Manusia Sebabkan Bumi Makin Panas dan Suhu Global Terus Naik. Adakah Tempat yang Aman untuk Kita Tinggal di Planet Ini?

Rabu, 04 September 2019 | 06:35
Idon Tanjung

Suka dan duka para Prajurit TNI yang ‘berperang’ melawan kebakaran hutan.

Fotokita.net -Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, pemanasan global telah menaikkan temperatur rata-rata dari tahun ke tahun. Kondisi itu akan menyebabkan variabilitas iklim antar tahunan El Nino atau La Nina akan berfluktuasi mengikuti tren kenaikan temperatur global tersebut.

Sejalan dengan data global, rekam data BMKG menunjukkan suhu di Indonesia rata-rata lebih tinggi ketimbang rata-rata tahunan. Contohnya, selama Juni lalu, suhu di Indonesia lebih tinggi 1,25 derajat celsius daripada periode 1981-2010. Itu terpantau di Jakarta, Sumatera, sebagian besar Kalimantan, dan Sulawesi.

“Indonesia juga akan terpengaruh perubahan ini,” kata Siswanto. Meskipun terjadi anomali suhu di bawah normal di beberapa daerah di Indonesia pada puncak musim kemarau kemarin, tetapi temponya singkat. Sementara analisis kenaikan suhu dari rata-rata tahunannya terus naik.

Baca Juga: Foto-foto Bencana Akibat Ulah Manusia di Bumi Bikin Kita Menangis. Apakah Kita Sudah Harus Pindah ke Planet Mars?

ANTARA FOTO
ANTARA FOTO/FB ANGGORO

Api berkobar dari kebakaran lahan gambut di Desa Penarikan Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, Riau, Minggu (28/7/2019). Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kebakaran hutan dan lahan hingga Juli 2019 luasnya lebih dari 27 ribu hektare, dan kini masih terus meluas di Kabu

“Proyeksi masa depan mengindikasikan tren kenaikan suhu global terus naik dan memiliki konsekuensi terhadap peningkatan siklus hidrologi. Daerah yang basah cenderung lebih basah dan yang kering semakin kering,” katanya.

Suhu permukaan laut dan daratan di sebagian besar dunia diperkirakan di atas normal pada September-November 2019, padahal tidak sedang terjadi El Nino. Peningkatan temperatur itu mengindikasikan pemanasan global dan berdampak pada meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologi.

El Niño dan Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena memanasnya suhu permukaan laut di Pasifik bagian tengah dan timur khatulistiwa. Fenomena itu biasanya berkaitan dengan meningkatnya ancaman bencana alam, seperti hujan lebat, banjir di wilayah Amerika Selatan, dan kekeringan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Baca Juga: Laporan Terbaru Penelitian Malaria Ini Bikin Kita Makin Cemas Pada Kondisi Bumi yang Makin Berubah. Akankah Kita Harus Pindah Ke Mars?

KOMPAS.com/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN

Seorang warga di Desa Cisalak, Kec. Cibeber, Kab. Cianjur, Jawa Barat tengah memanfaatkan air kubangan Kali Cisalak, Minggu (21/072019) menyusul krisis air di wilayah tersebut sejak dua bulan terakhir.

Menurut data ENSO triwulanan yang dirilis oleh Badan Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) pada Selasa (3/9), suhu permukaan laut di Pasifik secara umum berada di ambang batas ke tingkat El Nino lemah sejak Oktober 2018. Namun, kondisi ini kembali ke tingkat netral pada bulan Juli. Indikator atmosfer juga beralih ke netral.

“Juli 2019 adalah bulan terpanas dalam catatan, dengan gelombang panas dan cuaca ekstrem lainnya, bahkan tanpa peristiwa El Nino yang kuat,” kata Maxx Dilley, Direktur Bidang Adaptasi dan Prediksi Iklim WMO. Beberapa rekaman badan meteorologi di sejumlah negara di Eropa menunjukkan, anomali suhu di bulan Juli tercatat 2 derajat celsius di atas normal.

“Sinyal dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia sekarang telah menjadi lebih kuat,” kata Dilley.

Baca Juga: Foto-foto Ini Buktikan Manusia Terus Bertindak Keji Pada Satwa Darat Paling Besar di Bumi. Apa Penyebabnya?

(NASA Earth Observatory via Daily Mirror)

Inilah citra satelit yang diperoleh NASA, yang memperlihatkan kepulan asap di hutan hujan tropis Amazon akibat kebakaran pada pertengahan Agustus ini.

El Nino biasanya memiliki pengaruh pemanasan pada suhu global, sementara La Nino memiliki efek sebaliknya. Akan tetapi, ketika saat ini ENSO dalam kondisi netral, temperatur ternyata lebih hangat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Baca Juga: Hidup di Atas Tumpukan Sampah, Warga Kampung Bengek Rupanya Tak Miliki Lahan Sendiri. Inilah Pemilik Sahnya...

Dilley mengatakan, kondisi itu disebabkan suhu udara dan permukaan laut meningkat akibat terjadi perubahan iklim. Dengan lebih dari 90 persen energi yang terperangkap oleh gas rumah kaca masuk ke lautan, kandungan panas lautan mencapai tingkat rekor baru pada tahun 2018.

Kompas.com
Kompas.com

Sebuah foto dari udara yang menunjukkan kebakaran hutan Amazon di kawasan Novo Progresso, Negara Brasil.

Menurut perkiraan WMO, suhu permukaan laut diprediksi akan di atas rata-rata untuk sisa 2019 hingga awal 2020. Kondisi curah hujan mendekati rata-rata diperkirakan bakal terjadi di Pasifik khatulistiwa tengah dan timur, sedangkan curah hujan di atas normal terjadi di Pasifik barat dan Samudra Hindia barat daya meluas ke Afrika khatulistiwa.

Baca Juga: Hati-hati Buat Anak Milenial, Kebanyakan Makan Keripik Kentang Bisa Berakibat Mata Buta. Kejadian Ini Jadi Contohnya

Daerah yang diperkirakan mendapatkan curah hujan di bawah normal selama tiga bulan mendatang termasuk Afrika bagian selatan dan barat, Oceania dan Australia, serta Karibia dan Amerika Selatan bagian timur laut. Ada kemungkinan kondisi lebih basah daripada kondisi normal di Tanduk Afrika.

University of Notre Dame/Eco Experts

Peta data yang menunjukkan sepuluh negara paling mampu bertahan dan rentan terhadap perubahan iklim.

Kebakaran lahan

Selain itu WMO memperingatkan, kebakaran hutan yang melanda sejumlah wilayah, mulai dari Amazon, Siberia yang merupakan bagian dari Antartika, Greenland dan Alaska, hingga Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan berdampak pada kondisi amosfer.

Selain dampak langsung dari kebakaran kepada penduduk di sekitarnya, kebakaran hutan juga mengeluarkan polusi, meliputi partikel berbahaya dan gas toksik seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, dan berbagai gas lain ke atmosfer.

Baca Juga: Apakah Bumi Bakal Bernasib Sama Seperti Mars yang Pernah Diterjang Mega Tsunami?

STEFFEN OLSEN
STEFFEN OLSEN

Lautan Es di Greenland Mencair

The European Union’s Copernicus Atmosphere Monitoring System (CAMS) melaporkan, sebanyak 255 megaton karbon dioksida telah terlepas ke atmosfer dalam periode 1 sampai 25 Agustus. “Setiap hari sejak 9 Juni total radiasi dari kebakaran hutan di wilayah Antartika berada di atas rata-rata dibandingkan 15 tahun terakhir. Ini membuat musim panas 2019 menjadi musim api yang luar biasa untuk area ini,” kata ilmuwan ECMWF Mark Parrington.

Baca Juga: Papua Sumbang Rp 26 Triliun ke Kas Negara, Pemerintah Kembalikan Rp 92 Triliun. Benarkah Rakyat Papua Belum Rasakan Manfaatnya?

Partikel dan gas dari pembakaran biomassa hutan dapat dibawa hingga jarak jauh. Contohnya, gumpalan asap dari wilayah Amazon telah menimbulkan kabut asap ke São Paulo, lebih dari 2.500 km dari sumbernya. Bahkan, menurut CAMS, asap menyebar hingga ke pantai Atlantik. (Penulis: Ahmad Arif/Kompas.id)

KOMPAS.com/RAJA UMAR

Pengguna jalan menggunakan masker yang dibagikan petugas kesehatan dari Puskesmas Cot Simeureung, Kecamatan Samatiga dan Layung, Kecamatan Bubon, Kabupaten Aceh Barat, menyusul kabut asap kebakaran hutan dan lahan gambut yang sangat pekat, Kamis (1/8/2019). Selain kepada pengguna jalan, masker juga

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Sumber : Kompas.id

Baca Lainnya