Fotokita.net - Negara kecil yang berada di ujung Pulau Flores ini dulu menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saat masih bergabung dengan Indonesia, wilayah negara ini bernama Timor Timur dan menjadi provinsi ke-27.
Sejak20 Mei 2002 atau pasca-refrendum, Timor Timur resmi memisahkan diri dari Indonesia.
Artinya, negara berdaulat yang bertetangga dengan Provinsi NTT ini sudah berusia 18 tahun.
Pada 30 Agustus 1999, hampir 80 persen rakyat Timor Timur memilih berpisah dari Indonesia.
Referendum yang didukung PBB itu mengakhiri konflik berdarah sekaligus mengakhiri kependudukan mereka sebagai Warga Negara Indonesia.
Memberikan jalan bagi rakyat Timor Leste untuk meraih kemerdekaan.
Dilansir dari AFP via Kompas.com, pendudukan Timor Leste memantik aksi penindakan memilukan selama 24 tahun yang menelan nyawa 250.000 baik karena perang, kelaparan, hingga penyakit.
Namun kegembiraan berubah menjadi duka setelah militer Indonesia dan milisinya menyerbu dengan menghancurkan infrastruktur mereka, serta memaksa ratusan ribu orang mengungsi, dan membunuh 1.400 orang.
Timor Leste, negara yang sebagian besar dari 1,3 juta penduduknya memeluk agama Katolik, baru diakui secara internasional tiga tahun setelah pemungutan suara.
Tidak seperti Indonesia yang dijajah Belanda, negara yang menjajah TimTim adalah Portugal.
Baca Juga: Bikin Kaget! Warga di Daerah Ini Biasa Beli Mi Instan dengan Emas, Ternyata Begini Cerita Sebenarnya
Pada 1974, Revolusi Bunga terjadi di Portugal yang menyebabkan distabilitas politik di dalam negeri.
Portugal semakin kewalahan menghadapi pemberontakan di negara-negara jajahan di Afrika.
Masyarakat TimTim memanfaatkan momen tersebut, untuk memproklamirkan berdirinya suatu bangsa yang merdeka melalui pembentukan partai politik.
Oleh karena itulah wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal.
Berbeda dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda atau yang nantinya menjadi provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Namun, proses kemerdekaan tidak semudah yang dibayangkan.
Ketegangan politik hingga fisik terjadi antara partai pro-kemerdekaan, dengan partai yang menginginkan TimTim menjadi bagian dari Indonesia.
Di tengah pertumpahan darah, masyarakat TimTim pada 30 November 1975 menggelar Deklarasi Balibo yang menegaskan poisis TimTim sebagai provinsi ke-27 Indonesia.
Pada tahun-tahun berikutnya muncul konflik antara pendukung kemerdekaan Timor Leste dan pemerintah Indonesia serta pendukung integrasi Timtim.
Sampai pada tahun 1991, terjadi apa yang disebut pembantaian Santa Cruz.
Ketika itu, tentara Indonesia melepaskan tembakan ke 4.000 pelayat pro-kemerdekaan di sebuah pemakaman yang sedang mengubur seorang siswa muda yang dibunuh oleh tentara.
Seorang jurnalis foto Inggris memfilmkan peristiwa yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas.
Rekaman tersebut disiarkan di televisi di negara-negara Barat dan untuk pertama kalinya pemerintah Amerika Serikat mengutuk kekerasan di Indonesia.
Bekas provinsi ke-27 itu membuat Indonesia menjadi bulan-bulanan dunia internasional.
Banyak pihak yang menggunakan isu Timtim sebagai salah satu sarana memukul dan mempermalukan bangsa Indonesia di percaturan internasional.
Tujuh bulan setelah BJ Habibie memegang tampuk kekuasaan atau tepatnya 19 Desember 1998, Perdana Menteri Australia, John Howard mengirim surat kepada Presiden Habibie. Ia mengusulkan untuk meninjau ulang pelaksaan referendum bagi rakyat Timtim.
Hari referendum pun tiba, pada 30 Agustus 1999 dilaksanakan referendum dengan situasi yang relatif aman dan diikuti hampir seluruh warga Timtim.
Namun, satu hari setelah referendum dilaksanakan suasana menjadi tidak menentu, terjadi kerusuhan berbagai tempat.Sekjen PBB akhirnya menyampaikan hasil refrendum kepada Dewan Keamanan PBB pada 3 September 1999.
Hasilnya 344.580 suara (78,5 %) menolak otonomi, 94.388 (21 %) suara mendukung otonomi, dan 7.985 suara dinyatakan tidak valid.
Hasil referendum tersebut kemudian diumumkan secara resmi di Dili pada 4 September 1999, akhirnya masyarakat Timtim memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Habibie mengutarakan alasan dan fakta yang sangat cerdas.
1. Alasan Pertama
"Timtim dengan populasi sekitar 700.000 rakyat telah menarik minat dunia. Tapi saya punya 210 juta rakyat. Jika saya biarkan tentara asing mengurus Timtim, secara implisit saya berarti mengakui bahwa TNI tak bisa menjalankan tugasnya dan ini bisa berakibat buruk bagi stabilitas negara. Dan saya tak mau ambil risiko ini."
"Masalah Timor Timur sudah harus diselesaikan sebelum Presiden ke-4 RI dipilih, sehingga yang bersangkutan dapat mencurahkan perhatian kepada penyelesaian masalah nasional dan reformasi yang sedang kita hadapi."
2. Alasan Kedua
Saya menganggap Australia sejak lama telah menjadi 'sahabat' Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 1945.
"Saya yakin bila saya biarkan tentara Australia masuk ke Indonesia, saya tidak hanya akan menghina dan mempermalukan TNI, tapi juga bila Australia masuk, apa pun keputusannya nanti, yang kalah akan menyalahkan Australia."
Atas alasan cerdas inilah Habibie pun mendapat respons yang baik dari belahan dunia, karena tidak mengandalkan kekerasan dan menumpahkan darah.
Bahkan jika dilihat dari segi ekonomi, Indonesia mendapatkan hal yang baik dari Timor-Timur.
Kini Timor Leste butuh pembangunan di infrastruktur, alhasil tender pembangunan di sana dimenangkan BUMN Indonesia dengan hal ini Indonesia diuntungkan, karena sebagai negara merdeka mereka tidak memakan dana dari Indonesia bahkan mereka mengeluarkan dana untuk keuntungan di pihak BUMN.
Dan apapun yang dikirim ke Timor Leste sekarang menjadi ekspor dan mendapatkan keuntungan devisa bagi negara.
Lalu, bagaimana kondisi perekonomian Timor Leste setelah merdeka dari Indonesia?
Dikutip dari laporan resmi Bank Dunia tahun 2020, Minggu (5/7/2020), pertumbuhan ekonomi Timor Leste terbilang masih lambat dibandingkan negara-negara Asia Tenggara.
Negara dengan nama resmi Republica Democratica de Timor Leste ini masih jadi salah satu negara paling miskin di dunia.
Dikutip dari laporan United Nations Development Programme (UNDP), Timor Leste berada di peringkat 152 negara sebagai negara termiskin di dunia dari 162 negara.
PDB per kapita Timor Leste diperkirakan akan mencapai 2.356 dollar AS atau sekitar Rp 34,23 juta (kurs Rp 14.532) pada Desember 2020.
Masih di bawah pendapatan per kapita Indonesia pada tahun 2019 lalu sebesar 4.174,9 dollar AS atau sekitar Rp 60 juta.
Sejumlah sektor ekonomi Timor Leste sebenarnya masih sangat bergantung pada Australia dan Indonesia, terutama barang-barang impor.
Pada tahun 2019, sebagaimana dilaporkan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Timor Leste sekitar 4,1 persen di tahun 2020 dan meningkat menjadi 4,9 persen di tahun 2021.
Menurut Bank Dunia, pertumbuhan investasi swasta di Timor Leste itu masih saja melempem dari tahun ke tahun pasca-merdeka, ini terkait dengan stabilitas politik dan ekonomi di negara itu yang masih bergejolak.
Di sisi lain, konsumsi rumah tangga terus mengalami peningkatan.
"Timor Leste menyambut baik pertumbuhan PDB, tetapi reformasi masih jadi kunci untuk mengejar potensi investasi dari sektor swasta sesuai dengan target pemerintah yang menetapkan pertumbuhan ekonomi di atas 7 persen dan penciptaan setidaknya 600.000 lapangan kerja baru per tahun," jelas Pedro Martins, Ekonom Senior Bank Dunia untuk Timor Leste.
Meski investasi sektor privat yang masuk masih rendah, negara ini masih menikmati stabilitas ekonomi makro dan inflasi yang masih terkendali.
Kredit ke sektor swasta juga masih bisa tumbuh 13 persen, terutam didorong permintaan dari sektor rumah tangga.
Namun, neraca fiskal Timor Leste terbilang buruk, karena anggaran pengeluaran publik yang terus meningkat.
Timor Leste sendiri masih mengandalkan pemasukan dari hasil minyak. Pada tahun 2019 lalu, produksi minyak Timor Leste mencapai 38 juta barel setara minyak (BOE) yang banyak dikerjasamakan dengan Australia.
Sementara itu, mengutip data Timor Leste Economic Report yang dirilis Bank Dunia pada April 2020, ekonomi Timor Leste bakal semakin terpuruk di 2020 karena pandemi virus corona (Covid-19) dan kondisi politik yang belum stabil.
Pemerintah Timor Leste sudah mencairkan dana sebesar 250 juta dari Petroleum Fund di mana 60 persennya digunakan untuk penanganan Covid-19.
Virus corona memperburuk ekonomi Timor Leste yang berkontribusi pada menurunnya kunjungan turis asing ke negara itu, melambatnya perdagangan ekspor-impor, dan besarnya pengeluaran pemerintah untuk menanggulangi pandemi.