungnya.(*)