Fotokita.net -"Kebebasan pers, kebebasan menyampaikan pendapat, adalah hal dalam demokrasi yang harus terus kita jaga dan pertahankan. Jangan sampai Bapak Ibu sekalian ada yang meragukan komitmen saya mengenai ini," kata Presiden Joko Widodo kepada para tokoh yang hadir, Jokowi pun menegaskan kembali komitmennya kepada kehidupan demokrasi di Indonesia tidak pernah berubah.
Presiden Joko Widodo mengundang puluhan tokoh ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
Jokowi membahas sejumlah hal dengan para tokoh agama, salah satunya terkait aksi unjuk rasa mahasiswa menolak UU KPK hasil revisi.
Pada malam harinya, publik dikejutkan dengan penangkapan Pendiri Watchdoc Dandhy Dwi Laksono. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati mengatakan, ditangkap penyidik Polda Metro Jaya, Kamis (26/9/2019) malam.

:quality(100)/photo/2019/09/27/2615541907.jpg)
Dandhy Laksono
Dhandy dijemput penyidik di rumahnya di daerah Jatiwaringin, Bekasi. Awalnya, Dandhy tiba di rumahnya pukul 22.30 WIB. Kemudian, polisi datang pukul 22.45 WIB.
Istri Dandhy, Irna Gustiawati mengatakan, suaminya ditangkap di kediaman mereka di Jalan Sangata 2 Blok I-2 Nomor 16, Jatiwaringin, Bekasi, Jawa Barat.
Menurut Irna, penangkapan Dandhy Dwi Laksono disebabkan unggahan sutradara yang menggarap "Sexy Killers" itu di media sosial.
Anggota Majelis Pertimbangan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Dandhy Dwi Laksono (kiri) didampingi Ketua AJI Suwarjono (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan terkait pelaporan Dewan Pimpinan Daerah Relawan Perjuangan (Repdem) Jawa Timur, Minggu (17/9/2017).
"(Polisi) membawa surat penangkapan karena alasan posting di media sosial Twitter mengenai Papua," kata Irna yang dihubungi pada Kamis malam.
Dandhy Dwi Laksono yang dikenal sebagai aktivis, jurnalis dan sekaligus sutradara film dokumenter, Kamis malam (26/9) ditangkap polisi.
Menurut salinan surat perintah penangkapan yang diperoleh VOA, Dandhy yang kelahiran Lumajang tahun 1976 itu ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/kelompok.” Dandhy dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE.
Kuasa hukum Dandhy, Alghifari Aqsa, kepada Kompas mengatakan kliennya ditangkap karena “dianggap menyebarkan kebencian berdasarkan SARA melalui media elektronik, terkait kasus Papua.”
Namun belum jelas unggahan apa dan pada akun media sosial mana yang dinilai polisi melanggar UU ITE tersebut.
Pantauan awal VOA pada sejumlah akun media sosial Dandhy, memang menunjukkan beberapa unggahan yang menyoal tentang Papua, yaitu pada akun Twitter. Dalam cuitan yang diunggah tiga jam sebelum ditangkap itu, Dandhy mengkritisi Presiden Joko Widodo. Dengan merujuk pada laporan media tentang Jokowi yang menegaskan komitmennya untuk menjaga demokrasi, Dandhy menulis “mengangkat jendral Orba, lima tahun berkuasa tak satu pun kasus HAM diselesaikan, (2) merespon Papua dengan mengirim pasukan dan menangkapi aktivis dengan pasal makar, (3) membatasi internet...
Belum jelas apakah cuitan ini yang membuatnya ditangkap.
Tetapi selain cuitan itu ada beberapa cuitan lain yang diunggah Dandhy hari Kamis (26/9) terkait demonstrasi dan kerusuhan di Wamena, serta demonstrasi dan aksi kekerasan di Sulawesi Tenggara dan Jakarta.
Namun sejumlah aktivis menyesalkan penangkapan ini. Mantan Ketua Partai Rakyat Demokrat PRD Budiman Sudjatmiko, yang sehari sebelumnya berdebat secara terbuka dengan Dandhy dan disiarkan live streaming, mencuit “... saya menolak penangkapannya.”
Namun sejumlah aktivis menyesalkan penangkapan ini. Mantan Ketua Partai Rakyat Demokrat PRD Budiman Sudjatmiko, yang sehari sebelumnya berdebat secara terbuka dengan Dandhy dan disiarkan live streaming, mencuit “... saya menolak penangkapannya.”
Secara spesifik, Dandhy dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, hingga saat ini belum diketahui terkait unggahan apa yang ditulis Dandhy di media sosial. Dandhy saat ini berada di Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.
Sejumlah aktivis dan pegiat hak asasi manusia saat ini mendampingi Dandhy di sana.
Dandhy Dwi Laksono dikenal publik sebagai pendiri WatchDoc, rumah produksi yang menghasilkan film-film dokumenter dan jurnalistik.
Sebagai sutradara, dia pernah membesut sejumlah film dokumenter yang dianggap kontroversial seperti "Sexy Killers" dan "Rayuan Pulau Palsu".
Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini juga dikenal sebagai aktivis yang kerap mengkritik pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo.
Alghifari yang juga Direktur Eksekutif LBH Jakarta mengecam penangkapan Dandhy, apalagi dilakukan malam hari. Penangkapan ini dianggap berlebihan, karena semestinya Dandhy dipanggil terlebih dulu sebagai saksi.
Ernest Prakasa
"Ini tindakan berlebihan. Kalau mau diambil keterangan, panggil saja sebagai saksi, kan bisa siang," ujarnya.
Komika dan sutradara Ernest Prakasa kecewa dengan penangkapan sutradara film dokumenter Sexy Killers, Dhandy Dwi Laksono.
Melalui akun Twitter @ernestprakasa, Ernest retweet berita media online tentang komitmen Presiden Joko Widodo atau Jokowi menjaga demokrasi. Pada twit tersebut, Ernest memberi balasan menohok.
Ernest Prakasa Saat acara cinema visit di Cinema XXI Kota Kasablanka, Jakarta Selatan pada Jumat (28
"Lalu di hari yang sama, Dandhy Laksono ditangkap polisi. Jangan bercanda Pak, waktunya lagi kurang tepat," tulis Ernest. Ernest melanjutkan, publik kini sudah resah.
"Politik itu rumit, apalagi di masa transisi seperti ini. Saya yakin Pak Jokowi sedang dalam posisi yang amat pelik. Tapi, jadi Presiden memang tidak mungkin mudah. Kami resah menanti, Pak," lanjut Ernest.
Sejumlah kontak aparat yang dihubungi VOA untuk mengukuhkan penangkapan Dhandy Dwi Laksono dan rincian lain terkait hal itu masih belum membuahkan hasil karena tidak direspon.(Kompas.com/VOA Indonesia)