Pemerintah Beijing Minta Restoran Halal Hilangkan Logo Berhuruf Arab. Lihat Foto-foto Sesudah Perintah Itu!

Jumat, 02 Agustus 2019 | 07:39
Foto: Reuters via VOA Indonesia

Papan nama sebuah restoran halal yang menggunakan aksara China, tampak ditutup kain di Niujie, Beijing, China, 19 Juli 2019.

Fotokita.net -Kampanye anti aksara Arab dan gambar-gambar Islam di Cina menandai tahapan baru yang sudah mencapai puncaknya pada 2016. Kampanye itu bertujuan untuk memastikan agara agama-agama yang ada di Cina menyesuaikan dengan budaya Cina.

Kampanye itu termasuk mengganti kubah gaya Timur Tengah di banyak masjid-masjid dengan bentuk pagoda gaya Cina.

Ada sekitar 20 juta umat Muslim di Negeri Tirai Bambu itu. Meski Cina secara resmi mengakui kebebasan beragama, tapi pemerintah sudah keyakinan agar sejalan dengan ideologi Partai Komunis.

Baca Juga: Polusi Udara Jakarta Tambah Kejam, Warga Negara Ramai-ramai Gugat Presiden, Menteri dan Gubernur

Foto: Reuters via VOA Indonesia

Seorang pria tampak di belakang bendera China di Kota Tua di Kashgar di Wilayah Autonomi Xinjiang Uighur, China, 6 September 2018.

Bukan hanya umat Muslim yang berada di bawah pengawasan ketat. Banyak gereja-gereja bawah tanah ditutup oleh otoritas Cina, dan salib-salib di gereja-gereja dirobohkan karena dianggap ilegal oleh pemerintah.​

Namun kaum Muslim menjadi perhatian khusus sejak kerusuhan 2009 antara Muslim Uighur dan mayoritas suku Han Cina di Xinjiang, rumah etnis minoritas Uighur.

Para analis berpendapat Partai Komunis khawatir pengaruh-pengaruh asing bisa membuat kelompok-kelompok agama makin sulit dikontrol.

Baca Juga: Bukti Visual Penggalian di Makam Kuno Cina Ini Nyatakan Manusia Isap Ganja Sejak 2500 Tahun Silam

“Bahasa Arab dianggap sebagai bahasa asing dan pengetahuan mengenai bahasa Arab sekarang dipandang sebagai sesuatu di luar kontrol negara,” kata Darren Byler, seorang pakar antropologi di Universitas Washington, yang mempelajari Xinjiang.

AP via VOA Indonesia

Umat Muslim China berbuka puasa saat Ramadan di masjid Niujie, masjid tertua dan terbesar di Beijing, China, 2 Juli 2014.

Sedangkan Kelly Hammond, seorang asisten profesor di Universitas Arkansas yang mempelajari etnis minoritas Muslim Hui di Cina, mengatakan langkah-langkah itu adalah bagian dari “upaya menciptakan kenormalan baru.”

Beijing adalah rumah bagi sekitar 1.000 toko dan restoran halal, menurut data aplikasi jasa pengiriman makanan Meituan Dianping. Bisnis-bisnis tersebut tersebar di seluruh kawasan Muslim bersejarah di Beijing dan kawasan lainnya.

Pihak berwenang di Ibu Kota Cina memerintahkan kedai-kedai dan restoran-restoran yang menjual sajian halal untuk menghapus tulisan Arab dan simbol-simbol yang berhubungan dengan Islam dari papan nama restoran, Reuters melaporkan, Rabu (31/7/2019).

Baca Juga: Dulu Jadi Mainan Anak-anak, Kini Hewan Penghuni Pasir Rumah Kita Dibanderol Puluhan Juta Rupiah di Cina. Lihat Foto-foto Hewan yang Punya Khasiat Beragam Ini!

Foto: Reuters via VOA Indonesia

Aksara Arab pada papan nama di sebuah toko makanan halal di kawasan Niujie, Beijing, tampak ditutupi kain, 19 Juli 2019.

Langkah pemerintah Kota Beijing itu adalah bagian dari gerakan “sinicize” atau membaurkan populasi Muslim di negara itu dengan budaya China.

Para pegawai pada 11 restoran dan toko-toko di Beijing yang menjual produk-produk halal dan dikunjungi oleh Reuters baru-baru ini, mengatakan para pejabat meminta mereka mencopot gambar-gambar yang berhubungan dengan Islam, misalnya gambar bulan sabit dan logo “halal” dalam aksara Arab.

Baca Juga: Adu Cepat Fitur Kamera, Akankah Produsen Hape Cina Ini Kalahkan Samsung dengan Rilis Ponsel Berkamera 64 MP?

Seorang manajer restoran mie di Beijing diperintahkan oleh petugas otoritas China untuk menutup logo “halal” yang tertulis dalam bahasa Arab. Para petugas bahkan menyaksikan manajer itu menutup logo itu.

“Mereka mengatakan ini budaya asing dan Anda harus menggunakan lebih banyak budaya China,” kata manajer itu. Seperti pemilik dan karyawan restoran yang berbicara kepada Reuters, manajer itu menolak namanya dipublikasikan karena isu sensitif. (VOA Indonesia/ft/dw)

Editor : Bayu Dwi Mardana Kusuma

Sumber : VOA Indonesia

Baca Lainnya