Fotokita.net -Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie wafat padausia 83 tahun. Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya.
Menurut penjelasan sang anak, Thareq Kemal Habibie, BJ Habibie meninggal dunia karena sudah berusia tua sehingga sejumlah organ dalam tubuhnya mengalami degenerasi. Salah satunya, jantung.
Tentu saja, Indonesia kehilangan sosok seorang inspirator yang jenius, sang inspirator, negarawan sejati itu. Meski demikian, BJHabibie adalah seorang ayah dari dua anak dan suami yang kehilangan belahan jiwanya terlebih dahulu, Hasri Ainun Habibie.
Tulisan berikut ini diambil dari Buku Ibu di Mata Mereka, terbitan Intisari, yang ditulis oleh Yatie Asfan Lubis.
Inilah yang ditulis oleh Ilham A. Habibie dalam buku tersebut, mengenai Ibunya, Hasri Ainun Habibie, yang ketika itu belum lama dipanggil Tuhan pada 22 Mei 2010.
Berikut petikannya:
Bukannya aku ingin melontarkan puji dan puja, namun memang itulah makna dari namanya: Hasri Ainun Besari, mata yang indah.

:quality(100)/photo/2019/09/13/1928842319.jpg)
Ilham dan Ainun Habibie, "Ibuku bermata indah."
Ibuku lahir di Semarang pada 11 Agustus 1937. Ayahku, H. Bacharuddin Jusuf Habibie (lahir di Pare-Pare 25 Juni 1936).
Pada tahun-tahun pertama pernikahan, mereka hidup di Jerman karena ayahku bekerja di sana.
Aku lahir di Aachen, Jerman, begitu pula adikku: Thareq Kemal Habibie. Sejak SD hingga aku meraih gelar Doktor - Ingenieur dengan predikat summa cum laude, (Juli 1994) aku tinggal di negeri itu.
Ilham Habibie dan sang ayah yang mengajarkan banyak hal.
Meski Ibu kerap berdialog dalam bahasa Indonesia, aku cenderung lebih menguasai bahasa Jerman dan Inggris.
Karena memang aku tidak pernah mengecap sekolah di Tanah Air. Selama 31 tahun bermukim di sana dan di Amerika selama dua tahun.
Aku selalu teringat, betapa ibuku, yang seorang dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1965 rela melepas kariernya sebagai dokter anak.
Perempuan lemah lembut ini memilih tinggal di rumah untuk mengurus suami dan kedua putranya.
Hidup di perantauan - Eropa – menimbulkan banyak risiko dan tanggung jawab. Kami tak punya pembantu.
Ibuku yang mungil rela mengerjakan semua tugas rumah tangga, hingga mengantar Ayah berangkat kerja. la yang punya SIM (ayahku tidak) laiknya seorang sopir pribadi.
"Entah apa jadinya bila aku tak memiliki ibu seperti dia," kenang Ilham Habibie.
Pagi mengantar ke dermaga ferry, malam pergi lagi menjemput.
Ibuku amat mandiri. la juga menularkan sikap itu pada kami berdua. Aku dan adikku diajar tidak canggung mengerjakan tugas seorang perempuan.
Mencuci, menyetrika, memasak, dan menjahit bukan hal yang sulit bagi kami. Waktu kami tinggal di Jerman, sementara Ibu harus mendampingi Ayah yang bertugas di Indonesia, kami menikmati "kemandirian yang terlatih" olehnya.