Matahari Masuki Masa Lockdown Hingga Bisa Timbulkan Bencana Gempa dan Gagal Panen serta Kelaparan di Bumi, Begini Penjelasan Ahli

Senin, 18 Mei 2020 | 04:06
creative commons/O'Dea

Matahari saat mengalami ekuinoks

Fotokita.net -Tahun 2020 tampaknya menjadi masa yang begitu sulit bagi penduduk Bumi. Maklum, sejak awal tahun, warga dunia sudah mendapatkan kesulitan yang disebabkan oleh wabah virus corona.

Belum lagi wabah virus corona selesai lantaran vaksin penangkal zat tak kasat mata itu masih dalam penelitian, warga Bumi kini dihadapkan pada potensi bencana alam yang diakibatkan oleh Matahari.

Para ilmuwan mengatakan, Matahari saat ini tengah memasuki periode ‘lockdown’ yang berpotensi menimbulkan berbagai bencana seperti gempa bumi, cuaca beku dan kelaparan.

Menurut mereka saat ini aktifitas permukaan matahari sedang turun drastis karena berada dalam periode solar minimum (minimum matahari).

Baca Juga: Biarpun Indonesia Siap Jual Bebas Obat Corona Agustus Nanti, Tetap Saja Masyarakat Harus Mau Hidup Bersama Organisme Tak Kasat Mata Itu. Lantas, Apa Dampaknya?

Geographical Magazine
Geographical Magazine

Matahari

Akibatnya, sinar matahari mengalami penurunan drastis yang ditandai dengan bintik matahari yang menghilang.

“Solar minimum sedang berlangsung, dan ini parah,” ujar Astronom Dr Tony Phillips dikutip dari The Sun (17/5/2020).

Baca Juga: Viral Foto dengan Tagar #IndonesiaTerserah Gara-gara Remehkan Corona, Begini Penjelasan Ahli Soal Kondisi Psikologis Tenaga Medis: Garda Terdepan Sudah di Titik Nadir?

Menurut Philips dari jumlah bintik matahari yang ada, kondisi saat ini termasuk yang terparah dalam satu abad terakhir.

Akibatnya menurut dia, medan magnet matahari menjadi lemah, memungkinkan sinar kosmik ekstra ke tata surya.

"Kelebihan sinar kosmik menimbulkan bahaya kesehatan bagi para astronot dan perubahan udara kutub, memengaruhi elektro-kimia atmosfer Bumi, dan dapat membantu memicu petir," ujarnya.

pixabay/Valera268268

Ilustrasi planet di tata surya

Para ilmuwan NASA mengkhawatirkan ini bisa memicu kembali terjadinya Dalton Minimum yang pernah terjadi antara tahun 1790 dan 1830.

Pada saatDalton Minimum terjadi, suhu menjadi sangat dingin, munculnya letusan besar gunung berapi, gagal panen dan timbulnya kelaparan.

Saat itu, suhu anjlok hingga 2 derajat celcius selama 20 tahun dan produksi pangan dunia merosot.

Baca Juga: Tak Terima dengan Tudingan Amerika Soal Pencurian Data Vaksin Corona, China Langsung Gertak Paman Sam dengan Senjata Rahasia di Laut China Selatan: Bikin Rontok Lawan dalam Sekedipan Mata

Letusan Gunung Tambora di Indonesia pada 10 April 1815, yang menewaskan sedikitnya 71.000 orang juga dianggap sebagai bagian dari efek Dalton Minimum saat itu.

Dampak lainnya saat itu, juga menjadi tahun tanpa musim panas di tahun 1816.

Yunaidi Joepoet

Siluet pendaki di puncak Gunung Tambora berketinggian 2.850 meter. Gunung bertipe stratovolcano akti

Melansir dari Forbes yang menukil data dari Spaceweather.com, sudah ada 100 hari di tahun 2020 ini, di mana matahari menunjukkan nol bintik matahari.

Tahun ini, matahari telah mengalami kekosongan tanpa bintik sebesar 76 persen. Tahun 2019 matahari sempat mengalami kekosongan sebesar 77 persen.

Dua tahun berturut-turut sedikit bintik membuat minimum matahari semakin parah.

Apa itu bintik matahari?

Baca Juga: Ilmuwan China Temukan Jenis Virus Corona yang Paling Mematikan, Peneliti Syok Waktu Bedah Pasien Meninggal yang Terpapar Covid-19: Ternyata Kondisi Organ Dalamnya Bikin Merinding

Sunspot atau bintik matahari merupakan area aktivitas magnet di permukaan matahari.

Gita Laras Widyaningrum

Bintik Matahari dengan medan magnet ultra kuat yang dipotret HINODE.

Sunspot muncul sebagai area gelap yang menjadi indikasi aktifitas matahari, melahirkan semburan matahari dan coronal mass ejections atau lontaran massa korona matahari.

Walaupun bintik matahari tampak kecil, akan tetapi sebenarnya ia berukuran besar. Bintik matahari telah dihitung sejak tahun 1838 yang membuat ilmuwan dapat membaca siklus matahari dengan melihat aktifitas permukaannya. (Kompas.com/Nur Rohmi Aida)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Baca Lainnya