Di Dunia, Konflik Besar Banyak Terjadi Akibat dari Penyebaran Berita Bohong. Rupanya, Hoaks Sudah Ada Sejak Zaman Romawi

Senin, 02 September 2019 | 08:33
Antara Foto/Didik Suhartono

Sejak penangkapan 17 Agustus lalu, penghuni asrama Kamasan menutup diri. LBH Surabaya menyebut para mahasiswa Papua menghindari ancaman keselamatan diri mereka.

Fotokita.net -Keputusan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memperlambat hingga memblokir internet seakan sudah menjadi standar tindakan yang diambil tiap terjadinya kerusuhan.

Pertama kali tindakan ini diterapkan saat kerusuhan di Jakarta pada 22-23 Mei 2019. Untuk yang kedua kalinya, terjadi lagi di Papua dan Papua Barat akibat situasi yang memanas pascainsiden di asrama mahasiswa Papua di Surabaya.

Perlambatan akses internet saat kerusuhan di Papua beberapa hari lalu menjadi pengulangan sikap pemerintah yang sebelumnya mengambil tindakan serupa saat aksi 22 Mei 2019 di Jakarta.

Baca Juga: Aksi Heroik Legenda Persipura Ini Selamatkan Pom Bensin di Jayapura dari Amukan Massa Anarkis. Simak Kisah Lengkapnya

ANTARA FOTO
ANTARA FOTO/TOYIBAN

Massa membakar ban saat kerusuhan di pintu masuk Jalan Trikora Wosi Manokwari, Senin (19/8/2019). Aksi ini merupakan buntut dari kemarahan mereka atas peristiwa yang dialami mahasiswa asal Papua di Surabaya, Malang dan Semarang.

Alasannya, guna meminimalisir penyebaran hoaks, konten negatif, dan provokatif sehingga keadaan segera kondusif. Hingga kini, hoaks seakan menjadi anak demokrasi yang tidak diinginkan namun terus menerus ada.

Langkah ini diambil demi meredam penyebaran berita bohong maupun konten negatif via media sosial. Setidaknya sudah ada dua berita bohong yang tersebar mengenai kerusuhan di Papua, yakni hoaks foto mahasiswa Papua tewas dipukul aparat di Surabaya dan hoaks Polres Surabaya menculik dua pengantar makanan untuk mahasiswa

Sebenarnya, Kemkominfo mencoba menerapkan kebijakan yang sudah dipraktikkan oleh negara lainnya. Misalnya seperti yang dilakukan Srilanka menyusul serangan di sebuah wihara di Abathanna (Maret 2018) dan serangkaian peledakan bom di Colombo (21 April 2019). Alasannya pun tak jauh berbeda, untuk mencegah penyebaran hoaks yang dapat memicu konflik lainnya.

Baca Juga: Tokoh Papua dan Pemerintah Sepakat Adakan Dialog Secara Damai. Tapi, Nasi Sudah Jadi Bubur, Lihat Foto-foto Kerusakan di Jayapura

Litbang Kompas/Kompas.id

Infografis negara yang membatasi internet dan atau media sosial saat konflik.

Permasalahan hoaks bukanlah milik Indonesia saja, namun juga terjadi dan tumbuh di belahan negara lainnya. Jika melihat sejarah dunia, peristiwa-peristiwa besar seperti propaganda dan konflik besar beberapa bermula dari berita bohong.

Bahkan, berita bohong memainkan peranan kunci dalam berbagai konflik tersebut. Dalam catatan sejarah, hoaks seringkali digunakan dalam konteks politik dan sosial.

Bermula dari zaman Romawi Kuno (abad 44 SM), propaganda dilakukan oleh Oktavianus untuk menjatuhkan Mark Antonius dalam perebutan tahta kekaisaran Romawi.

Baca Juga: Tokoh Senior Papua Ini Bilang Bintang Kejora Adalah Bendera Budaya. Katanya, 'Mana Ada Belanda Mau Bikin Papua Merdeka. Itu Mimpi!'

Oktavianus memanfaatkan peristiwa Mark Antonius yang bertemu Cleopatra (pimpinan Mesir kala itu), untuk membuat slogan-slogan pendek yang tertulis di koin-koin berisi kampanye negatif terhadap rivalnya itu.

Litbang Kompas/Kompas.id

Infografis beberapa peristiwa besar akibat hoaks di dunia

Sejarah terus bergulir dan hoaks semakin jelas digunakan memobilisasi dan memanipulasi informasi guna memengaruhi massa. Sebut saja seperti Perang Dunia II (1949-1945) yang bermula dari gerakan Nazi di Jerman yang melakukan propaganda terhadap suku bangsa tertentu.

Dalam kancah politik, tentu saja peristiwa Pemilu Amerika Serikat pada 2016 lalu dapat menjadi contoh terdekat hoaks yang digunakan dalam memengaruhi massa untuk menentukan pilihan politisnya.

Dalam rilis PBB melalui UNESCO, terdapat 7 jenis misinformasi dan disinformasi yang terjadi di masa ini. Ketujuhnya ialah satire/parodi, konten yang menyesatkan, konten tiruan, konten palsu, koneksi yang salah, konten yang salah, dan konten yang dimanipulasi. Tujuh jenis ini turut menjadi acuan lembaga-lembaga di negara-negara lain dalam menangkal hoaks.

Baca Juga: Foto-foto Bendera Bintang Kejora Saat Demo Papua, Sejak Masa Presiden Ini Diakui Sebagai Bendera Budaya

Kolase Grid.ID
Kolase Grid.ID

Antisipasi Sebaran Hoaks Pemerintah Batasi Akses Whatsapp dan Sosial Media, Sampai Kapan?

Kebebasan Kebablasan Lantas, bagaimana dengan hoaks di Indonesia? Munculnya hoaks di Indonesia dapat dikatakan sebagai ekses atas praktik demokrasi di negara ini.

Pemilu 2019 yang baru saja digelar sudah dapat menjadi contoh nyata masyarakat atas banalnya praktik hoaks yang menjadi komoditas kampanye para partai maupun calon presiden.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hoaks muncul sebagai ekses dari kebebasan berpendapat yang dijunjung di era Demokrasi Pancasila (reformasi) saat ini. Meski memang, kebebasan berpendapat yang kebablasan menjadi bumerang atas praktik demokrasi itu sendiri. Padahal, di era sebelumnya (Orde Baru), kebebasan berpendapat menjadi hak yang diperjuangkan masyarakat.

Baca Juga: Menunggu Dialog di Papua, Damai atau Referendum? Foto-Foto Ini Tunjukan Jayapura Papua Masih Tegang

Litbang Kompas/Kompas.id

Tujuh Jenis Hoaks

Peristiwa aksi unjuk rasa 21-22 Mei 2019 kemarin menjadi salah satu momentum dalam melihat kembali praktik demokrasi Indonesia. Segala bentuk unjuk rasa memang dilindungi oleh Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, asalkan sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Akan tetapi, kerusuhan terjadi dan isu hoaks mengenai terancamnya demokrasi muncul di tataran masyarakat madani(civilsocietys).

Di sisi lain, sempat pula pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan media sosial pada waktu tersebut guna mengantisipasi penyebaran hoaks. Lagi-lagi, justru langkah ini menuai pro dan kontra di kalangan warganet.

Bagi pihak yang mendukung, pembatasan media sosial memang diperlukan guna menghambat penyebaran hoaks. Sedangkan yang tidak mendukung, menggunakan dalih kebebasan dalam memperoleh informasi dan berpendapat di muka umum.

Baca Juga: Sempat Muncul Sentimen Anti Jawa, Soekarno Genjot Pembangunan Jakarta. Tapi, Mengapa Masalah Itu Tetap Sulit Dipecahkan?

Adweek

Anti berita hoax!

Tidak dapat dipungkiri bahwa segala bentuk hoaks tumbuh subur di atas “tanah” yang bernama media sosial. Berdasarkan laporan We Are Social 2019, penetrasi penggunaan internet di Indonesia mencapai 57 persen dari total penduduk. Belum lagi, rata-rata waktu mengakses internet mencapai 8 jam 36 menit per harinya.

Hal menarik akan terungkap bila temuan di atas disandingkan dengan hasil survei Daily Social.id di Indonesia pada 2018. Dalam hasil survei yang melibatkan 2.032 orang tersebut, ditemukan bahwa Facebook menjadiplatformmedia sosial yang dipilih responden sebagai paling banyak ditemukannya konten-konten hoaks (77,76 persen). Di posisi kedua diisi oleh WhatsApp (72,93 persen) dan diikuti oleh Instagram (60,24 persen).

Baca Juga: Bakal Segera Tayang dalam Bentuk Buku. KKN di Desa Penari Masih Bikin Penasaran Kita, Di manakah Lokasi Sesungguhnya?

Dengan gabungan temuan di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Indonesia rentan terhadap serangan hoaks. Kendati sudah ada polisi siber dan undang-undang yang berusaha mencegah peredaran hoaks di dunia maya, namun hal itu masih belum memadai.

Litbang Kompas/Kompas.id

Infografis temuan isu hoaks Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Lalu, apakah pembatasan media sosial menjadi cara efektif dalam menangkal hoaks di Indonesia untuk ke depannya?

Langkah pemerintah dengan membatasi media sosial dalam mengantisipasi hoaks nampak cukup berhasil, namun bukan berarti itu menjadi solusi jangka panjang.

Jika pembatasan media sosial dijadikan langkah yang akan diambil tiap kali memerangi hoaks, maka tentu akan mengancam kebebasan masyarakat.

Berkaca dari persoalan ini, apakah Indonesia perlu mengubah sistem pemerintahan menjadi ideologi totalitarian yang identik dengan pemerintah sebagai pusat pengendali informasi?

Baca Juga: Sanggah Telah Makan Gurita Hidup, Apakah Ria Ricis Bikin Konten Bohong Demi Clickbait di Youtube?

Litbang Kompas/Kompas.id

Infografis siberkreasi untuk literasi digital Indonesia.

Nyatanya, jika melihat lebih luas, penyebaran hoaks tidak mengenal sistem pemerintahan negara. Dari negara yang menganut demokrasi penuh(full democracy)hingga otoritarian(authoritarian),semua menghadapi serangan hoaks.

Dalam konteks ini, Korea Utara mungkin menjadi satu-satunya negara otoritarian yang tak tersentuh oleh hoaks karena minimnya informasi yang dapat diakses dari negara itu.

Baca Juga: Nasib Tragis Satwa Liar Korban Kebakaran Hutan Amazon yang Bikin Kita Menangis. Akankah Mereka Cuma Jadi Kenangan dalam Foto?

Berdasarkan Indeks Demokrasi 2018 yang dirilis olehThe Economist Intelligence Unit,Indonesia termasuk dalam kategori cacat demokrasi(flawed democracy).Indonesia berada di posisi 65 (skor 6,39 poin) dari 167 negara yang dinilai.

Adapun aspek yang dipertimbangkan meliputi kebebasan masyarakat, kondisi politik, partisipasi politik, lembaga pemerintahan, proses elektoral, dan pluralisme.

ANTARA FOTO
ANTARA FOTO/DIDIK SUHARTONO

Sejumlah anggota Detasemen Gegana Satbrimob Polda Jatim bersiap masuk ke dalam Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan 10, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019). Sebanyak 43 orang dibawa oleh pihak kepolisian untuk diminta keterangannya tentang temuan pembuangan bendera Merah Putih di depan asrama

Sebagai contoh, Finlandia yang masuk dalam kategori negara demokrasi penuh, dapat dijadikan perbandingan. Berdasarkan data Indeks Literasi Digital/Media 2018 untuk negara-negara Eropa, Finlandia menduduki peringkat pertama atau dikatakan mampu mengatasi hoaks di negara mereka

Dari rilis pemberitaan CNN yang berjudul,“Finland is winning the war on fake news. What it’s learned may be crucial to Western democracy”,dituliskan bahwa Finlandia sudah melakukan edukasi literasi digital sejak 2014.

Baca Juga: Tokoh Senior Papua Ini Bilang Bintang Kejora Adalah Bendera Budaya. Katanya, 'Mana Ada Belanda Mau Bikin Papua Merdeka. Itu Mimpi!'

Finlandia telah menjadi contoh bahwa negara yang dinilai memiliki demokrasi penuh pun tidak luput dari serangan hoaks, namun mereka dapat mengatasinya.

Dalam konteks Indonesia, pertama-tama yang harus dimengerti bahwa kehadiran hoaks menjadi konsekuensi logis atas demokrasi yang menjunjung kebebasan berpendapat warga negaranya. Akan tetapi, bukan berarti hoaks menjadi dilumrahkan atau diwajarkan.

Yang diperlukan saat ini ialah strategi meminimalisir berkembangnya hoaks demi menjaga sehatnya demokrasi Indonesia.(Litbang Kompas/Yohanes Mega Hendarto/Kompas.id)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Sumber : kompas.id

Baca Lainnya