Fotokita.net -Jurnalis Najwa Shihab ternyata punya keunikan yang selama ini belum terungkap, yakni terkait asal usul DNA yang ia miliki.
Terkuak, pemilik program Mata Najwa ini memiliki sepuluh fragmen DNA dari sepuluh leluhur yang berbeda.
Hal itu berdasarkan hasil penelitian Penelusuran Leluhur Orang Indonesia Asli yang dilakukan oleh Majalah Sejarah daring Historia.
Menurut hasil penelitian ini, Najwa Shihab memiliki fragmen DNA dari moyang yang berasal dari Afrika Utara, Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa Selatan, Afrika, Eropa Utara, diaspora Asia, diaspora Afrika, dan diaspora Eropa.
Komposisinya sebesar 48,54 persen South Asian, North African 26,81 persen, African 6,06 persen, East Asian 4,19 persen, African Dispersed 4,15 persen, Middle Eastern 3,48 persen, Southern European 2,20 persen, Northern European 1,91 persen, dan Asian Dispersed 1,43 persen.
Najwa Shihab dan Keluarga
"Najwa Shihab mungkin kita tahu dia anak dari Pak Quraish Shihab yang merupakan keturunan Arab, tetapi ternyata setelah diteliti, ia punya 10 DNA dari berbagai leluhur," ucap Prof Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Eijkman yang terlibat dalam penelitian itu, dalam ASOI: Asal Usul Orang Indonesiadi Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa (15/10/2019).
"Najwa Shihab pun menjadi relawan dengan fragmen DNA terbanyak dalam penelitian ini," ujar Herawati.
Penelitian ini juga ditujukan menjawab dari mana asal usul bangsa Indonesia yang memiliki sebanyak 700 lebih bahasa dan 500 populasi etnik dengan budaya yang beragam.
Dalam penelitian genetik ini memakai metode DNA mitokondria yang diturunkan melalui jalur maternal atau ibu, lalu kromosom Y yang hanya diturunkan dari sisi paternal atau ayah, serta DNA autosom yang diturunkan dari kedua orangtua.
Quraish Shihab dan Najwa Shihab
Penanda genetik itu menunjukkan bukti adanya pembauran beberapa leluhur genetik yang datang dari periode maupun dari jalur yang beragam.
Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana mengatakan, penelitian ini untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat yang beberapa waktu belakangan termakan politik identitas hingga berdampak buruk dalam struktur sosial.
"Adanya pengetahuan leluhur asli melalui hasil tes DNA merupakan pengetahuan yang penting dan memberi pencerahan bahwa masalah pribumi dan non pribumi sudah tidak relevan lagi," ujar Bonnie Triyana dalam acara yang sama.
Najwa Shihab saat ditemui Grid.ID di kawasan Gramedia Matraman, Jakarta Timur, Minggu (1/9/2019).
"Dengan pengetahuan mendalam mengenai DNA, harapannya kita lebih bertoleransi, mampu memahami perbedaan satu sama lain, dan menjaga keutuhan bangsa dan budaya," kata Bonnie.
Hasil penelitian DNA ini disajikan dalam bentuk pameran yang disandingkan dengan berbagai benda prasejarah hasil peradaban manusia selama berpuluh-puluh ribu tahun. Kegiatan ini bertujuan mengetahui dari mana leluhur bangsa Indonesia.
"Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudra, mengejar ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa".
Hampir semua, bila tidak semua, anak Indonesia kenal dengan lirik lagu ciptaan Saridjah Niung yang akrab disapa Ibu Soed tersebut.
Namun, tahukah Anda bahwa lirik lagu tersebut memang benar adanya. Kita memang punya nenek moyang pelaut yang berasal dari China.
Hal ini diungkapkan oleh Dr. Harry Widianto, Arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam Talkshow Proyek DNA Leluhur Historia.id "Jejak Manusia Nusantara & Peninggalannya" yang diadakan di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019).
Dalam acara ini, Harry menguraikan soal migrasi dan proses hunian manusia di nusantara. Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia yang seperti saat ini, terdapat beberapa gelombang migrasi yang berkontribusi. Namun, semuanya berasal dari pohon evolusi yang sama.
Berjuta-juta Tahun Lalu, Nenek Moyang Manusia 'Kehilangan Gen' Ini Hingga Jadi Spesies Rentan Penyakit Jantung
Manusia pertama yang datang ke nusantara bukanlah manusia modern atau Homo sapiens seperti kita, melainkan Homo erectus.
Sekitar 1,8 juta tahun yang lalu, Homo erectus menjadi manusia pertama yang bisa keluar dari Afrika.
Manusia dengan kepala panjang, dahi miring ke belakang, dan kepala yang terjatuh ke depan ini sangat gesit dan bisa beradaptasi dengan baik terhadap berbagai iklim.
Dituntun oleh kebutuhan mereka untuk mencari makanan, Homo erectus pun berjalan kaki ke berbagai tempat di dunia, dan sampai ke Pulau Jawa sekitar 1,5 juta tahun lalu dengan memanfaatkan jembatan darat.
Untuk diketahui, pada saat itu Bumi sedang mengalami zaman es. Meskipun Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa tidak pernah mengalami zaman es, penyusutan volume air laut karena adanya pembekuan terjadi secara global dan menurunkan permukaan air laut hingga 100 meter.
Alhasil, Sumatera, Kalimantan dan Jawa pada saat itu menjadi satu kesatuan yang disebut Paparan Sunda. Homo erectus punah sekitar 100.000 tahun lalu di seluruh dunia.
Tidak ada yang mengetahui alasan pastinya, tetapi ada beberapa dugaan, termasuk ketidakmampuannya menyesuaikan dengan keadaan lingkungan setempat.
Homo erectus, manusia purba yang memiliki banyak bulu di sekujur tubuh
Sementara itu, sekitar 150.000 tahun yang lalu Homo sapiens atau manusia bijak keluar dari Afrika dan menyebar ke lima benua menggantikan Homo erectus.
Manusia dengan muka yang lebih rata, gigi yang lebih kecil dan bentuk tubuh yang lebih proposional ini sampai ke daerah Melanesia sekitar 70.000 tahun yang lalu. Mereka bergerak terus hingga sampai ke Halmahera dan Papua.
Mereka pun dikenal sebagai ras Melanisid yang memiliki rambut merah dan keriting, ciri yang masih dimiliki oleh masyarakat Papua dan Halmahera sekarang.
Di saat yang sama (70.000-20.000 tahun lalu), hidup juga manusia awal Melanisia, seperti manusia Wajak di Trenggalek Jawa Timur, manusia Niah di Serawak Malaysia, dan manusia Tabon di Filipina.
Mereka menurunkan ras Australomelanisid setelah bercampur dengan orang-orang yang ada di Australia Tenggara dan Tasmania. Ras Australomelanisid bertumbuh cukup besar hingga menyebar dan hidup di gua-gua di Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, sepanjang Gunung Sewu, Jawa Barat, Jawa Timur hingga Kalimantan sekitar 15.000-5.000 tahun yang lalu.
Homo erectus, manusia purba yang memiliki banyak bulu di sekujur tubuh
Sebagian kecil yang tersisa dari ras ini lantas bertemu dan bercampur dengan orang-orang Austronesia atau Mongoloid di Wallacea Selatan (selatan Sulawesi sampai Nusa Tenggara) menghasilkan keturunan yang sampai sekarang hidup di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Ras Australomelanisid sendiri, berdasarkan bukti tulang yang ditemukan di Gua Harimau, sempat hidup bersama, meskipun tidak terjadi perkawinan, dengan ras Mongoloid di daerah Sumatera sebelum akhirnya punah sekitar 3.500 tahun lalu.
Sekitar 7.000 tahun yang lalu, muncul kelompok kecil ras austronesia atau mongoloid di Fujian atau Xijian, China Tengah.
Mereka bergerak ke timur dan menjadi populasi yang besar di Taiwan sekitar 6.000 tahun yang lalu. Ras inilah yang kita kenang dalam lagu "Nenek moyang seorang pelaut".
Sebab, berbeda dengan ras-ras sebelumnya, ras mongoloid memiliki banyak keahlian, mulai dari pertanian awal, menjinakkan hewan dan tumbuhan, hingga pelaut ulung.
Menggunakan perahu, ras ini dengan sangat cepat bermigrasi Out of Taiwan ke selatan melalui Filipina, Sulawesi sampai Vanuatu; ke timur sampai Polinesia sekitar 2.000 tahun lalu; dan ke barat sampai Madagaskar.
Homo Erectus
Hingga akhirnya, mereka menguasai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Kepada pulau-pulau yang mereka datangi, ras ini lantas menurunkan ciri-ciri agraris dan maritim.
Harry berkata bahwa merekalah populasi yang sampai sekarang hidup di Indonesia bagian timur.
"Sehingga Indonesia bagian barat sekarang itu DNA China-nya pasti banyak. Indonesia bagian timur, nanti dulu. Bagian selatan Nusa Tenggara Barat, ada separuh," ujarnya.
Dia pun berkata bahwa melihat berbagai migrasi dan proses hunian di nusantara ini, bisa dikatakan bahwa meskipun secara fisik kita sekarang berbeda-beda, sebetulnya kita berasal dari pohon evolusi yang sama sekitar 70.000 tahun lalu. Pohon evolusi ini bercabang menjadi penduduk nusantara saat ini.